Inovasi di Tengah Pandemi, dari APD hingga Robot Tenaga Medis

Selasa, 21 Juli 2020 - 07:29 WIB
loading...
Inovasi di Tengah Pandemi, dari APD hingga Robot Tenaga Medis
Tim menguji kerja Robot Medical Assistant ITS-Unair (RAISA) di Gedung Pusat Robotika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (14/4/2020). RAISA merupakan robot pelayan kesehatan karya ITS Surabaya untuk membantu dan meminim
A A A
JAKARTA - Wabah corona (Covid-19) menempatkan masyarakat dunia dalam krisis kesehatan terburuk setelah wabah flu Spanyol (1918). Persaingan mendapatkan berbagai alat kesehatan (alkes), alat pelindung diri (APD) , hingga obat-obatan tak dapat terelakkan. Setiap negara dituntut mandiri agar bisa bertahan.

Pada awal masa pandemi Covid-19 di Tanah Air, kabar kekurangan APD bagi tenaga medis bukan hal baru. Terasa memiriskan hati memang. Betapa tidak, mereka yang berada di garda terdepan melawan virus baru harus memakai APD seadanya. Tak jarang para tenaga medis harus memakai jas hujan, agar terlindung dari Covid-19 yang diketahui mudah menular. Pun dengan ketersediaan masker.

Sempat dibingungkan dengan informasi jika orang sehat tak perlu masker, publik kelabakan saat penutup mulut dan hidung langka di pasaran. Kondisi serupa juga terjadi pada ketersediaan alat-alat kesehatan seperti ventilator, reagen untuk tes PCR, serta ketersediaan laboratorium untuk mengetahui hasil swab. Semua serbakekurangan.

“Masih banyak keluhan mengenai yang berkaitan dengan kelangkaan APD. Perlu saya sampaikan bahwa sekarang ini 180 negara kurang-lebih, semuanya berebutan untuk mendapatkan baik itu APD, baik itu masker, baik itu sanitizer, semuanya, semua negara," kata Presiden Jokowi di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020).

Dengan berbagai keterbatasan tersebut, pemerintah mendorong agar industri dalam negeri mulai berusaha memenuhi kebutuhan akan APD, alkes, hingga obat-obatan saat wabah Covid-19. Dorongan ini disambut oleh kalangan swasta, pengelola BUMN, peneliti, hingga perguruan tinggi untuk berlomba menciptakan berbagai produk APD, alkes, hingga obat untuk menekan wabah Covid-19 di Tanah Air. (Baca: Ini Penyebab Jumlah Positif Covid di Indonesia Lampaui China)

Terbaru, Tim Robotik Politeknik Negeri Semarang (Polines) berhasil menciptakan robot pengganti tenaga medis untuk melayani pasien Covid-19. Bernama Robot Asisten Medis Autonomus (RAMA), robot itu berbentuk seperti rak yang biasa digunakan suster mengantar makanan dan obat-obatan pasien di rumah sakit. Bedanya, robot rak makanan itu bisa berjalan sendiri sehingga aman saat mengantar kebutuhan pasien penyakit menular, seperti Covid-19.

Robot tersebut untuk pertama kali diperkenalkan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di rumah dinasnya, Minggu (19/7/2020). Selain demonstrasi, tim robotik Polines juga meminta masukan dari orang nomor satu di Jawa Tengah itu. Ganjar mengapresiasi inovasi robot yang diciptakan Polines itu.

Dengan robot tersebut, pasien Covid-19 dapat dilayani dengan baik tanpa ada sentuhan langsung dengan tenaga medis lainnya. "Ini bagus. Kelebihannya menggantikan perawat sehingga tidak bersentuhan langsung (dengan pasien penyakit menular), sehingga melindungi tenaga medis kita. Ini juga bisa mengurangi penggunaan APD," ujar Gubernur.

