Denny JA Bicara Potensi Memudarnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu

Kamis, 23 Maret 2023 - 06:05 WIB
loading...
Denny JA Bicara Potensi Memudarnya Peran Ulama, Pendeta, dan Biksu
Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA potensi memudarnya peran ulama, pendeta, dan biksu dalam pencarian spiritual seorang individu. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Mungkinkah beragama tanpa ulama , pendeta, dan biksu? Akankah tiba tahap itu ketika era pertumbuhan agama , pencarian spiritual individu yang tak lagi memerlukan peran ulama, pendeta, dan biksu?

Pertanyaan itu muncul dalam benak Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA setelah membaca penggalan tulisan Friederich Affolter (2015) yang menulis soal agama Bahai di Iran.

Baca juga: Jaga Kesucian Ramadan, Wamenag Imbau Tak Gunakan Tempat Ibadah untuk Politik Praktis

Selain Denny JA, dalam acara Forum Lintas Agama Esoterika tersebut hadir juga Nasrin Astani selaku penganut agama Bahai. Dia menceritakan sejarah agama Bahai yang tidak memiliki ulama, pendeta, atau biksu.

Di samping itu, hadir juga tokoh Muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil. Ia menceritakan tentang lahirnya agama Bahai yang mirip dengan agama Kristen.

Gus Ulil mengatakan pada saat itu, agama Kristen hadir pada masa pemerintahan agama yang sedang berjaya di Iran dan politik pemerintah yang sudah mapan sehingga lebih banyak perjuangan yang harus dihadapi.

Pada acara yang sama juga digelar pembacaan puisi karya Denny JA berjudul “Di Hari Raya Nowruz, Haida Mendengar Sejarah”, oleh Monica JR serta puisi karya sastrawan Ahmad Gaus AF berjudul “Bulan di Atas Menara”.

Selain itu, acara yang dihadiri oleh hampir 100 orang dari beragam latar belakang agama itu juga diwarnai dengan pendarasan teks lintas iman, pembacaan syair serta kidung teks suci, serta musik.

“Kita memasuki zaman pencerahan yang sudah matang bagi pertumbuhan individu. Karena itu, para individu itu perlu mencari kebenaran, jalan agama, jalan spiritualnya sendiri, secara mandiri, melalui elaborasinya sendiri,” begitu dituturkan oleh Denny JA, merujuk pada pernyataan pendiri agama Bahai Mirza Ḥusayn-Ali Nuri yang bergelar Bahá'u'lláh, sebagaimana ditulis Affolter dikutip, Kamis (23/3/2023).

“Peran mediator seperti ulama, pendeta, dan biksu tak lagi diperlukan sebagai otoritas spiritual. Semua penganut agama sama posisinya, setara, sama rendah dan sama tinggi,” sambungnya.

Menurut Denny JA, pada tahap ini, ajaran apa pun dan dari agama manapun dilihat sebagai konstruksi sosial. Maka, yang menjadi pertanyaan kondisi sosial serta konteks masyarakat bagaimana yang memerlukan peran ulama, pendeta, dan biksu?

Denny JA menyebut data terkait persentase buta huruf dalam sejarah dari abad ke abad dan teknologi tinggi untuk menggandakan serta menyebarkan informasi.

“Ternyata sampai dengan abad 14, jumlah penduduk dunia yang bisa membaca dan menulis hanya 10 persen. Sebanyak 90 persen warga dunia kala itu masih buta huruf. Bahkan, di era Kerajaan Roma sebelum kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus), yang bisa membaca dan menulis hanya 3 persen penduduk,” terang Denny JA dalam Forum Lintas Agama Esoterika Merayakan Hari Raya Agama Baha’I yang digelar di Countrywood, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa 21 Maret 2023.

Denny JA mengatakan sebelum ada mesin cetak yang baru ditemukan pada 1450, setiap kitab suci atau buku hanya disalin tangan. Peredaran kitab suci dan buku akibatnya sangat terbatas.

Jika itu konteks sosialnya, maka tidak heran hingga abad ke-14 mayoritas warga tak punya akses kepada kitab suci dan buku penting. Bahkan, kopi kitab suci dan buku pengetahuan pun tidak tersedia luas.

Dalam konteks seperti ini, peran ulama, pendeta, dan biksu menjadi sentral dan maha penting. Hanya kelas ini yang memperoleh akses dan bisa memahami kitab suci dan buku pengetahuan.

“Tanpa peran ulama, pendeta, dan biksu mayoritas publik yang tak bisa membaca tak bisa memperoleh pencerahan dari pesan-pesan agama dan pengetahuan,” ungkap Denny JA.

Maka dari itu, lanjut dia, kita harus berterima kasih kepada ulama, pendeta, dan biksu sebelum abad ke-14 karena peran besar mereka dalam mengubah kesadaran publik.

Ulama, pendeta, dan biksu awalnya hanya penyampai pesan agama dan pengetahuan, lalu terjadi pergeseran peran karena publik tak memiliki informasi pembanding sehingga perantara ini menjelma memiliki otoritas spiritual.

