Inovasi di Tengah Pandemi, dari APD hingga Robot Tenaga Medis

Selasa, 21 Juli 2020 - 07:29 WIB
loading...
A A A
Rektor ITS Prof Dr Ir Mochamad Ashari MEng mengungkapkan, proyek tersebut telah dilakukan bersama dengan Unair dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) untuk menyelesaikan satu persatu permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya pandemi virus corona atau Covid-19 ini. “Hari ini kami berharap kontribusi yang diberikan dapat memberikan manfaat untuk para tenaga medis maupun masyarakat,” ujarnya dengan semangat.

Selain robot untuk meminimalkan kontak antara tenaga medis dan pasien positif Covid-19 di pusat layanan kesehatan, Indonesia juga mulai memproduksi ventilator atau alat bantu pernapasan. Alat kesehatan ini digunakan membantu para pasien positif Covid-19 dalam level kritis. Selama ini ventilator ini umumnya selalu impor dengan harga mahal. Adanya Covid-19 yang menyerang sistem pernapasan, membuat kebutuhan alat ini meningkat.

Ironisnya, meskipun ada anggaran untuk impor alat ini, barang langka di pasaran dunia karena hampir semua negara berusaha mendapatkannya. Beberapa ilmuwan Indonesia akhirnya berusaha merancang ventilator buatan asli Indonesia. (Baca juga: Sama-sama Musuh China, Kapal Induk AS dan AL India Latihan Gabungan)

Rancangan ini kemudian dikembangkan oleh beberapa BUMN seperti PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia (DI). PT Dirgantara Indonesia memproduksi ventilator portabel yang diberi nama Vent-I (Ventilator Indonesia) hasil kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari catatan Kementerian Riset dan Teknologi, setidaknya ada lima ventilator produk lokal yang telah mendapatkan sertifikat layak edar dari Kementerian Kesehatan.

Selain Vent-I, ventilator yang dikembangkan produsen lokal adalah BPPT3S-LEN, dikembangkan BPPT bersama PT LEN. Kemudian GERLIP HFNC-01, dikembangkan LIPI bekerja sama dengan PT Gerlink Utama Mandiri. Lalu ada Covent-20, ventilator hasil kolaborasi dari para peneliti di Fakultas Teknik UI (FTUI) dan Fakultas Kedokteran UI (FKUI), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RSUP Persahabatan Jakarta, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan. Terakhir, DHARCOV-23 S yang dikembangkan oleh BPPT bekerja sama dengan PT Dharma Precission Tools.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro menyampaikan bahwa Indonesia telah siap memproduksi ventilator sendiri untuk penanganan Covid-19. "Meskipun barangkali masih ada komponen impor di dalam ventilator tersebut, saya sudah diberi informasi bahwa 70% dari ventilator yang bisa disaksikan ini berasal dari Indonesia atau lokal kontennya 70%," kata Bambang saat konpers di BNPB, Rabu (24/6/2020).

Tidak hanya ventilator, Kemenristek/BRIN juga sedang memproduksi alat tes PCR dan rapid test. Saat ini jumlah alat rapid test yang sudah diproduksi sudah mencapai 100.000 dari 2 juta unit yang ditargetkan. Pihaknya juga sudah meresmikan Mobile BSL 2 pada 16 Juni 2020 lalu. "Mobile BSL 2 ini bertujuan untuk menambah jumlah kapasitas pemeriksaan swab test di berbagai tempat di Indonesia," kata dia. (Baca juga: Di Tengah Pandemi, Penjualan Pupuk Indonesia Kian Subur)

Para peneliti dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menemukan dua alat tes Covid-19 dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi. Kedua alat tes Covid-19 terbaru itu adalah Rapid Test 2.0 dan surface plasmon resonance (SPR). Rapid Test 2.0 diklaim memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dibandingkan rapid test yang selama ini digunakan, yakni mencapai 80%. "Ini karena Rapid Test 2.0 tidak menguji sampel darah, tetapi swab," ujar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat mengenalkan alat tes Covid-19 tersebut di Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatikan Unpad, Kota Bandung, Kamis (14/5/2020).

Alat tes Covid-19 yang kedua yaitu tes diagnostik cepat berbasis teknik resonansi plasmon atau SPR yang fokus mendeteksi antigen, yaitu SARS-Cov-2, virus penyebab Covid-19. Kang Emil menyatakan, SPR berbeda dengan tes swab dengan metode polymerase chain reaction (PCR) sebab SPR tidak memerlukan laboratorium saat menguji spesimen. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk tes SPR lebih cepat dibandingkan PCR. "Cukup laptop dan benda sebesar aki motor yang mampu menampung delapan sampel, jadi bisa dibawa ke mana-mana," kata dia.

"Kita bisa mengetes langsung di pasar atau tempat lainnya dengan akurasi sama seperti PCR, harga alatnya sekitar Rp200 juta dan alatnya bisa mobile (dibawa ke mana-mana)," sambungnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1860 seconds (0.1#10.140)