Dilema AI dan Regulasi Berbasis Risiko
loading...
A
A
A
Hardy R Hermawan
Peneliti SigmaPhi Indonesia, GRC Specialist,
Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
TEKNOLOGI artificial intelligence (AI) terlihat kian mencengangkan. AI kini menjadi bagian integral dari berbagai aspek kehidupan manusia. Mulai dari penggunaan sederhana, seperti asisten virtual, hingga aplikasi kompleks seperti analisis big data.
AlphaGo, dikembangkan Google DeepMind sejak 2016, merupakan contoh kemajuan AI yang mencolok karena mampu bermain Go (catur Asia Timur) dengan ciamik dan mengalahkan juara dunia, Lee Sedol. Watson, dari IBM, menganalisis data medis dan memberikan rekomendasi diagnosis serta pengobatan. Chat GPT, dari Open AI, berkomunikasi dengan manusia secara alami dan mampu menyusun teks secara koherensejak 2022.
Dalam lima tahun ke depan, kemampuan AI pasti meningkat signifikan, tanpa terbayangkan. Apapun bisa dia kerjakan. AI memungkinkan otomatisasi lebih luas dan integrasi lebih dalam dengan teknologi lainnya.
Mau tidak mau, AI akan tetap ada dan memberi dilema. Stephen Hawking (2017) mengingatkan, AI harus dikembangkan dan digunakan secara bertanggung jawab. Sulit tapi itu yang harus dijalani. Perkembangan AI memang membawa risiko yang signifikan.
Salah satu dampak AI paling berat adalah kehilangan pekerjaan. McKinsey (2017) mencatat, otomatisasi berbasis AI dapat menggantikan 375 juta pekerjaan, secara global, pada 2030. Pergeseran ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan ekonomi, terutama di negara berkembang yang bergantung pada tenaga kerja manual.
Erik Brynjolfsson (2019)menyatakan, AI cenderung memberikan keuntungan besar kepada perusahaan besar yang sudah dominan. AI juga dapat memicu monopoli dan dominasi digital oleh gergasi teknologi sehingga membatasi kompetisi dan meningkatkan biaya. Ketimpangan ini bisa memangkas konsumsi domestik yang merupakan motor utama pertumbuhan. Dinamika pasar yang sehat terganggu dan efisiensi menurun.
Ironisnya, AI juga bisa menurunkan inovasi. Michael Webb (2020) menunjukkan, Algoritma AI dirancang untuk mengoptimalkan solusi yang sudah ada, bukan menciptakan solusi baru, sehingga dapat mengurangi laju kemajuan teknologi jangka panjang.
Pengembangan AI juga membawa risiko keamanan yang serius. Integrasi AI dalam sistem kritikal dapat meningkatkan risiko serangan siber, sepertidi Estonia pada 2007. AI juga membuat kemampuan senjata dalam perang Russia-Ukraina dan konflik Palestina-Israel meningkat pesat sehingga jumlah korban jauh lebih banyak dan kian menyedihkan.
Di Indonesia, kasus kebocoran data nasabah bank pada 2020 dan serangan ransomware di PT Semen Indonesia, pada 2022, menunjukkan kerentanan keamanan siber. Selain itu, penyalahgunaan AI dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian juga menjadi masalah.
Peneliti SigmaPhi Indonesia, GRC Specialist,
Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
TEKNOLOGI artificial intelligence (AI) terlihat kian mencengangkan. AI kini menjadi bagian integral dari berbagai aspek kehidupan manusia. Mulai dari penggunaan sederhana, seperti asisten virtual, hingga aplikasi kompleks seperti analisis big data.
AlphaGo, dikembangkan Google DeepMind sejak 2016, merupakan contoh kemajuan AI yang mencolok karena mampu bermain Go (catur Asia Timur) dengan ciamik dan mengalahkan juara dunia, Lee Sedol. Watson, dari IBM, menganalisis data medis dan memberikan rekomendasi diagnosis serta pengobatan. Chat GPT, dari Open AI, berkomunikasi dengan manusia secara alami dan mampu menyusun teks secara koherensejak 2022.
Dalam lima tahun ke depan, kemampuan AI pasti meningkat signifikan, tanpa terbayangkan. Apapun bisa dia kerjakan. AI memungkinkan otomatisasi lebih luas dan integrasi lebih dalam dengan teknologi lainnya.
Mau tidak mau, AI akan tetap ada dan memberi dilema. Stephen Hawking (2017) mengingatkan, AI harus dikembangkan dan digunakan secara bertanggung jawab. Sulit tapi itu yang harus dijalani. Perkembangan AI memang membawa risiko yang signifikan.
Salah satu dampak AI paling berat adalah kehilangan pekerjaan. McKinsey (2017) mencatat, otomatisasi berbasis AI dapat menggantikan 375 juta pekerjaan, secara global, pada 2030. Pergeseran ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan ekonomi, terutama di negara berkembang yang bergantung pada tenaga kerja manual.
Erik Brynjolfsson (2019)menyatakan, AI cenderung memberikan keuntungan besar kepada perusahaan besar yang sudah dominan. AI juga dapat memicu monopoli dan dominasi digital oleh gergasi teknologi sehingga membatasi kompetisi dan meningkatkan biaya. Ketimpangan ini bisa memangkas konsumsi domestik yang merupakan motor utama pertumbuhan. Dinamika pasar yang sehat terganggu dan efisiensi menurun.
Ironisnya, AI juga bisa menurunkan inovasi. Michael Webb (2020) menunjukkan, Algoritma AI dirancang untuk mengoptimalkan solusi yang sudah ada, bukan menciptakan solusi baru, sehingga dapat mengurangi laju kemajuan teknologi jangka panjang.
Pengembangan AI juga membawa risiko keamanan yang serius. Integrasi AI dalam sistem kritikal dapat meningkatkan risiko serangan siber, sepertidi Estonia pada 2007. AI juga membuat kemampuan senjata dalam perang Russia-Ukraina dan konflik Palestina-Israel meningkat pesat sehingga jumlah korban jauh lebih banyak dan kian menyedihkan.
Di Indonesia, kasus kebocoran data nasabah bank pada 2020 dan serangan ransomware di PT Semen Indonesia, pada 2022, menunjukkan kerentanan keamanan siber. Selain itu, penyalahgunaan AI dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian juga menjadi masalah.