Etika dan Kode Etik Perfilman
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni.
Dalam rangkaian acara memperingati Hari Film Nasional (HFN) yang ke-73, Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengadakan Konferensi Perfilman Nasional yang diselengggarakan pada 6 sampai 11 Maret 2023 di Gedung Film, Jakarta Selatan. Menurut panitia, momentum HFN kali ini hendaknya juga menjadi momen yang baik untuk berpikir kritis tentang perfilman nasional agar semakin kuat dan maju di masa depan. Ini sebuah usaha yang layak diapresiasi.
Di antara sekian banyak topik yang hendak dibicarakan, salah satunya adalah tentang kode etik profesi perfilman, sebuah topik yang jarang dibicarakan. Selama ini masalah yang sering diperbincangkan adalah aspek produksi, distribusi, ekshibisi, pendidikan, dan beberapa hal lainnya. Padahal, keinginan untuk memiliki Kode Etik Produksi ini sudah ada sejak tahun 1980.
Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Film Nasional (DFN) yang ditanda tangani oleh Ali Moertopo (ketua) dan Soemardjono (wakil) pada 29 Januari 1980. Artinya, sudah 43 tahun lalu insan perfilman Indonesia ingin memiliki Kode Etik Produksi itu, yang sampai sekarang belum terwujud.
Yang ada Kode Etik Produser milik Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang diperuntukkan khusus bagi anggota mereka sendiri. Perlu diketahui, saat ini organisasi perusahaan film dan produser terdapat lebih dari satu. Selain PPFI, misalnya, ada Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI).
Kini, dunia dengan aneka permasalahan barunya dan sekaligus kesadaran baru, penyusunan kode etik dirasa makin perlu. Sebab masalah seperti sexual harassment, bullying, narkoba dan lain-lain sudah merambah ke dalam industri perfilman kita. Mungkin karena alasan itu BPI memunculkan topik ini sebagai salah satu hal yang perlu dibahas.
Tetapi, membuat kode etik profesi perfilman, menurut saya, bukan hal yang mudah. Ada beberapa pertanyaan yang mesti dijawab dulu sebelum kode etik dirumuskan. Saat ini, ada lebih dari 45 (empat puluh lima) organisasi profesi perfilman dengan ciri masing-masing yang menjadi pemangku kepentingan BPI.
Maka, pertanyaannya, untuk siapa sebenarnya kode etik ini nanti diperuntukkan? Ogranisasi sutradara, organisasi artis, organisasi editor, organisasi kameraman, organisasi penulis skenario, atau yang lain? Atau malah untuk semuanya? Siapa yang bertanggung jawab membuat keputusan akhir jika diduga terjadi pelangaran etik? Masing-masing organisasi atau BPI?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka akan lebih mudah bagi tim penyusun untuk membuat kode etik tersebut. Selama ini, seperti kita ketahui bersama, setiap kode etik diperuntukkan bagi satu bidang profesi. Misalnya, kode etik KPK, Kode Etik Notaris, Kode Etik Jaksa, Kode Etik Hakim, Kode Etik Advokat, dan seterusnya.
Lalu, apakah mungkin membuat kode etik perfilman yang ditujukan untuk semua “organisasi perfilman” yang berada “di bawah” BPI itu? Mungkin saja, meski tentu isi dan redaksionalnya akan berbeda dibanding dengan membuat kode etik untuk tiap-tiap organisasi.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni.
Dalam rangkaian acara memperingati Hari Film Nasional (HFN) yang ke-73, Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengadakan Konferensi Perfilman Nasional yang diselengggarakan pada 6 sampai 11 Maret 2023 di Gedung Film, Jakarta Selatan. Menurut panitia, momentum HFN kali ini hendaknya juga menjadi momen yang baik untuk berpikir kritis tentang perfilman nasional agar semakin kuat dan maju di masa depan. Ini sebuah usaha yang layak diapresiasi.
Di antara sekian banyak topik yang hendak dibicarakan, salah satunya adalah tentang kode etik profesi perfilman, sebuah topik yang jarang dibicarakan. Selama ini masalah yang sering diperbincangkan adalah aspek produksi, distribusi, ekshibisi, pendidikan, dan beberapa hal lainnya. Padahal, keinginan untuk memiliki Kode Etik Produksi ini sudah ada sejak tahun 1980.
Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Film Nasional (DFN) yang ditanda tangani oleh Ali Moertopo (ketua) dan Soemardjono (wakil) pada 29 Januari 1980. Artinya, sudah 43 tahun lalu insan perfilman Indonesia ingin memiliki Kode Etik Produksi itu, yang sampai sekarang belum terwujud.
Yang ada Kode Etik Produser milik Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang diperuntukkan khusus bagi anggota mereka sendiri. Perlu diketahui, saat ini organisasi perusahaan film dan produser terdapat lebih dari satu. Selain PPFI, misalnya, ada Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI).
Kini, dunia dengan aneka permasalahan barunya dan sekaligus kesadaran baru, penyusunan kode etik dirasa makin perlu. Sebab masalah seperti sexual harassment, bullying, narkoba dan lain-lain sudah merambah ke dalam industri perfilman kita. Mungkin karena alasan itu BPI memunculkan topik ini sebagai salah satu hal yang perlu dibahas.
Tetapi, membuat kode etik profesi perfilman, menurut saya, bukan hal yang mudah. Ada beberapa pertanyaan yang mesti dijawab dulu sebelum kode etik dirumuskan. Saat ini, ada lebih dari 45 (empat puluh lima) organisasi profesi perfilman dengan ciri masing-masing yang menjadi pemangku kepentingan BPI.
Maka, pertanyaannya, untuk siapa sebenarnya kode etik ini nanti diperuntukkan? Ogranisasi sutradara, organisasi artis, organisasi editor, organisasi kameraman, organisasi penulis skenario, atau yang lain? Atau malah untuk semuanya? Siapa yang bertanggung jawab membuat keputusan akhir jika diduga terjadi pelangaran etik? Masing-masing organisasi atau BPI?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka akan lebih mudah bagi tim penyusun untuk membuat kode etik tersebut. Selama ini, seperti kita ketahui bersama, setiap kode etik diperuntukkan bagi satu bidang profesi. Misalnya, kode etik KPK, Kode Etik Notaris, Kode Etik Jaksa, Kode Etik Hakim, Kode Etik Advokat, dan seterusnya.
Lalu, apakah mungkin membuat kode etik perfilman yang ditujukan untuk semua “organisasi perfilman” yang berada “di bawah” BPI itu? Mungkin saja, meski tentu isi dan redaksionalnya akan berbeda dibanding dengan membuat kode etik untuk tiap-tiap organisasi.