Mengapa LHKPN Dipersoalkan?
loading...
A
A
A
Pengungkapan LHKPN di kantor Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani patut diapresiasi. Demikian pula kerja sama aktif oleh PPATK yang merupakan cermin kesungguhan pejabat pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bebas dan bersih dari KKN. Ini seyogianya diikuti oleh menteri-menteri dan pejabat pimpinan lembaga negara lain.
Berdasarkan info internal, diketahui bahwa kepemilikan harta kekayaan triliunan pegawai pajak berasal dari ”hanky-pangky”fiscusdan wajib pajak yang hendak mengurangi kewajiban bayar pajak tahunan sehingga bisa diperkirakan dan masuk akal jika oknum pejabat eselon II dan III tertentu bisa memiliki harta kekayaan berlimpah ruah; perbuatan mana termasuk suap atau pemerasan dalam jabatan.
Perbuatan terakhir termasuk tindak pidana korupsi dan diancam dengan ketentuan pemerasan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 e UU Nomor 20/2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berangkat dari peristiwa skandal LHKPN, pemerintah perlu melakukan pembentukan Komisi Pemeriksaan Harta KekayaanPenyelenggara Negara (KPKPN) yang pernah dibubarkan dengan alasan yang tidak jelas dan tidak transparan dalam pembahasan RUU Tipikor pada 1998/1999.
Keberadaan KPKN ini melengkapi KPK dalam hal pencegahan pemberantasan korupsi sekaligus meringankan beban KPK yang selama ini terbengkalai. Pembentukan KPKPN ini juga telah dilaksanakan di Amerika Serikat (AS), khususnya untuk pegawai pemerintah, dikenal sebagai Government of Pulblic Ethics.
Tugas dan wewenang lembaga ini tetap sama, yakni secara ketat diwajibkan merahasiakan data harta kekayaan pejabat kepada setiap orang kecuali atas izin pejabat yang bersangkutan. Pembukaan data harta kekayaan pejabat yang bersangkutan hanya diperbolehkan untuk kepentingan pemeriksaan oleh pihak FBI atau Attorney General saja.
Sesungguhnya upaya mencegah lolosnya informasi harta kekayaan yang ganjil dapat dilaksanakan KPK sejak awal pengangkatan seseorang menjadi penyelenggara negara yang diwajibkan melaporkan harta kekayaan kepada KPK. Dalam versi UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara, petugas berwenang melakukan penyelidikan baik berdasarkan laporan masyarakat atau atas inisiatif sendiri melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga memiliki harta kekayaan yang melampaui batas perolehan yang sah berdasarkan peraturan gaji PNS.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sikap proaktif sebagai bagian LHKPN di bawah kedeputian pencegahan KPK untuk melakukan klarifikasi, penelusuran harta kekayaan, serta pengumpulan barang bukti dan keterangan tersangka untuk menemukanbukti permulaan ditemukannya sifat melawan hukum dari perbuatan pelapor harta kekayaan.
Objek laporan hasil pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara termasuk dalam wilayah kewenangan penyelidikan untuk selanjutnya dinaikkan ke tahap penyidikan KPK.
Berdasarkan info internal, diketahui bahwa kepemilikan harta kekayaan triliunan pegawai pajak berasal dari ”hanky-pangky”fiscusdan wajib pajak yang hendak mengurangi kewajiban bayar pajak tahunan sehingga bisa diperkirakan dan masuk akal jika oknum pejabat eselon II dan III tertentu bisa memiliki harta kekayaan berlimpah ruah; perbuatan mana termasuk suap atau pemerasan dalam jabatan.
Perbuatan terakhir termasuk tindak pidana korupsi dan diancam dengan ketentuan pemerasan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 e UU Nomor 20/2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berangkat dari peristiwa skandal LHKPN, pemerintah perlu melakukan pembentukan Komisi Pemeriksaan Harta KekayaanPenyelenggara Negara (KPKPN) yang pernah dibubarkan dengan alasan yang tidak jelas dan tidak transparan dalam pembahasan RUU Tipikor pada 1998/1999.
Keberadaan KPKN ini melengkapi KPK dalam hal pencegahan pemberantasan korupsi sekaligus meringankan beban KPK yang selama ini terbengkalai. Pembentukan KPKPN ini juga telah dilaksanakan di Amerika Serikat (AS), khususnya untuk pegawai pemerintah, dikenal sebagai Government of Pulblic Ethics.
Tugas dan wewenang lembaga ini tetap sama, yakni secara ketat diwajibkan merahasiakan data harta kekayaan pejabat kepada setiap orang kecuali atas izin pejabat yang bersangkutan. Pembukaan data harta kekayaan pejabat yang bersangkutan hanya diperbolehkan untuk kepentingan pemeriksaan oleh pihak FBI atau Attorney General saja.
Sesungguhnya upaya mencegah lolosnya informasi harta kekayaan yang ganjil dapat dilaksanakan KPK sejak awal pengangkatan seseorang menjadi penyelenggara negara yang diwajibkan melaporkan harta kekayaan kepada KPK. Dalam versi UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara, petugas berwenang melakukan penyelidikan baik berdasarkan laporan masyarakat atau atas inisiatif sendiri melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga memiliki harta kekayaan yang melampaui batas perolehan yang sah berdasarkan peraturan gaji PNS.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sikap proaktif sebagai bagian LHKPN di bawah kedeputian pencegahan KPK untuk melakukan klarifikasi, penelusuran harta kekayaan, serta pengumpulan barang bukti dan keterangan tersangka untuk menemukanbukti permulaan ditemukannya sifat melawan hukum dari perbuatan pelapor harta kekayaan.
Objek laporan hasil pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara termasuk dalam wilayah kewenangan penyelidikan untuk selanjutnya dinaikkan ke tahap penyidikan KPK.
(ynt)