Ulama, pendeta, dan biksu kemudian menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang mempunyai surplus kekuasaan. Ulama, pendeta, dan biksu pun dipersepsikan dan dimitoskan menjadi pengganti Nabi, bahkan seolah paling tahu kehendak Tuhan.

“Dalam sejarah, kita tahu pula, kekuasaan ulama, pendeta, dan biksu ini sering disalahgunakan. Di abad ke-15, bahkan Martin Luther sudah melawan kelas pendeta di kepausan. Para pendeta mengumpulkan uang dengan menjual surat pengampunan dosa kepada publik. Martin Luther termasuk yang pertama-tama menyerukan setiap individu jangan bergantung pada pendeta untuk pemahaman agama,” terang Denny JA.

Saat ini, kata Denny JA, zaman sudah berubah di mana kemampuan publik meningkat pesat dan teknologi membawa suasana baru. Pada abad ke-21, persentase penduduk yang bisa membaca dan menulis di dunia maju hampir 100%. Sementara di dunia berkembang, mayoritas penduduk hingga 87% bisa membaca dan menulis.

Lalu, mesin cetak bukan hanya bisa menyebarkan jutaan buku, namun sudah ada internet yang menyimpan aneka informasi lebih besar dari perpustakaan manapun dalam sejarah.

Sebanyak 65% penduduk dunia kini mengakses internet sehingga mudah sekali membanding-bandingkan aneka informasi, mulai dari tafsir kitab suci hingga penemuan arkeologi yang menafsir ulang kisah sejarah dalam kitab suci.

“Mudah sekali bagi siapa pun untuk membanding-bandingkan tafsir agama yang beragam dari yang paling kiri hingga paling kanan,” paparnya.

Denny JA menjelaskan di era seperti ini memang sudah cukup matang bagi individu untuk mencari jalan kebenaran secara mandiri. Individu tak lagi memerlukan otoritas spiritual yang seolah menjadi juru bicara Nabi atau Tuhan.

Maka di titik inilah, peran ulama, pendeta, dan biksu memudar. Agama berevolusi ke tahap zaman yang lebih mengagungkan kedaulatan individu untuk urusan spiritual. Namun, yang dibutuhkan setiap individu di era ini hanyalah kawan untuk diskusi, bertukar pengalaman, dan pemahaman.

Apalagi, kata Denny JA, saat ini era di mana setiap individu dilindungi hak asasinya yang bisa memilah sendiri dan memilih dari 4.300 agama yang ada, serta puluhan tafsir yang ada yang sesuai dengan gaya hidup dan selera berpikirnya.

Menurut Denny JA, dua individu dalam agama yang sama juga tak perlu berujung pada pemahaman agama yang sama. Sebab, riwayat hidup dan cetak batin setiap individu juga tak sama. Mereka pun menghadapi kondisi sosial yang tak sama.

“Mengapa pula mereka harus memiliki tafsir agama yang sama? Tapi, bukankah setiap komunitas agama memerlukan organisasi? Benar!” terangnya.

Meski begitu, yang dibutuhkan komunitas itu lebih sebagai manajemen dan administrasi modern, di mana pengurusnya dipilih secara berkala oleh komunitasnya sendiri. Posisi para pemimpin agama ini bisa berjenjang dari tingkat komunitas kecil, hingga nasional dan internasional.

Organisasi jenis ini cukup hanya memiliki otoritas manajemen tapi tak punya otoritas spiritual. Pada tingkat individu itulah otoritas spiritual berada.

“Agama Bahai sendiri sudah berjalan selama 180 tahun. Dalam doktrin agama mereka, memang secara sengaja mereka tak memberi tempat kepada perantara, seperti ulama, pendeta, dan biksu. Tak ada sejenis ulama, pendeta, atau biksu dalam agama Bahai. Agama lain di luar Bahai pada waktunya juga akan mengarah ke sini,” ungkap Denny JA.

Denny JA menambahkan kedaulatan individu kini sudah didukung oleh teknologi informasi yang tinggi yang sudah menyediakan ekosistem bagi kemandirian individu soal agama sekalipun.

Saat ini, kemungkinan manusia tengah memasuki bab terakhir dari sejarah agama yang perlahan tapi pasti tak memerlukan otoritas spiritual itu lagi. Ulama, pendeta, dan biksu akan tetap hadir tapi peran mereka tak lagi signifikan seperti di era sebelumnya.

“Hari ini bersama kita merayakan Hari Raya Nawruz, tahun baru yang dirayakan penganut Bahai. Selaku agama yang sangat baru, usianya belum 200 tahun, agama Bahai menyebarluaskan banyak gagasan yang bahkan sangat maju bagi telinga abad ke-21,” terangnya.



Denny JA menyebut dalam beberapa isu, agama Bahai memiliki ajaran yang kontras, misalnya dengan agama Islam meski setiap agama tak harus sama. “Walau berbeda, kita meyakini bahwa kita bisa disatukan oleh esensi yang sama dari setiap agama, yaitu seruan kepada kebajikan, keadilan, dan compassion. Zaman terus berubah. Berubah pula cara kita memahami hidup. Berubah pula cara kita beragama,” tutupnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3022 seconds (0.1#10.140)