PAMERISME
loading...
A
A
A
Tantan Hermansah
Ketua Prodi Magister KPI UIN Jakarta; Pengajar Sosiologi Perkotaan
Masyarakat modern saat ini diselimuti oleh balutan berbagai teknologi yang menjadi bagian dari proses membentuk kehidupan. Beragam aplikasi dan fitur yang disediakan oleh teknologi secara langsung mengubah banyak hal. Respons atas beragam perilaku tersebut secara sosiologis kemudian telah menjadi landasan baru dalam berbudaya.
Maka bisa dikatakan bahwa manusia modern telah berubah puluhan derajat dibanding dengan manusia pada periode sebelumnya. Beragam keterbatasan yang sebelumnya membuat manusia banyak terhambat untuk melakukan dan mengekspresikan sesuatu, sekarang tidak lagi.
Pamerisme
Sehingga kosa kata yang dulu berlaku terbatas secara ruang dan konteks, sekarang menjadi lebih massal. Kosa kata yang sudah lama dikenal ini adalah “pamer”, yang secara morfologi Bahasa merupakan asal dari istilah pada artikel ini: “pamerisme”.
Aplikasi teknologi telah memudahkan siapapun untuk memperlihatkan apa saja yang dimilikinya, baik berupa materi maupun nonmateri kepada yang lain. Lalu aplikasi tersebut secara masif melakukan proses distribusi informasi tersebut dengan jauh lebih luas, sehingga bisa menjangkau beragam entitas. Perilaku dan budaya pamer yang saat ini sudah berubah menjadi makanan pokok masyarakat modern.
Sesuatu hal yang dulu mungkin hanya bisa dilakukan oleh sebagian kalangan yang memiliki sumberdaya lebih saja. Saat ini, sungguh berbeda terbalik. Meskipun pada taraf tertentu tetap saja yang memiliki modal yang sangat besar selalu lebih unggul mengelaborasi ruang ekspresi pamer tersebut.
Tetapi secara umum, selain varian dan jenis hal yang dipamerkan bisa semakin beragam, dengan aksesibilitas yang memungkinkan setiap orang selama dia memiliki media dan kuota untuk mengaksesnya, maka pamer bisa dilakukan semua orang.
Ketika pamer sudah menjadi makanan pokok dan kebutuhan sehingga sebagian besar manusia modern tidak bisa meninggalkannya, maka bisa dikatakan bahwa pamer sebagai suatu sistem budaya. Sehingga bagi mereka yang memiliki kebiasaan pamer, sangat susah untuk menanggalkan perilaku ini.
Dalam kerangka atau perspektif inilah maka istilah “pamer” yang dijadikan anutan itu ditambahi dengan frasa “isme”, menjadi “pamerisme”. Dengan kata lain, pamerisme mengacu kepada perilaku yang melekat, bahkan sudah jadi prinsip (serta tidak sedikit yang menjadi ideologi) seseorang untuk memperlihatkan sesuatu kepada yang lain.
Tindakan ini dipilihnya agar orang-orang tahu apa yang dilakukan atau apa yang dimiliki atau sedang dilakukannya saat ini. Motivasinya bisa beragam: senang saja, menginspirasi, mencari cuan, sensasi, agar populer, branding, dan sebagainya.
Meskipun tidak semua yang melakukan atau yang menganut budaya pamerisme mendapatkan keuntungan materi, tetapi dengan adanya tindakan tersebut, mereka berpotensi yang mendapatkan keuntungan lain. Karena para pelaku ini harus berkontestasi untuk merebut simpati dari masyarakat pengguna jaringan internet atau netizen.
Penggerak Ekonomi
Bagi sebagian kalangan pamerisme adalah budaya yang harus dijauhi karena ia merupakan tindakan dan perbuatan yang menjurus sombong dan atau riya. Tetapi bagi yang yakin bahwa pamer itu sangat positif. Mereka mengatakan bahwa pamerisme adalah tambang dan jalan untuk menuju kesuksesan.
Banyak orang mengecam mereka yang melakukan pamer, terutama, di sosial media. Bahkan membahanya kecaman ini menyebabkan beberapa orang pelaku terganggu. Bahkan terdapat beberapa unit atau institusi di mana subjek tersebut bekerja kemudian memberhentikan permanen atau sementara dengan berbagai alasan.
Dalam perspektif yang berbeda, mari kita bayangkan jika budaya pamer ini dilarang sama sekali. Tidak hanya pejabat yang terganggu, tetapi juga masyarakat yang lainnya. Sebab apa yang terjadi kemudian adalah akan terganggunya roda perekonomian bangsa.
Karena tidak sedikit dari budaya pamer yang dilakukan oleh seseorang itu justru menjadi penghasilan dan pendapatan dan akhirnya menopang kehidupannya. Bahkan tidak sedikit juga dampak budaya pamer ini akhirnya dia juga mempekerjakan puluhan orang untuk menjamin keberlanjutan produk visual, yang menjadi konten pamer itu sendiri.
