Mengapa LHKPN Dipersoalkan?
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Nomenklatur LHKPN atau Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara akhir- akhir ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat, termasuk oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). LHKPN telah dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28/1999 dan diberlakukan mulai 19 Mei 2009 atau 14 tahun yang lalu.
Keriuhan ini bermula ketika seorang anak pejabat pajak pamer kemewahan mengendarai sepeda motor gede yang kemudian memicu kemarahan publik. Marah bukan pada motor gedenya, tetapi tindakan anak pejabat itu menganiaya seorang remaja dengan sadis. Peristiwa tersebut menimbulkan syak wasangka di masyarakat kepada ayah anak tersebut yang tak lain pegawai pajak. Harta kekayaan si ayah pun diungkit-ungkit.
Berangkat dari peristiwa tersebut dan kecurigaan masyarakat atas harta kekayaan pejabat pajak itu, muncul keingintahuan masyarakat mengenai LHKPN. Pada laporan tersebut diketahui bahwa pejabat itu memiliki harta Rp56 miliar. Tak berhenti di situ, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun turut merespons. Lembaga ini menengarai ada transaksi janggal dari pejabat pajak yang jumlahnya besar dari yang sudah dilaporkan. Nilainya dianggap fantastis bagi seorang penyelenggara negara eselon III.
Selain pejabat pajak, pengungkapan ke harta kekayaan pejabat juga merembet ke pejabat lain di Direktorat Jenderal Bea danCukai. Kali ini menyasar mantan kepala Kantor Bea Cukai Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelusuran lebih jauh oleh PPATK mengungkapkan terdapat kurang lebih Rp300 triliun dari transaksi mencurigakan di Kemenkeu yang kini tengah diklarifikasi Irjen Kemenkeu.
Uraian terkait LHKPN menunjukkan bahwa masalah LHKPN di Kemenkeu merupakan “puncak gunung es” dari kesengajaan para fiscus dan petugas Bea dan Cukai untuk melaksanakan kewajiban melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditegaskan di dalam UU tentang Penyelenggara Negara.
Skandal pelanggaran pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara tidak akan terjadi hari ini jika KPK segera melakukan klarifikasi terhadap pegawai Kemenkeu yang dinilai bermasalah LHKPN-nya.
Masyarakat teramat sangat kaget bahwa nilai harta kepemilikan harta kekayaan penyelenggara negara bermaslah mencapai triliunan rupiah yang sesungguhnya cukup untuk membangun ribuan perumahan rakyat dan infrastruktur pembangunan.
Jika separuh dari pegawai kementerian/lembaga, termasuk Kemenkeu, melakukan hal yang sama seperti pejabat pajak dan bea dan cukai sepantasnya negeri ini disebut “governmental crime” alias kejahatan yang dilakukan oleh negara.
Pengungkapan LHKPN di kantor Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani patut diapresiasi. Demikian pula kerja sama aktif oleh PPATK yang merupakan cermin kesungguhan pejabat pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bebas dan bersih dari KKN. Ini seyogianya diikuti oleh menteri-menteri dan pejabat pimpinan lembaga negara lain.
Berdasarkan info internal, diketahui bahwa kepemilikan harta kekayaan triliunan pegawai pajak berasal dari ”hanky-pangky”fiscusdan wajib pajak yang hendak mengurangi kewajiban bayar pajak tahunan sehingga bisa diperkirakan dan masuk akal jika oknum pejabat eselon II dan III tertentu bisa memiliki harta kekayaan berlimpah ruah; perbuatan mana termasuk suap atau pemerasan dalam jabatan.
Perbuatan terakhir termasuk tindak pidana korupsi dan diancam dengan ketentuan pemerasan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 e UU Nomor 20/2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berangkat dari peristiwa skandal LHKPN, pemerintah perlu melakukan pembentukan Komisi Pemeriksaan Harta KekayaanPenyelenggara Negara (KPKPN) yang pernah dibubarkan dengan alasan yang tidak jelas dan tidak transparan dalam pembahasan RUU Tipikor pada 1998/1999.
Keberadaan KPKN ini melengkapi KPK dalam hal pencegahan pemberantasan korupsi sekaligus meringankan beban KPK yang selama ini terbengkalai. Pembentukan KPKPN ini juga telah dilaksanakan di Amerika Serikat (AS), khususnya untuk pegawai pemerintah, dikenal sebagai Government of Pulblic Ethics.
Tugas dan wewenang lembaga ini tetap sama, yakni secara ketat diwajibkan merahasiakan data harta kekayaan pejabat kepada setiap orang kecuali atas izin pejabat yang bersangkutan. Pembukaan data harta kekayaan pejabat yang bersangkutan hanya diperbolehkan untuk kepentingan pemeriksaan oleh pihak FBI atau Attorney General saja.
Sesungguhnya upaya mencegah lolosnya informasi harta kekayaan yang ganjil dapat dilaksanakan KPK sejak awal pengangkatan seseorang menjadi penyelenggara negara yang diwajibkan melaporkan harta kekayaan kepada KPK. Dalam versi UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara, petugas berwenang melakukan penyelidikan baik berdasarkan laporan masyarakat atau atas inisiatif sendiri melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga memiliki harta kekayaan yang melampaui batas perolehan yang sah berdasarkan peraturan gaji PNS.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sikap proaktif sebagai bagian LHKPN di bawah kedeputian pencegahan KPK untuk melakukan klarifikasi, penelusuran harta kekayaan, serta pengumpulan barang bukti dan keterangan tersangka untuk menemukanbukti permulaan ditemukannya sifat melawan hukum dari perbuatan pelapor harta kekayaan.
