Revitalisasi Ideologi Gotong Royong

Senin, 21 September 2015 - 13:09 WIB
Revitalisasi Ideologi Gotong Royong
Revitalisasi Ideologi Gotong Royong
A A A
”Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!” (Pidato Soekarno di BPUPKI, 1 Juni 1945)

Pidato Presiden Soekarno di atas ada baiknya menjadi renungan bagi bangsa ini ketika dua kata itu, gotong royong, seakan menjadi sesuatu yang kuat di wacana, tetapi cenderung lemah dalam tata sosial masyarakat kita. Jagat panggung kekuasaan kita seakan menjauh dari semangat kebersamaan, persatuan, senasib, dan sepenanggungan.

Perbedaan orientasi politik dan kepentingan kekuasaan menjadi ukuran mayoritas dan memarginalkan ukuran, khususnya mengenai loyalitas pada nilainilai ideologi bangsa ini. Soekarno lahir sebagai pemikir kebangsaan sekaligus pejuang lapangan yang melahirkan dan mendesak pentingnya philosophische grondslag (filosofi dasar) untuk Indonesia yang merdeka.

Filosofi dasar ini menjadi weltanschauung (pandangan hidup) bangsa Indonesia untuk merumuskan, memperjuangkan, sekaligus mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Lima dasar filosofis pun lahir, yakni kebangsaan Indonesia, internasionalisme (atau perikemanusiaan), mufakat (atau demokrasi), kesejahteraan sosial, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah lima dasar yang kemudian kita sebut sampai hari ini sebagai dasar negara, Pancasila.

Pancasila dilahirkan oleh sebuah momen historis, yakni Revolusi Nasional bangsa Indonesia. Tanpa memahami konteks historis ini, niscaya kita akan kebingungan meletakkan Pancasila dan konteks Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sedang bergerak mencapai tujuan.

Pancasila dengan lima prinsip sering disederhanakan menjadi tiga gagasan besar, yakni sosio- nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan sosiodemokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5) serta Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketiganya inilah yang kemudian terhimpun dalam satu kata: gotong royong!

Demokrasi

Gotong royong adalah sebuah kerja bersama, kerja bersatu, dalam semangat tunggal, yakni demi mencapai kemaslahatan bangsa, bukan kelompok, golongan maupun suku. Dalam konteks inilah kemudian wacana demokrasi di negeri ini kerap kali mengalami ”perdebatan” apakah kita murni mengadopsi demokrasi Barat atau demokrasi kita sendiri yang dibangun dari nilai-nilai luhur, yakni gotong royong.

Soekarno pernah menyatakan jika kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Demokrasi yang menyejahterakan, demokrasi yang bermanfaat, dan demokrasi yang memberikan faedah bagi rakyat. Kerja bersama menjadi kunci untuk menciptakan demokrasi yang benar-benar menjawab kebutuhan rakyat.

Begitulah konsep awal para pendiri memaknai demokrasi sebagai bagian dari filosofi gotong royong. Bung Karno pernah menyatakan bahwa gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, dan satu karyo, satu gawe. Apakah perjalanan demokrasi kita sejauh ini sudah mencerminkan gotong royong? Itu masih menjadi pekerjaan rumah kita saat ini. Bagaimanapun demokrasi kita masih dikuasai oleh elitenya meskipun perkembangan publik sejauh ini menguat dengan dinamika sosial yang melingkupinya.

Perhelatan Pemilihan Presiden 2014 menjadi potret bagaimana publik kita belajar tentang pertarungan politik, perbedaan pilihan, sekaligus belajar berargumentasi. Semakin mengerucutnya pilihan politik ternyata membawa berkah, yakni semakin kritisnya publik pada pelaksanaan pemerintahan dari hasil pemilihan presiden tersebut.

Namun yang lebih penting dari itu semua adalah demokrasi yang dibangun di negeri ini adalah demokrasi yang tidak melupakan nilai-nilai luhur, yakni kebersamaan sebagai satu bangsa yang tunggal meskipun disatukan oleh perbedaan. Mengutip kalimat pidato Bung Karno, negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!

Ideologi Perubahan

Demokrasi di Indonesia memang lahir atas inspirasi Barat sebagai leluhur demokrasi, tetapi demokrasi ini dikuatkan dan tumbuh dengan modal sosial dan sejarah yang kuat. Pancasila tentu menjadi rujukan dan inspirasi yang kuat dalam menjalankan praktik demokrasi. Bagaimanapun Pancasila lahir dari konteks ”masyarakat yang ingin keluar dari belenggu penjajahan”.

Pancasila lahir sebagai bentuk ”perlawanan” dari praktik kolonialisme dan imperialisme. Inilah yang kemudian bisa memaknai Pancasila sebagai ideologi perubahan. Inilah ideologi nasional yang progresif dalam revolusi Indonesia. Pancasila punya dua peran pokok, yakni sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia serta sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, termasuk jalannya revolusi Indonesia.

Untuk yang pertama, Pancasila merupakan ideologi atau filsafat yang tidak saja mempersatukan berbagai komponen bangsa Indonesia (suku, agama, golongan, dan lain-lain), tetapi juga mempersatukan berbagai aliran dan pemikiran politik dalam kerangka menuntaskan revolusi nasional bangsa Indonesia. Mempersatukan komponen bangsa itulah yang kemudian membutuhkan perekat.

Gotong royong adalah ideologi turunan dari Pancasila yang relatif membumi dan begitu mudah dimaknai oleh sebagian besar komponen bangsa. Negeri ini sebenarnya tidak hanya kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga kaya akan sumber daya sosial.

Nilai-nilai luhur, kebudayaan, dan semangat gotong royong adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kekayaan inilah yang mampu menjadi modal besar bagi bangsa ini untuk menatap tantangan global, yakni perubahan dunia yang semakin kompetitif.

Anna Luthfie
Ketua DPP Partai Perindo
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9047 seconds (0.1#10.140)