Konteks Sosial-Politik Muslim Moderat di Indonesia

Selasa, 21 Maret 2023 - 20:53 WIB
loading...
Konteks Sosial-Politik Muslim Moderat di Indonesia
Ridwan, Dosen Tetap UIII dan Koordinator Riset ALPHA-I (Alumni Penerima Beasiswa USAID Indonesia (Periode 2022-2024). Foto/Dok/Pribadi
A A A
Ridwan
Dosen Tetap UIII dan Koordinator Riset ALPHA-I (Alumni Penerima Beasiswa USAID Indonesia (Periode 2022-2024).

MUSLIMIndonesia, sejatinya, acap diglorifikasi sebagai Muslim moderat. Argumen yang diajukan adalah mereka umumnya lebih berpikiran terbuka, toleran, dan menghormati pluralisme. Selain itu, Indonesia diakui sebagai panutan demokrasi bagi negara-negara Muslim lainnya di dunia yang banyak terperangkap dalam perang sipil. Pandangan tersebut memang benar adanya.

Namun, kita perlu mewaspadai perkembangan konteks sosial-politik yang bisa mengubah lanskap Muslim moderat di tanah air. Dalam tulisan ini, penulis memproblematisasi konteks sosial politik, yang dapat mengancam masa depan Muslim moderat di Indonesia, oleh karena terdapat fakta sosial di mana menguatnya konservatisme dan melemahnya liberalisme beberapa tahun belakangan ini.

Penulis berargumen, bahwa masa depan Islam moderat yang gemilang di Indonesia terkait dengan dinamika dan dialektika antara konsevatisme dan liberalisme Islam. Dua fenomena sosial politik ini yang menjadi subjek kajian opini singkat ini.

Bukti menunjukkan bahwa semenjak rezim Orde Baru Soeharto yang tersungkur karena belati perlawanan rakyat (people power) dan kebangkitan era reformasi yang menjanjikan perubahan ke arah yang lebih demokratis, para pengamat dan media internasional mempertanyakan apakah Indonesia masih tempat yang subur bagi benih muslim moderat.

Mereka juga menggugat kegagalan umat Islam moderat mayoritas (silent majority) yang diam dalam menanggapi kebangkitan gerakan radikal Islam dan penguatan konservatisme di tanah air. Bahkan, gerakan-gerakan Islam radikal tersebut seacra bebas menyebarkan semangat sikap intoleransi, anti-pluralisme, dan gagasan berpikiran Syari'at yang ketat, legal, dan eksklusif, yang dianggap berlawanan dengan karakteristik dan keislaman muslim moderat arus utama di Indonesia.

Belakangan ini, mereka tampaknya ledbih menguasai otoritas keagamaan melalui media sosial dan digital dengan barisan pendakwahnya. Singkatnya, reformasi gagal memenuhi janjinya bagi persemaian Muslim moderat yang diperlukan dalam mendorong demokratisasi di tanah air.

Dinamika sosial dan politik Islam Indonesia telah menarik lama banyak perhatian para skolar. Secara kesejarahan, Islam Indonesia telah digambarkan sebagai rumah bagi Islam moderat. Perkembangan sejarah Islam yang unik di tanah air telah mendefinisikan karakteristik Islam di Indonesia sebagai agama yang toleran dan menghormati perbedaan sosial-agama.

Baik Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah, sebagai dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia telah terbuka dan menerima ide-ide keagamaan baru, sehingga memungkinkan kedua organisasi untuk menyesuaikan pandangan keagamaan mereka dengan perkembangan sosial dan politik masyarakat Indonesia kontemporer.
Namun, seperti yang ditunjukkan secara singkat di atas, perkembangan konteks sosial-politik saat ini telah meretas sejumlah tantangan baru bagi Muslim moderat dan juga dua organisasi keagamaan dan pelabagi ormas lainnya di negara ini.