Selanjutnya budaya pamer juga bisa menjadi penggerak ekonomi, khususnya ekonomi lokal. Ini yang harus diatur oleh pemerintah terutama para pejabat yang gajinya cukup besar jangan sampai sisa gaji dan tunjangan yang demikian besar itu akhirnya hanya menguntungkan institusi perbankan saja melalui instumen tabungan.
Sebaiknya beragam tunjangan para pejabat itu tiap bulan dihabiskan untuk belanja, selain kebutuhan dasarnya tentu, dan kemudian dibolehkan untuk memamerkannya. Agar menggerakkan ekonomi rakyat, maka pemerintah mengatur bahwa beragam produk yang boleh dipamerkan oleh para pejabat di ruang publik itu hanya produk-produk original yang diproduksi oleh produsen-produsen lokal saja.
Misalnya beberapa hari yang lalu seorang pejabat ditanya mengenai busana yang dikenakannya. Sang pejabat menjawab bahwa busana ini adalah batik tulis produk lokal dengan nilai sekian. Coba kalau pejabat tersebut dilarang pamer dia tidak akan menjadi penggerak ekonomi dan produsen lokal itu.
Maka konsekuensinya adalah pemerintah juga harus mendorong beberapa pihak terutama produses untuk mampu menghasilkan produk yang kualitasnya setara dengan atau mendekati produk-produk premium luar negeri itu. Hal ini dimaksudkan agar bisa menjadi tujuan para pejabat menghabiskan dana tunjangan yang melimpah tersebut. Sehingga dengan produk tersebut mereka merasa pantas memamerkan produk-produk tersebut di sosial media.
Bagi beberapa orang, keinginan orang untuk memamerkan apa yang dia miliki entah itu asli atau KW atau apapun, merupakan satu hasrat alami dan manusiawi. Maka yang menjadi masalah bukan persoalan pamernya, tapi persoalan dari mana dia mendapatkan produk itu.
Apakah produk tersebut diperoleh dengan modus yang halal, layak dan pantas atau tidak. Masalahnya di situ, bukan di pamernya. Karena jika pamer ini dilarang, tidak menjamin orang-orang yang biasa nilep dan nyolong uang negara, dan lain-lain tidak melakukannya.
Apalagi sekarang, di mana teknologi sudah demikian canggih memfasilitasi hasrat dan syahwat pamer ini, maka ketika ruang pamer ini dilarang justru akan lebih banyak menuai kerugian ketimbang keuntungan.
Ketua Prodi Magister KPI UIN Jakarta; Pengajar Sosiologi Perkotaan
Masyarakat modern saat ini diselimuti oleh balutan berbagai teknologi yang menjadi bagian dari proses membentuk kehidupan. Beragam aplikasi dan fitur yang disediakan oleh teknologi secara langsung mengubah banyak hal. Respons atas beragam perilaku tersebut secara sosiologis kemudian telah menjadi landasan baru dalam berbudaya.
Maka bisa dikatakan bahwa manusia modern telah berubah puluhan derajat dibanding dengan manusia pada periode sebelumnya. Beragam keterbatasan yang sebelumnya membuat manusia banyak terhambat untuk melakukan dan mengekspresikan sesuatu, sekarang tidak lagi.
Pamerisme
Sehingga kosa kata yang dulu berlaku terbatas secara ruang dan konteks, sekarang menjadi lebih massal. Kosa kata yang sudah lama dikenal ini adalah “pamer”, yang secara morfologi Bahasa merupakan asal dari istilah pada artikel ini: “pamerisme”.
Aplikasi teknologi telah memudahkan siapapun untuk memperlihatkan apa saja yang dimilikinya, baik berupa materi maupun nonmateri kepada yang lain. Lalu aplikasi tersebut secara masif melakukan proses distribusi informasi tersebut dengan jauh lebih luas, sehingga bisa menjangkau beragam entitas. Perilaku dan budaya pamer yang saat ini sudah berubah menjadi makanan pokok masyarakat modern.
Sesuatu hal yang dulu mungkin hanya bisa dilakukan oleh sebagian kalangan yang memiliki sumberdaya lebih saja. Saat ini, sungguh berbeda terbalik. Meskipun pada taraf tertentu tetap saja yang memiliki modal yang sangat besar selalu lebih unggul mengelaborasi ruang ekspresi pamer tersebut.
Tetapi secara umum, selain varian dan jenis hal yang dipamerkan bisa semakin beragam, dengan aksesibilitas yang memungkinkan setiap orang selama dia memiliki media dan kuota untuk mengaksesnya, maka pamer bisa dilakukan semua orang.
Ketika pamer sudah menjadi makanan pokok dan kebutuhan sehingga sebagian besar manusia modern tidak bisa meninggalkannya, maka bisa dikatakan bahwa pamer sebagai suatu sistem budaya. Sehingga bagi mereka yang memiliki kebiasaan pamer, sangat susah untuk menanggalkan perilaku ini.
