E-Rekap Pilkada 2020, KPU Harus Belajar dari Situng Pemilu 2019
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peretasan website Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk kesekian kalinya menunjukkan bahwa sistem informasi KPU masih menjadi sasaran empuk. Terlebih, KPU hendak menerapkan sistem rekaputulasi elektronik atau e-rekap dalam Pilkada 2020 . Untuk itu, KPU harus membuktikan kesiapannya dan belajar dari kesalahan Sistem Perhitungan (Situng) pada Pemilu 2019 lalu.
“Memang kalau mau dilihat, website KPU dan terkait peretasan bukan hal baru. kalau mau ditarik ke belakang, proses pelaksanaan pemilu 2019 website sering menjadi sasaran hacking. Pengalaman Pemilu 2019, bahkan di awal tahapan, website KPU sempat diretas pada akhrinya KPU mengajukan anggaran tambahan Rp 35 miliar untuk memperkuat server,” kata Koordinator Harian KoDe Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana saat dihubungi, Senin (20/7/2020).
(Baca: Website Kerap Diretas, Komisi II Sarankan KPU Gandeng BSSN)
Berkaca pada Pemilu 2019, Ihsan mengatakan bahwa seharusnya sejak awal 2020, KPU sudah mulai mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu dan memproyeksikan kemampuan website dan sistem teknologi di KPU untuk Pilkada 2020. Kode Inisiatif juga telah membuat kajian soal penggunaan sistem eletronik dalam pemilu yakni, e-voting, e-counting juga e-rekap.
Ihsan menjelaskan, untuk penggunaan sistem elektronik, Undang-Undang Pilkada nomor 10/2016 sudah cukup untuk penggunaan sistem e-voting namun, tidak untuk e-counting dan e-rekap. Sementara, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang Pilkada sudah disahkan menjadi UU. Jadi, selain mempersiapkan payung hukum, KPU juga harus mempersiapkan SDM KPU hingga ke daerah.
“Kalau KPU tetap memaksakan penggunaan e-rekap ada hal krusial, khususnya Peraturan KPU pungut-hitung. Kemudian, sejauh mana SDM yang dimiliki KPU untuk menerapkan sistem elektronik di Pilkada 2020. Bimtek (bimbingan teknis) yang dilakukan teman penyelenggara bergeser dari langsung menjadi online, apalagi lihat di pemilu 2019, banyak kesahatan situng,” paparnya.
(Baca: PDIP Ingatkan Demokrat Tak Usah Campur Tangan Urusan Gibran)
“Jangan sampai permasalahan itu tidak clear dievaluasi KPU dan KPU sudah dengan cepatnya menerapkan sistem elektronik di beberapa tahapan yang krusial,” tegas Ihsan.
Karena itu, lanjut Ihsan, kalau sistem elektronik akan diterapkan di Pilkada 2020, KPU harus meningkatkan keamanan dari segi server. Sejauh mana anggaran KPU dan sejauh mana anggaran di APBN untuk penguatan server. Jangan sampai penggunaan sistem elektronik terkesan dipaksakan karena diketahui, anggaran tambahan untuk alat pelindung diri (APD) saja baru turun untuk tahap pertama, tahap 2 dan 3 belum cair.
“KPU mengoptimalkan segi kemanaan mereka yang sudah dirancang di 2019, bukan hal sulit bagaimana mengamankan server mereka proses pembelajaran 2019 sudah cukup membuktikan bagaimana KPU memproyeksikan diri mereka,” ujar Ihsan.
(Baca: Muluskan Gibran di Pilkada, Pengamat: Jokowi Bangkrut Moral Politik)
Yang terpenting, dia menegaskan, KPU harus bisa meyakinkan masyarakat tentang penggunaan sistem elektronik itu. Caranya, KPU harus menunjukkan kepada publik bahwa penggunaan elektronik di beberapa tahapan yang sudah berjalan di Sipol dan sistem lain selama pilkada lanjutan dijalankan, KPU harus menunjukkan ke publik bahwa sistem mereka tidak ada masalaah dan tidak ada kesulitan bagi peserta pemilu. Serta, transparansi mereka dalam proses penggunaan sistem elektronik ini.
“Kalau terus menggaungkan ke publik, publik akan lebih percaya bahwa bertahap proses KPU dalam memproyeksikan website mereka sudah semakin baik, kalau KPU tidak membuka ke publik bagaimana tahapan mereka dalam pilkada lanjutan yang sudah menggunakan sistem elektronik apa kendalanya, apa capaiannya, publik akan khawator dengan sistem elektronik yang baru nanti sepeti e-voting, e-counting dan e-rekap yang tidak pernah digunakan sama sekali,” pungkasnya.
