Denny JA Bicara Potensi Memudarnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu
loading...
A
A
A
“Dalam sejarah, kita tahu pula, kekuasaan ulama, pendeta, dan biksu ini sering disalahgunakan. Di abad ke-15, bahkan Martin Luther sudah melawan kelas pendeta di kepausan. Para pendeta mengumpulkan uang dengan menjual surat pengampunan dosa kepada publik. Martin Luther termasuk yang pertama-tama menyerukan setiap individu jangan bergantung pada pendeta untuk pemahaman agama,” terang Denny JA.
Saat ini, kata Denny JA, zaman sudah berubah di mana kemampuan publik meningkat pesat dan teknologi membawa suasana baru. Pada abad ke-21, persentase penduduk yang bisa membaca dan menulis di dunia maju hampir 100%. Sementara di dunia berkembang, mayoritas penduduk hingga 87% bisa membaca dan menulis.
Lalu, mesin cetak bukan hanya bisa menyebarkan jutaan buku, namun sudah ada internet yang menyimpan aneka informasi lebih besar dari perpustakaan manapun dalam sejarah.
Sebanyak 65% penduduk dunia kini mengakses internet sehingga mudah sekali membanding-bandingkan aneka informasi, mulai dari tafsir kitab suci hingga penemuan arkeologi yang menafsir ulang kisah sejarah dalam kitab suci.
“Mudah sekali bagi siapa pun untuk membanding-bandingkan tafsir agama yang beragam dari yang paling kiri hingga paling kanan,” paparnya.
Denny JA menjelaskan di era seperti ini memang sudah cukup matang bagi individu untuk mencari jalan kebenaran secara mandiri. Individu tak lagi memerlukan otoritas spiritual yang seolah menjadi juru bicara Nabi atau Tuhan.
Maka di titik inilah, peran ulama, pendeta, dan biksu memudar. Agama berevolusi ke tahap zaman yang lebih mengagungkan kedaulatan individu untuk urusan spiritual. Namun, yang dibutuhkan setiap individu di era ini hanyalah kawan untuk diskusi, bertukar pengalaman, dan pemahaman.
Apalagi, kata Denny JA, saat ini era di mana setiap individu dilindungi hak asasinya yang bisa memilah sendiri dan memilih dari 4.300 agama yang ada, serta puluhan tafsir yang ada yang sesuai dengan gaya hidup dan selera berpikirnya.
Menurut Denny JA, dua individu dalam agama yang sama juga tak perlu berujung pada pemahaman agama yang sama. Sebab, riwayat hidup dan cetak batin setiap individu juga tak sama. Mereka pun menghadapi kondisi sosial yang tak sama.
“Mengapa pula mereka harus memiliki tafsir agama yang sama? Tapi, bukankah setiap komunitas agama memerlukan organisasi? Benar!” terangnya.
Saat ini, kata Denny JA, zaman sudah berubah di mana kemampuan publik meningkat pesat dan teknologi membawa suasana baru. Pada abad ke-21, persentase penduduk yang bisa membaca dan menulis di dunia maju hampir 100%. Sementara di dunia berkembang, mayoritas penduduk hingga 87% bisa membaca dan menulis.
Lalu, mesin cetak bukan hanya bisa menyebarkan jutaan buku, namun sudah ada internet yang menyimpan aneka informasi lebih besar dari perpustakaan manapun dalam sejarah.
Sebanyak 65% penduduk dunia kini mengakses internet sehingga mudah sekali membanding-bandingkan aneka informasi, mulai dari tafsir kitab suci hingga penemuan arkeologi yang menafsir ulang kisah sejarah dalam kitab suci.
“Mudah sekali bagi siapa pun untuk membanding-bandingkan tafsir agama yang beragam dari yang paling kiri hingga paling kanan,” paparnya.
Denny JA menjelaskan di era seperti ini memang sudah cukup matang bagi individu untuk mencari jalan kebenaran secara mandiri. Individu tak lagi memerlukan otoritas spiritual yang seolah menjadi juru bicara Nabi atau Tuhan.
Maka di titik inilah, peran ulama, pendeta, dan biksu memudar. Agama berevolusi ke tahap zaman yang lebih mengagungkan kedaulatan individu untuk urusan spiritual. Namun, yang dibutuhkan setiap individu di era ini hanyalah kawan untuk diskusi, bertukar pengalaman, dan pemahaman.
Apalagi, kata Denny JA, saat ini era di mana setiap individu dilindungi hak asasinya yang bisa memilah sendiri dan memilih dari 4.300 agama yang ada, serta puluhan tafsir yang ada yang sesuai dengan gaya hidup dan selera berpikirnya.
Menurut Denny JA, dua individu dalam agama yang sama juga tak perlu berujung pada pemahaman agama yang sama. Sebab, riwayat hidup dan cetak batin setiap individu juga tak sama. Mereka pun menghadapi kondisi sosial yang tak sama.
“Mengapa pula mereka harus memiliki tafsir agama yang sama? Tapi, bukankah setiap komunitas agama memerlukan organisasi? Benar!” terangnya.