Pemerintah-DPR Tidak Hadir, MK Tunda Sidang Uji Materil Dua UU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rapat pleno Mahkamah Konstitusi (MK) menunda sidang mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR atas uji materi Undang-undang (UU) Wabah Penyakit Menular dan UU Kekarantinaan Kesehatan hingga Selasa (11/8/2020).
Sidang ditunda karena pemerintah dan DPR tidak hadir pada Kamis (16/7/2020). Seharusnya pada Kamis (16/7/2020) hari ini, MK menggelar sidang lanjutan nomor perkara: 36/PUU-XVIII/2020 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah. Ternyata Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengirimkan surat.
Isi surat itu di antaranya menginformasikan Kemenkumham meminta menunda membaca keterangan pemerintah. Sementara DPR berhalangan hadir karena pada hari ini ada agenda rapat yang berlangsung di DPR.
"Sidang ini mau tidak mau harus ditunda. Untuk itu sidang ditunda dan digelar pada Selasa 11 Agustus 2020 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah," tegas Ketua Hakim Pleno Anwar Usman dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan, MK tetap meminta agar pemerintah tetap hadir dalam persidangan berikutnya untuk menyampaikan keterangan pemerintah. Sebab kata dia, salah satu pasal yang dapat diuji yakni Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dalam salah satu petitum, kata Enny, pemohon meminta kepada MK untuk diubah dinyatakan sebagai wajib.
"Karena ada hal-hal yang kemudian menjadi penting sekali untuk disampaikan oleh pemerintah. Oleh karena itu Mahkamah meminta koordinasi yang sangat intensif antara kementerian baik Kementerian Keuangan, BNPB, maupun pihak-pihak yang memiliki keterkaitan kuat dengan kepentingan Pemerintah," ungkap hakim konstitusi Enny. ( Baca juga: Uji UU KPK, MK Akan Hadirkan Pimpinan KPK Bulan Depan
Diketahui, nomor perkara: 36/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh lima pemohon. Masing-masing, pertama, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) yang diwakili oleh Ketua Umum dokter Mahesa Paranadipa Maykel sebagai Pemohon I.
Kedua, dokter Eva Sri Diana, dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi (paru) yang saat ini bertugas berjuang melawan pandemi Covid-19 sebagai Pemohon II. Ketiga, dokter Mohammad Adib Khumaidi yang bekerja di rumah sakit rujukan bagi pasien Covid-19 sebagai Pemohon III. Keempat, dokter Ayu, dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai Pemohon IV.
Kelima, dokter Aisyah, dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai Pemohon V. Kuasa hukum para pemohon yakni Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Ada dua norma yang diujikan. Satu, Pasal 9 Ayat 1 UU Wabah Penyakit Menular, yang berbunyi, "Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya."
Kemudian Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan, yang berbunyi, "Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan."
Dalam berkas permohonan, para pemohon menyebutkan beberapa hal. Di antaranya, pertama, kewajiban pemerintah untuk menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan Covid-19 sebagai perlindungan hukum yang adil dan tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak, sebagaimana amanah Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945.
Kedua, insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan wabah penyakit maupun faktor risiko kesehatan masyarakat, juga santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur, merupakan suatu kewajiban sebagai perlindungan hukum yang adil dan penghidupan yang layak, sebagaimana amanah Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945.
Ketiga, menjadi Kewajiban pemerintah sesuai Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945 untuk menyediakan sumber daya pemeriksaan penyakit bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit melalui alur pemeriksaan yang cepat dan dapat diakses oleh tenaga medis yang terlibat langsung dalam penanganan penyakit tersebut.
Sidang ditunda karena pemerintah dan DPR tidak hadir pada Kamis (16/7/2020). Seharusnya pada Kamis (16/7/2020) hari ini, MK menggelar sidang lanjutan nomor perkara: 36/PUU-XVIII/2020 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah. Ternyata Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengirimkan surat.
Isi surat itu di antaranya menginformasikan Kemenkumham meminta menunda membaca keterangan pemerintah. Sementara DPR berhalangan hadir karena pada hari ini ada agenda rapat yang berlangsung di DPR.
"Sidang ini mau tidak mau harus ditunda. Untuk itu sidang ditunda dan digelar pada Selasa 11 Agustus 2020 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah," tegas Ketua Hakim Pleno Anwar Usman dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan, MK tetap meminta agar pemerintah tetap hadir dalam persidangan berikutnya untuk menyampaikan keterangan pemerintah. Sebab kata dia, salah satu pasal yang dapat diuji yakni Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dalam salah satu petitum, kata Enny, pemohon meminta kepada MK untuk diubah dinyatakan sebagai wajib.
"Karena ada hal-hal yang kemudian menjadi penting sekali untuk disampaikan oleh pemerintah. Oleh karena itu Mahkamah meminta koordinasi yang sangat intensif antara kementerian baik Kementerian Keuangan, BNPB, maupun pihak-pihak yang memiliki keterkaitan kuat dengan kepentingan Pemerintah," ungkap hakim konstitusi Enny. ( Baca juga: Uji UU KPK, MK Akan Hadirkan Pimpinan KPK Bulan Depan
Diketahui, nomor perkara: 36/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh lima pemohon. Masing-masing, pertama, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) yang diwakili oleh Ketua Umum dokter Mahesa Paranadipa Maykel sebagai Pemohon I.
Kedua, dokter Eva Sri Diana, dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi (paru) yang saat ini bertugas berjuang melawan pandemi Covid-19 sebagai Pemohon II. Ketiga, dokter Mohammad Adib Khumaidi yang bekerja di rumah sakit rujukan bagi pasien Covid-19 sebagai Pemohon III. Keempat, dokter Ayu, dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai Pemohon IV.
Kelima, dokter Aisyah, dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai Pemohon V. Kuasa hukum para pemohon yakni Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Ada dua norma yang diujikan. Satu, Pasal 9 Ayat 1 UU Wabah Penyakit Menular, yang berbunyi, "Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya."
Kemudian Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan, yang berbunyi, "Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan."
Dalam berkas permohonan, para pemohon menyebutkan beberapa hal. Di antaranya, pertama, kewajiban pemerintah untuk menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan Covid-19 sebagai perlindungan hukum yang adil dan tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak, sebagaimana amanah Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945.
Kedua, insentif bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang bertugas melawan wabah penyakit maupun faktor risiko kesehatan masyarakat, juga santunan bagi keluarga dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan yang gugur, merupakan suatu kewajiban sebagai perlindungan hukum yang adil dan penghidupan yang layak, sebagaimana amanah Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945.
Ketiga, menjadi Kewajiban pemerintah sesuai Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945 untuk menyediakan sumber daya pemeriksaan penyakit bagi masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien penderita penyakit melalui alur pemeriksaan yang cepat dan dapat diakses oleh tenaga medis yang terlibat langsung dalam penanganan penyakit tersebut.
(dam)