Keprihatinan yang luar biasa adalah munculnya konservatisme dan intoleransi di kalangan Muslim selama dua dekade terakhir dengan mana kita agak mengabaikan dinamika agama dan sosial-ekonomi kelompok toleran. Singkatnya, liberalisasi politik paska reformasi telah dan sedang meretas ruang bagi kaum Islamis dan partai politik untuk menyuarakan tuntutan mereka secara terbuka dan lantang.

Seperti yang telah ditunjukkan banyak orang, dua jenis kelompok Islam radikal muncul selama era pasca-1998. Pertama adalah organisasi yang terbuka dan terlihat. Gerakan-gerakan ini mudah diidentifikasi karena pendiri, anggota, dan kegiatan mereka transparan.

Selain itu, mereka merekrut anggota secara terbuka. Kelompok 'terbuka' ini termasuk mereka yang muncul dari Indonesia dan mereka yang berafiliasi dengan Islam transnasional di Timur Tengah. Kelompok yang tumbuh di dalam negeri termasuk Laskar Jihad, FPI, MMI, dan kelompok radikal kecil lainnya.

Mereka yang memiliki hubungan Timur Tengah termasuk Jama'ah Ikhwanul Muslimin (JAMI), berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin (Ikhwanul Muslimin) di Mesir, dan HTI, cabang HT, yang dibuat oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di Yerusalem pada tahun 1953. Terima kasih kepada pak Jokowi yang telah melarang HTI pada tahun 2017 dan FPI pada tahun 2019.

Kategori kedua terdiri dari organisasi radikal Islam tertutup atau bawah tanah. Kelompok-kelompok ini sulit untuk mengidentifikasi dan merekrut anggota secara diam-diam. Jemaah Islamiyah masuk dalam kategori ini. Greg Fealy berpendapat bahwa "semua organisasi ini mencari perubahan dramatis dalam masyarakat dan politik Indonesia".

Fealy lebih lanjut berpendapat bahwa kelompok Islam radikal di Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis; (1) politik, pendidikan, dan intelektual; (2) main hakim sendiri, merupakan kelompok masyarakat yang dibentuk untuk mencegah kesalahan dan amoralitas, terutama yang tidak menjadi perhatian lembaga penegak hukum; (3) paramiliter; dan (4) teroris. Kategori pertama terdiri dari kelompok-kelompok yang tidak menggunakan kekerasan dalam mengejar perubahan Islam radikal, seperti HTI.

Dalam kategori main hakim sendiri adalah FPI dan kelompok paramiliter lainnya, misalnya, Laskar Jihad. Teroris merujuk pada individu dan organisasi yang menggunakan kekerasan atas nama agama. Perkembangan kelompok kedua ini rerata sudah stagnan, hanya di bidang kelompok politik, Pendidikan dan intelektual yang masih bergeliat.

Penguatan gerakan Islam radikal di Indonesia terjadi secara masif dan terstruktur dengan baik. Gerakan ini tidak hanya menyasar tujuan ideologis-politik dan kepentingan kenegaraan, tetapi juga menembus berbagai aspek kehidupan di masyarakat, termasuk ekspresi keagamaan.

Oleh karena itu, berbagai gerakan Islam radikal dan khususnya Islam transnasional yang disebutkan di atas dapat dianggap sebagai gerakan Islam radikal. Karena telah merambah ke berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, banyak yang beranggapan bahwa gerakan radikal keagamaan ini harus direduksi keberadaannya atau bahkan dihilangkan dalam ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

Karena dalam jangka panjang secara ideologis-politis, keberadaan gerakan radikal keagamaan akan mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dilihat dari ekspresi agama, keberadaan gerakan radikal keagamaan ini akan berbenturan dengan sikap moderat dalam beragama yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ini karena gerakan mereka lebih fundamentalistik dan menunjukkan anti moderasi dalam ekspresi agama mereka.

Adanya liberalisasi politik di era reformasi telah membuka jalan bagi Islam liberal untuk bermunculan di berbagai kelompok organisasi keagamaan di tanah air. Menurut Greg Fealy, era reformasi tidak hanya menawarkan berbagai kebebasan, tetapi juga memberikan tantangan besar bagi Islam progresif.