Dalam kerangka atau perspektif inilah maka istilah “pamer” yang dijadikan anutan itu ditambahi dengan frasa “isme”, menjadi “pamerisme”. Dengan kata lain, pamerisme mengacu kepada perilaku yang melekat, bahkan sudah jadi prinsip (serta tidak sedikit yang menjadi ideologi) seseorang untuk memperlihatkan sesuatu kepada yang lain.
Tindakan ini dipilihnya agar orang-orang tahu apa yang dilakukan atau apa yang dimiliki atau sedang dilakukannya saat ini. Motivasinya bisa beragam: senang saja, menginspirasi, mencari cuan, sensasi, agar populer, branding, dan sebagainya.
Meskipun tidak semua yang melakukan atau yang menganut budaya pamerisme mendapatkan keuntungan materi, tetapi dengan adanya tindakan tersebut, mereka berpotensi yang mendapatkan keuntungan lain. Karena para pelaku ini harus berkontestasi untuk merebut simpati dari masyarakat pengguna jaringan internet atau netizen.
Penggerak Ekonomi
Bagi sebagian kalangan pamerisme adalah budaya yang harus dijauhi karena ia merupakan tindakan dan perbuatan yang menjurus sombong dan atau riya. Tetapi bagi yang yakin bahwa pamer itu sangat positif. Mereka mengatakan bahwa pamerisme adalah tambang dan jalan untuk menuju kesuksesan.
Banyak orang mengecam mereka yang melakukan pamer, terutama, di sosial media. Bahkan membahanya kecaman ini menyebabkan beberapa orang pelaku terganggu. Bahkan terdapat beberapa unit atau institusi di mana subjek tersebut bekerja kemudian memberhentikan permanen atau sementara dengan berbagai alasan.
Dalam perspektif yang berbeda, mari kita bayangkan jika budaya pamer ini dilarang sama sekali. Tidak hanya pejabat yang terganggu, tetapi juga masyarakat yang lainnya. Sebab apa yang terjadi kemudian adalah akan terganggunya roda perekonomian bangsa.
Karena tidak sedikit dari budaya pamer yang dilakukan oleh seseorang itu justru menjadi penghasilan dan pendapatan dan akhirnya menopang kehidupannya. Bahkan tidak sedikit juga dampak budaya pamer ini akhirnya dia juga mempekerjakan puluhan orang untuk menjamin keberlanjutan produk visual, yang menjadi konten pamer itu sendiri.
Selanjutnya budaya pamer juga bisa menjadi penggerak ekonomi, khususnya ekonomi lokal. Ini yang harus diatur oleh pemerintah terutama para pejabat yang gajinya cukup besar jangan sampai sisa gaji dan tunjangan yang demikian besar itu akhirnya hanya menguntungkan institusi perbankan saja melalui instumen tabungan.
Sebaiknya beragam tunjangan para pejabat itu tiap bulan dihabiskan untuk belanja, selain kebutuhan dasarnya tentu, dan kemudian dibolehkan untuk memamerkannya. Agar menggerakkan ekonomi rakyat, maka pemerintah mengatur bahwa beragam produk yang boleh dipamerkan oleh para pejabat di ruang publik itu hanya produk-produk original yang diproduksi oleh produsen-produsen lokal saja.
Misalnya beberapa hari yang lalu seorang pejabat ditanya mengenai busana yang dikenakannya. Sang pejabat menjawab bahwa busana ini adalah batik tulis produk lokal dengan nilai sekian. Coba kalau pejabat tersebut dilarang pamer dia tidak akan menjadi penggerak ekonomi dan produsen lokal itu.
Maka konsekuensinya adalah pemerintah juga harus mendorong beberapa pihak terutama produses untuk mampu menghasilkan produk yang kualitasnya setara dengan atau mendekati produk-produk premium luar negeri itu. Hal ini dimaksudkan agar bisa menjadi tujuan para pejabat menghabiskan dana tunjangan yang melimpah tersebut. Sehingga dengan produk tersebut mereka merasa pantas memamerkan produk-produk tersebut di sosial media.
Bagi beberapa orang, keinginan orang untuk memamerkan apa yang dia miliki entah itu asli atau KW atau apapun, merupakan satu hasrat alami dan manusiawi. Maka yang menjadi masalah bukan persoalan pamernya, tapi persoalan dari mana dia mendapatkan produk itu.
Apakah produk tersebut diperoleh dengan modus yang halal, layak dan pantas atau tidak. Masalahnya di situ, bukan di pamernya. Karena jika pamer ini dilarang, tidak menjamin orang-orang yang biasa nilep dan nyolong uang negara, dan lain-lain tidak melakukannya.
Apalagi sekarang, di mana teknologi sudah demikian canggih memfasilitasi hasrat dan syahwat pamer ini, maka ketika ruang pamer ini dilarang justru akan lebih banyak menuai kerugian ketimbang keuntungan.
(ynt)