“Memang kalau mau dilihat, website KPU dan terkait peretasan bukan hal baru. kalau mau ditarik ke belakang, proses pelaksanaan pemilu 2019 website sering menjadi sasaran hacking. Pengalaman Pemilu 2019, bahkan di awal tahapan, website KPU sempat diretas pada akhrinya KPU mengajukan anggaran tambahan Rp 35 miliar untuk memperkuat server,” kata Koordinator Harian KoDe Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana saat dihubungi, Senin (20/7/2020).
(Baca: Website Kerap Diretas, Komisi II Sarankan KPU Gandeng BSSN)
Berkaca pada Pemilu 2019, Ihsan mengatakan bahwa seharusnya sejak awal 2020, KPU sudah mulai mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu dan memproyeksikan kemampuan website dan sistem teknologi di KPU untuk Pilkada 2020. Kode Inisiatif juga telah membuat kajian soal penggunaan sistem eletronik dalam pemilu yakni, e-voting, e-counting juga e-rekap.
Ihsan menjelaskan, untuk penggunaan sistem elektronik, Undang-Undang Pilkada nomor 10/2016 sudah cukup untuk penggunaan sistem e-voting namun, tidak untuk e-counting dan e-rekap. Sementara, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang Pilkada sudah disahkan menjadi UU. Jadi, selain mempersiapkan payung hukum, KPU juga harus mempersiapkan SDM KPU hingga ke daerah.
“Kalau KPU tetap memaksakan penggunaan e-rekap ada hal krusial, khususnya Peraturan KPU pungut-hitung. Kemudian, sejauh mana SDM yang dimiliki KPU untuk menerapkan sistem elektronik di Pilkada 2020. Bimtek (bimbingan teknis) yang dilakukan teman penyelenggara bergeser dari langsung menjadi online, apalagi lihat di pemilu 2019, banyak kesahatan situng,” paparnya.
(Baca: PDIP Ingatkan Demokrat Tak Usah Campur Tangan Urusan Gibran)
“Jangan sampai permasalahan itu tidak clear dievaluasi KPU dan KPU sudah dengan cepatnya menerapkan sistem elektronik di beberapa tahapan yang krusial,” tegas Ihsan.
Karena itu, lanjut Ihsan, kalau sistem elektronik akan diterapkan di Pilkada 2020, KPU harus meningkatkan keamanan dari segi server. Sejauh mana anggaran KPU dan sejauh mana anggaran di APBN untuk penguatan server. Jangan sampai penggunaan sistem elektronik terkesan dipaksakan karena diketahui, anggaran tambahan untuk alat pelindung diri (APD) saja baru turun untuk tahap pertama, tahap 2 dan 3 belum cair.
“KPU mengoptimalkan segi kemanaan mereka yang sudah dirancang di 2019, bukan hal sulit bagaimana mengamankan server mereka proses pembelajaran 2019 sudah cukup membuktikan bagaimana KPU memproyeksikan diri mereka,” ujar Ihsan.
(Baca: Muluskan Gibran di Pilkada, Pengamat: Jokowi Bangkrut Moral Politik)
Yang terpenting, dia menegaskan, KPU harus bisa meyakinkan masyarakat tentang penggunaan sistem elektronik itu. Caranya, KPU harus menunjukkan kepada publik bahwa penggunaan elektronik di beberapa tahapan yang sudah berjalan di Sipol dan sistem lain selama pilkada lanjutan dijalankan, KPU harus menunjukkan ke publik bahwa sistem mereka tidak ada masalaah dan tidak ada kesulitan bagi peserta pemilu. Serta, transparansi mereka dalam proses penggunaan sistem elektronik ini.
“Kalau terus menggaungkan ke publik, publik akan lebih percaya bahwa bertahap proses KPU dalam memproyeksikan website mereka sudah semakin baik, kalau KPU tidak membuka ke publik bagaimana tahapan mereka dalam pilkada lanjutan yang sudah menggunakan sistem elektronik apa kendalanya, apa capaiannya, publik akan khawator dengan sistem elektronik yang baru nanti sepeti e-voting, e-counting dan e-rekap yang tidak pernah digunakan sama sekali,” pungkasnya.
(muh)