Cendekiawan dan kelompok liberal harus bersaing di pasar terbuka daripada di dalam Orde Baru yang membatasi dan membatasi diskusi publik tentang Islamisme. Selain itu, Fealy berpendapat Muslim Liberal sangat prihatin dengan penyebaran Islamisme melalui partai politik, media dan kelompok masyarakat sipil.

Beberapa dari kelompok-kelompok ini telah lama bergerak di bawah tanah, dan yang lain berasal dari jaringan longgar, dimobilisasi oleh tokoh-tokoh karismatik. Partai Keadilan (sekarang PKS), Hizbut Tahrir Indonesia dan partai-partai FPI termasuk di antara partai-partai dan kelompok-kelompok yang berjuang di garis Islamisme. Media Islam juga berkembang pesat, di antaranya majalah Sabili yang menjadi majalah dengan penjualan terbanyak pada 2001 dan 2002.

Dalam kondisi seperti ini, Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 lahir di tangan para skolar dan ulama muda Islam yang dipimpin oleh Ulil Abshar Abdalla. Akar intelektual kelompok ini kembali kepada para pemikir pluralis pada 1970-an seperti Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Mukti Ali, untuk mednyebut beberapa nama.

Kelompok yang beranggotakan Ulil bersama Luthfi Assyaukanie dan Budhi Munawar Rahman dan beberapa pemikir lain yang terkait dengan Enklave Utan Kayu di Jakarta ini sangat aktif menyuarakan gagasan Islam Liberal, di mana Islam sesuai dengan pluralisme, negara sekuler, dan ekonomi pasar.

Dalam bacaan mereka, menurut Bourchier dan Jusuf (2022, hlm. 11), "Al-Quran dapat ditafsirkan dengan cara yang akan mendukung norma-norma liberal, termasuk larangan poligami, diakhirinya diskriminasi terhadap perempuan, dan pernikahan antar agama".

Perkembangan dan dominasi pemberitaan JIL yang dipandang mempengaruhi pemikiran Muslim perkotaan telah memantik amarah kelompok Muslim radikal dan konservatif dan menganggap JIL sebagai organisasi sesat dan menyesatkan. Satu fatwa tentang darah Ulil halal oleh Majelis Ulama Indonesia, yang saat itu didominasi oleh beberapa pengurus ultra-konservatif.

Dentang kematian kelompok Islam liberal itu ditandai dengan dikeluarkannya fatwa pada 2005 yang mengutuk "liberalisme, sekularisme, dan pluralisme' sebagai 'melawan ajaran Islam'. Atas dasar ini, FPI menyerang dan mengintimidasi kelompok Islam liberal. Sebagai satu akibat, meskipun mendapatkan perhatian media dan beasiswa untuk beberapa waktu, gerakan JIL ini gagal mendapatkan jumlah pengikut yang signifikan, dan sejak 2015 telah berkurang.

Pada akhir dekade, istilah liberal telah distigmatisasi di mana beberapa sarjana yang diklaim oleh para pendukung liberal menolak untuk dikaitkan dengan istilah tersebut. Para pemimpin dan pengikutnya masih bergerak secara sporadis dalam menyebarkan gagasan Islam liberal. Lebih jauh, tidak terjadi perkembangan pemikiran Islam yang progresif seperti sebelumnya.

Sebagai kesimpulan, Muslim moderat yang merupakan mayoritas di tanah air tampaknya gagal dalam percaturan konteks social-politik di mana penguatan radikalisme dan konservatisme terjadi secara relative di banyak tempat di tanah air. Pada saat yang sama kelompok Muslim progresif yang diwakili JIL, yang juga varian dari Muslim moderat, dilemahkan oleh konservatisasi yang kuat menginflitrasi struktur keagamaan di tanah air.

Kementerian Agama, para pemikir moderat dan ormas NU dan Muhammadiyah, serta UIII, rumah moderasi, dan stakeholder lainnya mesti merespon situasi ini dengan positif untuk mempertahankan keberlangsungan denyut nadi moderatisme Muslim di tanah air.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1567 seconds (0.1#10.140)