Objek laporan hasil pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara termasuk dalam wilayah kewenangan penyelidikan untuk selanjutnya dinaikkan ke tahap penyidikan KPK.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Nomenklatur LHKPN atau Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara akhir- akhir ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat, termasuk oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). LHKPN telah dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28/1999 dan diberlakukan mulai 19 Mei 2009 atau 14 tahun yang lalu.
Keriuhan ini bermula ketika seorang anak pejabat pajak pamer kemewahan mengendarai sepeda motor gede yang kemudian memicu kemarahan publik. Marah bukan pada motor gedenya, tetapi tindakan anak pejabat itu menganiaya seorang remaja dengan sadis. Peristiwa tersebut menimbulkan syak wasangka di masyarakat kepada ayah anak tersebut yang tak lain pegawai pajak. Harta kekayaan si ayah pun diungkit-ungkit.
Berangkat dari peristiwa tersebut dan kecurigaan masyarakat atas harta kekayaan pejabat pajak itu, muncul keingintahuan masyarakat mengenai LHKPN. Pada laporan tersebut diketahui bahwa pejabat itu memiliki harta Rp56 miliar. Tak berhenti di situ, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun turut merespons. Lembaga ini menengarai ada transaksi janggal dari pejabat pajak yang jumlahnya besar dari yang sudah dilaporkan. Nilainya dianggap fantastis bagi seorang penyelenggara negara eselon III.
Selain pejabat pajak, pengungkapan ke harta kekayaan pejabat juga merembet ke pejabat lain di Direktorat Jenderal Bea danCukai. Kali ini menyasar mantan kepala Kantor Bea Cukai Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelusuran lebih jauh oleh PPATK mengungkapkan terdapat kurang lebih Rp300 triliun dari transaksi mencurigakan di Kemenkeu yang kini tengah diklarifikasi Irjen Kemenkeu.
Uraian terkait LHKPN menunjukkan bahwa masalah LHKPN di Kemenkeu merupakan “puncak gunung es” dari kesengajaan para fiscus dan petugas Bea dan Cukai untuk melaksanakan kewajiban melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditegaskan di dalam UU tentang Penyelenggara Negara.
Skandal pelanggaran pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara tidak akan terjadi hari ini jika KPK segera melakukan klarifikasi terhadap pegawai Kemenkeu yang dinilai bermasalah LHKPN-nya.
Masyarakat teramat sangat kaget bahwa nilai harta kepemilikan harta kekayaan penyelenggara negara bermaslah mencapai triliunan rupiah yang sesungguhnya cukup untuk membangun ribuan perumahan rakyat dan infrastruktur pembangunan.
Jika separuh dari pegawai kementerian/lembaga, termasuk Kemenkeu, melakukan hal yang sama seperti pejabat pajak dan bea dan cukai sepantasnya negeri ini disebut “governmental crime” alias kejahatan yang dilakukan oleh negara.
Pengungkapan LHKPN di kantor Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani patut diapresiasi. Demikian pula kerja sama aktif oleh PPATK yang merupakan cermin kesungguhan pejabat pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bebas dan bersih dari KKN. Ini seyogianya diikuti oleh menteri-menteri dan pejabat pimpinan lembaga negara lain.
Berdasarkan info internal, diketahui bahwa kepemilikan harta kekayaan triliunan pegawai pajak berasal dari ”hanky-pangky”fiscusdan wajib pajak yang hendak mengurangi kewajiban bayar pajak tahunan sehingga bisa diperkirakan dan masuk akal jika oknum pejabat eselon II dan III tertentu bisa memiliki harta kekayaan berlimpah ruah; perbuatan mana termasuk suap atau pemerasan dalam jabatan.
Perbuatan terakhir termasuk tindak pidana korupsi dan diancam dengan ketentuan pemerasan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 e UU Nomor 20/2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berangkat dari peristiwa skandal LHKPN, pemerintah perlu melakukan pembentukan Komisi Pemeriksaan Harta KekayaanPenyelenggara Negara (KPKPN) yang pernah dibubarkan dengan alasan yang tidak jelas dan tidak transparan dalam pembahasan RUU Tipikor pada 1998/1999.
Keberadaan KPKN ini melengkapi KPK dalam hal pencegahan pemberantasan korupsi sekaligus meringankan beban KPK yang selama ini terbengkalai. Pembentukan KPKPN ini juga telah dilaksanakan di Amerika Serikat (AS), khususnya untuk pegawai pemerintah, dikenal sebagai Government of Pulblic Ethics.
Tugas dan wewenang lembaga ini tetap sama, yakni secara ketat diwajibkan merahasiakan data harta kekayaan pejabat kepada setiap orang kecuali atas izin pejabat yang bersangkutan. Pembukaan data harta kekayaan pejabat yang bersangkutan hanya diperbolehkan untuk kepentingan pemeriksaan oleh pihak FBI atau Attorney General saja.
Sesungguhnya upaya mencegah lolosnya informasi harta kekayaan yang ganjil dapat dilaksanakan KPK sejak awal pengangkatan seseorang menjadi penyelenggara negara yang diwajibkan melaporkan harta kekayaan kepada KPK. Dalam versi UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara, petugas berwenang melakukan penyelidikan baik berdasarkan laporan masyarakat atau atas inisiatif sendiri melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang diduga memiliki harta kekayaan yang melampaui batas perolehan yang sah berdasarkan peraturan gaji PNS.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sikap proaktif sebagai bagian LHKPN di bawah kedeputian pencegahan KPK untuk melakukan klarifikasi, penelusuran harta kekayaan, serta pengumpulan barang bukti dan keterangan tersangka untuk menemukanbukti permulaan ditemukannya sifat melawan hukum dari perbuatan pelapor harta kekayaan.
Objek laporan hasil pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara termasuk dalam wilayah kewenangan penyelidikan untuk selanjutnya dinaikkan ke tahap penyidikan KPK.
(ynt)