Salah satu pembuat robot RAMA, Abbas Kiarostami, mengatakan ide pembuatan robot itu awalnya lantaran prihatin dengan banyaknya tenaga medis yang gugur saat menjalankan tugasnya melayani pasien Covid-19. Selain itu, penggunaan APD yang sangat tinggi membuat banyak rumah sakit kekurangan APD. "Jadi, kami berinovasi membuat robot ini agar kontak pasien dengan tenaga medis bisa dikurangi. Dengan robot ini, semua kebutuhan pasien bisa diantar dengan jarak jauh tanpa harus bersinggungan langsung. Selain praktis dan aman, juga bisa mengurangi penggunaan APD," kata Abbas. (Baca juga: Miris, Usai Penguburan Pasien Covid-19 Limbah APD Berserakan)

Sebelumnya, teknologi serupa juga dikembangkan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berkolaborasi dengan Universitas Airlangga (Unair). Dua perguruan tinggi terkemuka ini meluncurkan Robot Medical Assistant ITS-Airlangga (RAISA). Robot pelayan pasien Covid-19 ini juga sekalian diserahterimakan kepada RS Universitas Airlangga (RSUA) di Gedung Pusat Robotika ITS, Selasa (14/4).

Rektor ITS Prof Dr Ir Mochamad Ashari MEng mengungkapkan, proyek tersebut telah dilakukan bersama dengan Unair dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) untuk menyelesaikan satu persatu permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya pandemi virus corona atau Covid-19 ini. “Hari ini kami berharap kontribusi yang diberikan dapat memberikan manfaat untuk para tenaga medis maupun masyarakat,” ujarnya dengan semangat.

Selain robot untuk meminimalkan kontak antara tenaga medis dan pasien positif Covid-19 di pusat layanan kesehatan, Indonesia juga mulai memproduksi ventilator atau alat bantu pernapasan. Alat kesehatan ini digunakan membantu para pasien positif Covid-19 dalam level kritis. Selama ini ventilator ini umumnya selalu impor dengan harga mahal. Adanya Covid-19 yang menyerang sistem pernapasan, membuat kebutuhan alat ini meningkat.

Ironisnya, meskipun ada anggaran untuk impor alat ini, barang langka di pasaran dunia karena hampir semua negara berusaha mendapatkannya. Beberapa ilmuwan Indonesia akhirnya berusaha merancang ventilator buatan asli Indonesia. (Baca juga: Sama-sama Musuh China, Kapal Induk AS dan AL India Latihan Gabungan)

Rancangan ini kemudian dikembangkan oleh beberapa BUMN seperti PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia (DI). PT Dirgantara Indonesia memproduksi ventilator portabel yang diberi nama Vent-I (Ventilator Indonesia) hasil kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari catatan Kementerian Riset dan Teknologi, setidaknya ada lima ventilator produk lokal yang telah mendapatkan sertifikat layak edar dari Kementerian Kesehatan.

Selain Vent-I, ventilator yang dikembangkan produsen lokal adalah BPPT3S-LEN, dikembangkan BPPT bersama PT LEN. Kemudian GERLIP HFNC-01, dikembangkan LIPI bekerja sama dengan PT Gerlink Utama Mandiri. Lalu ada Covent-20, ventilator hasil kolaborasi dari para peneliti di Fakultas Teknik UI (FTUI) dan Fakultas Kedokteran UI (FKUI), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RSUP Persahabatan Jakarta, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan. Terakhir, DHARCOV-23 S yang dikembangkan oleh BPPT bekerja sama dengan PT Dharma Precission Tools.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro menyampaikan bahwa Indonesia telah siap memproduksi ventilator sendiri untuk penanganan Covid-19. "Meskipun barangkali masih ada komponen impor di dalam ventilator tersebut, saya sudah diberi informasi bahwa 70% dari ventilator yang bisa disaksikan ini berasal dari Indonesia atau lokal kontennya 70%," kata Bambang saat konpers di BNPB, Rabu (24/6/2020).

Tidak hanya ventilator, Kemenristek/BRIN juga sedang memproduksi alat tes PCR dan rapid test. Saat ini jumlah alat rapid test yang sudah diproduksi sudah mencapai 100.000 dari 2 juta unit yang ditargetkan. Pihaknya juga sudah meresmikan Mobile BSL 2 pada 16 Juni 2020 lalu. "Mobile BSL 2 ini bertujuan untuk menambah jumlah kapasitas pemeriksaan swab test di berbagai tempat di Indonesia," kata dia. (Baca juga: Di Tengah Pandemi, Penjualan Pupuk Indonesia Kian Subur)

Para peneliti dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menemukan dua alat tes Covid-19 dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi. Kedua alat tes Covid-19 terbaru itu adalah Rapid Test 2.0 dan surface plasmon resonance (SPR). Rapid Test 2.0 diklaim memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dibandingkan rapid test yang selama ini digunakan, yakni mencapai 80%. "Ini karena Rapid Test 2.0 tidak menguji sampel darah, tetapi swab," ujar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat mengenalkan alat tes Covid-19 tersebut di Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatikan Unpad, Kota Bandung, Kamis (14/5/2020).

