Dehidrasi Demokrasi dan Politik

Senin, 13 Maret 2023 - 17:09 WIB
loading...
Dehidrasi Demokrasi...
Pengamat perilaku politik, Jamsari. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Jamsari
Pengamat Perilaku Politik, Alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

PENGELOLAAN anggaran politik Pemilu 2024 sejak tahap perencanaan, penguasaan hingga pertanggungjawaban, sudah seharusnya transparan, sehingga manfaatnya berdampak baik untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat luas sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sumberdaya publik yang dikelola untuk melanjutkan jenjang demokratisasi menuju kematangan Demokrasi Pancasila dan bernegara hukum adalah akuntabilisasi, efisiensi, dan efektivitas menuju capaian kerja-kerja politik kebangsaan yang kredibel. Kini demokrasi kita masih mandek di tahap 'lato-lato' anggaran politik menuju Pemilu 2024, yaitu hampir minimalis transparansinya dan terdistorsi oleh isu-isu praksis politik, sehingga mengaburkan anggaran politik itu sendiri nyaris tanpa berita.

Akibatnya adalah tertutup tanpa ekspose, cenderung ke arah privatisasi kekuasaan yang memicu lahirnya kapitalisasi anggaran demokrasi oleh penguasa dan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pemilu 2024 sebentar lagi, pembiayaan dana politik yang bersumber dari negara atau tersalurkan oleh partai politik itu sendiri belum nampak menggelontor dan belum bisa dirasakan serapannya untuk sebagian besar masyarakat kita sebagaimana pesta demokrasi Pemilu 2019. Apakah disebabkan oleh pandemic effect Covid-19 atau sengaja keeped untuk agenda besar kekuasaan tersembunyi, yang salah satunya adalah kepentingan oligarki atau oknum lain dalam agenda Pemilu 14 Februari 2024? Publik sendiri hampir tergiring pada isu penundaan Pemilu pascagugatan Partai Prima dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat dan makin ramai diperbincangkan.

Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbunyi: "Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas-asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: (a) mandiri; (b) jujur; (c) adil; (d) berkepastian hukum; (e) tertib; (f) terbuka; (g) proporsional; (h) profesional; (i) akuntabel; (j) efektif; dan (k) efisien".

Poin akuntabel, efektif, dan efisien, kita tahu, bahwa negara sudah menganggarkan Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun atau meningkat 199,34% dibandingkan pada Pemilu 2019 yang menghabiskan Rp25,59 triliun. Di mana letak transparansinya?

Kepentingan utama dana politik itu sesungguhnya adalah dana taktis negara untuk pengelolaan demokrasi dan politik yang salah satu keuntungan terbesarnya untuk memicu dan memacu pertumbuhan sumber daya ekonomi politik di negara ini pascapandemi sampai pada dampak termatrialisasi di kalangan masyarakat luas. Cost politic hari ini merupakan bagian dari anggaran demokrasi untuk mendewasakan rakyat kita berpikir dan bertindak secara politik yang bijak dalam rangka pemulihan ekonomi ke depan.

Demokrasi Hukum

Ide negara hukum para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato (The Republic) sangat mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Oleh karena itu kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan (the philosopher king). Sisi lain Plato (The Statesma dan The Law), Plato memilih bentuk paling baik kedua (The Second Best) yang menempatkan supremasi hukum.

Artinya hukum itu untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum sebagai wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukkannya.

Sementara, negara hukum Pancasila kita lebih dipahami sebagai negara hukum yang mendasarkan cita-citanya pada apa yang dikandung Pancasila. Sesuai dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan; Pancasila merupakan cita hukum atau rechtsidee. Sebagai cita hukum, Pancasila berada pada posisi yang memayungi hukum dasar yang berlaku. Pancasila sebagai norma tertinggi yang menentukan dasar keabsahan (ligitimacy) suatu norma hukum dalam sistem norma hukum Republik Indonesia (Mahfud MD, 2008).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1059 seconds (0.1#10.140)