Puasa dan Keberagamaan Autentik
loading...
A
A
A
Mohammad Affan
Dosen STAI Darul Ulum, Kandidat Doktor Studi Islam UIN Yogyakarta
SUDAH menjadi fenomena umum yang terus berulang, tiap memasuki awal Ramadan masjid-masjid dan musala penuh, pengeras suara ramai dengan tadarus Alquran, sedekah takjil melimpah ruah di berbagai tempat.
Sebaliknya, memasuki akhir Ramadan keramaain mulai bergeser ke mal dan pusat-pusat perbelanjaan, sedang masjid dan musala kian surut. Inilah indikasi penghayatan keagamaan yang tidak lebih sebatas ritual komunal.
Sejatinya, Tuhan telah mengistimewakan Ramadan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman “Sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku akan memberikan balasannya.” Hadis ini memaklumkan bahwa puasa sesungguhnya adalah ibadah yang sangat personal. Tuhan hendak mengajak hamba-hamba-Nya untuk mengakrabkan diri dengan-Nya melalui ibadah dan amal saleh.
Baca Juga: koran-sindo.com
Membangun keakraban dengan Tuhan sangat penting untuk mentransformasikan diri dari keberagamaan komunal menuju pengalaman personal yang autentik sekaligus substantif. Banyak ritual dan praktik keagamaan selama ini hanya menonjolkan aspek komunalnya, sementara dimensi personalitasnya terabaikan.
Sebuah potret keberagamaan yang cenderung hanya ikut-ikutan, menonjolkan identitas tertentu, bersifat transaksional (kalkulasi pahala), bahkan sebatas pencitraan. Keberagamaan komunal juga mengarah pada egoisme kelompok. Sementara penghayatan substansi ibadah tidak menjadi perhatian.
Ironisnya, pendidikan agama selama ini kian jarang menyentuh aspek substansi. Alih-alih, pendidikan agama justru makin kental dengan persoalan ritual dan komunal an sich. Ruang-ruang pendidikan agama baik di dunia nyata maupun maya ingar-bingar dengan pembahasan seputar halal-haram, sah-tidak sah.
Ruang-ruang itu menjadi arena kontestasi di atas semangat komunalisme dalam satu aliran atau paham. Sementara substansi agama yang tertuju pada transendensi spiritualitas dan perbaikan akhlak kerapkali terabaikan begitu saja.
Inilah pemicu menguatnya komunalisme agama disertai pemahaman keagamaan yang tidak substansial, bahkan cenderung dangkal dan parsial. Beragama sebatas ritus yang penuh seremoni dan aksesoris. Dalam seremoni itu, elite agama dianggap sebagai pemegang otoritas kebenaran doktrinal yang menentukan rule of law dan rule of game beragama.
Dosen STAI Darul Ulum, Kandidat Doktor Studi Islam UIN Yogyakarta
SUDAH menjadi fenomena umum yang terus berulang, tiap memasuki awal Ramadan masjid-masjid dan musala penuh, pengeras suara ramai dengan tadarus Alquran, sedekah takjil melimpah ruah di berbagai tempat.
Sebaliknya, memasuki akhir Ramadan keramaain mulai bergeser ke mal dan pusat-pusat perbelanjaan, sedang masjid dan musala kian surut. Inilah indikasi penghayatan keagamaan yang tidak lebih sebatas ritual komunal.
Sejatinya, Tuhan telah mengistimewakan Ramadan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman “Sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku akan memberikan balasannya.” Hadis ini memaklumkan bahwa puasa sesungguhnya adalah ibadah yang sangat personal. Tuhan hendak mengajak hamba-hamba-Nya untuk mengakrabkan diri dengan-Nya melalui ibadah dan amal saleh.
Baca Juga: koran-sindo.com
Membangun keakraban dengan Tuhan sangat penting untuk mentransformasikan diri dari keberagamaan komunal menuju pengalaman personal yang autentik sekaligus substantif. Banyak ritual dan praktik keagamaan selama ini hanya menonjolkan aspek komunalnya, sementara dimensi personalitasnya terabaikan.
Sebuah potret keberagamaan yang cenderung hanya ikut-ikutan, menonjolkan identitas tertentu, bersifat transaksional (kalkulasi pahala), bahkan sebatas pencitraan. Keberagamaan komunal juga mengarah pada egoisme kelompok. Sementara penghayatan substansi ibadah tidak menjadi perhatian.
Ironisnya, pendidikan agama selama ini kian jarang menyentuh aspek substansi. Alih-alih, pendidikan agama justru makin kental dengan persoalan ritual dan komunal an sich. Ruang-ruang pendidikan agama baik di dunia nyata maupun maya ingar-bingar dengan pembahasan seputar halal-haram, sah-tidak sah.
Ruang-ruang itu menjadi arena kontestasi di atas semangat komunalisme dalam satu aliran atau paham. Sementara substansi agama yang tertuju pada transendensi spiritualitas dan perbaikan akhlak kerapkali terabaikan begitu saja.
Inilah pemicu menguatnya komunalisme agama disertai pemahaman keagamaan yang tidak substansial, bahkan cenderung dangkal dan parsial. Beragama sebatas ritus yang penuh seremoni dan aksesoris. Dalam seremoni itu, elite agama dianggap sebagai pemegang otoritas kebenaran doktrinal yang menentukan rule of law dan rule of game beragama.