Alat tes Covid-19 yang kedua yaitu tes diagnostik cepat berbasis teknik resonansi plasmon atau SPR yang fokus mendeteksi antigen, yaitu SARS-Cov-2, virus penyebab Covid-19. Kang Emil menyatakan, SPR berbeda dengan tes swab dengan metode polymerase chain reaction (PCR) sebab SPR tidak memerlukan laboratorium saat menguji spesimen. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk tes SPR lebih cepat dibandingkan PCR. "Cukup laptop dan benda sebesar aki motor yang mampu menampung delapan sampel, jadi bisa dibawa ke mana-mana," kata dia.

"Kita bisa mengetes langsung di pasar atau tempat lainnya dengan akurasi sama seperti PCR, harga alatnya sekitar Rp200 juta dan alatnya bisa mobile (dibawa ke mana-mana)," sambungnya.

Momentum Kebangkitan Riset dan Inovasi

Pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi kegiatan riset dan inovasi sebagai upaya mengantisipasi dan mencegah penyebaran korona di Indonesia. Saat ini Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) telah membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons secara cepat penyakit Covid-19, yang secara singkat disebut sebagai Konsorsium Covid-19 pada Maret lalu. (Baca juga: IDI Tegaskan Penggunaan Thermo Gun Tidak Berbahaya)

Pada Mei, konsorsium ini menyelenggarakan program pendanaan riset dan inovasi untuk para peneliti dan perekayasa yang melakukan kegiatan riset dan pengembangan untuk menangani pandemi Covid-19. Tak butuh waktu lama, program ini membuah banyak hasil.

"Untuk tahap pertama sudah bisa menghasilkan output, bahkan sudah ada sampai tahapan industri hanya dalam waktu yang relatif singkat. Pada 20 Mei, pas Hari Kebangkitan Nasional, ada 57 produk inovasi yang sebagian sudah dihilirisasi, mendapat mitra industri sehingga bisa diproduksi dalam jumlah besar," kata Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro.

Bambang berharap, adanya pandemi corona ini sebagai momentum untuk Konsorsium Riset Covid-19 guna membuat riset dan inovasi Indonesia naik kelas, sehingga yang tadinya riset dan inovasi karya anak bangsa tidak dilirik, kini bisa diperhatikan karena telah berhasil membuat sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat.

"Dan menjadi kebanggaan kita semua sebagai bangsa, karena ketika putra-putri bangsa berhasil menghasilkan sesuatu di situ masyarakat sadar pentingnya Litbangjirap. Dan, betapa pentingnya Indonesia memiliki peneliti yang andal dan berdedikasi untuk hasilkan sesuatu bagi bangsa dan negara," katanya.

Sementara untuk pendanaan tahap dua ini, Bambang berharap ada riset terkait alat kesehatan. Dia memuji bahwa tahap pertama sudah dibuat ventilator yang sangat membantu sekali dalam penanganan pasien yang kesulitan bernapas. Selain itu, juga sudah ada test kit baik berbentuk PCR maupun rapid test. (Lihat videonya: Diduga untuk Ilmu Hitam, 2 Jenazagh di TPU Karang Bahagia Bekasi Dicuri)

Namun untuk selanjutnya, dia berharap adanya riset untuk alat yang masih impor seperti bahan untuk antigen yang masih impor. Berikutnya reagen yang dibutuhkan untuk tes PCR yang juga masih impor, sehingga menghambat untuk melakukan tes secara masif. "Saya harap buat inovasi terkait reagen yang sangat dibutuhkan," katanya.

Plt. Sekretaris Utama Kemenristek/BRIN Mego Pinandito menyampaikan, ada 139 proposal penerima dana penelitian tahap II. Adapun proposal tersebut meliputi lima bidang prioritas, yakni Pencegahan (30 proposal), Skrining dan Diagnosis (15 proposal), Alat Kesehatan dan Pendukung (34 proposal), Obat-obatan, Terapi, dan Multicenter Clinic (19 proposal), Sosial Humaniora dan Public Health Modelling (41 proposal) dengan total dana yang diberikan sebesar Rp27,3 miliar. (Neneng Zubaidah/Agung Bakti Sarasa/Ahmad Antoni)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1271 seconds (0.1#10.140)