Mencari Cara Tuntas Bersihkan Sampah Sejak Dari Rumah
loading...
A
A
A
PRABUMULIH - Pada dasarnya, semua manusia menyukai kebersihan. Buktinya, semua orang senang membuang sampah ke luar rumah. Persoalan apakah sampah yang dibuang kemudian mengakibatkan tempat lain menjadi kotor, adalah persoalan berikutnya. Asalkan tempat tinggalnya menjadi bersih dan nyaman.
baca juga: Sampah-sampah di Balikpapan Jadi Penggerak Ekonomi Keluarga
Dalam gerakan lingkungan kebiasan ini dikenal sebagai "sindroma nimby" atau "Nimby's syndrom" yang merupakan kependekan dari "Not In My Back Yard". Artinya, suatu sikap kurang peduli manusia terhadap sampah asalkan sampah tersebut sudah berada di luar rumahnya. Sampah akan dibiarkan saja di tepi jalan, kebun kosong, atau bahkan selokan dan sungai.
Pendapat di atas dikemukakan oleh Maiduity Fitriansyah, Plt Kadin Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kota Prabumulih saat menjadi narasumber pada acara Cangkir Kopi (Berbincang dan Berpikir untuk Kota Prabumulih) dalam rangka peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), Selasa (28/2/2023).
Menurut Maiduty, kebiasaan manusia bisa diubah. Selain melalui edukasi untuk mengubah cara pandang terhadap sampah, pengenalan teknologi sederhana untuk mengolah sampah mulai dari tingkat rumah tangga, juga diperlukan infrastruktur pendukung. Misalnya, ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang umumnya berupa kontainer yang disediakan pemerintah.
"Jangan sampai cara pandang terhadap sampah sudah membaik, tetapi karena tidak tersedia infrastruktur pembuangan sampah di sekitar permukiman mereka, masyarakat akhirnya membuang sampah sembarangan lagi. Cara pandang yang baik pun kemudian menjadi abai. Akibatnya muncul banyak tempat pembuangan sampah (TPS) liar yang menjadi salah satu problem persampahan di Prabumulih saat ini. Idealnya, minimal 1 RW memiliki 1 TPS resmi yang secara rutin diangkut oleh petugas kebersihan," papar aktivis pecinta alam Mapala Bhuwana Cakti ini.
baca juga: Dukung Indonesia Bebas Sampah 2030 dengan Dropbox Sampah Kemasan
Urun rembuk yang muncul dalam acara Diskusi Kelompok Terarah (DKT) atau biasa disebut Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Cangkir Kopi" berlangsung sekitar 2,5 jam, dalam suasana hangat penuh keakraban. Perwakilan instansi pemerintah dan penanggap dari kalangan praktisi dan masyarakat terlihat tak berjarak. Salah satunya karena para pemapar dan penanggap pada gelaran pertama FGD Cangkir Kopi ini berasal dari kalangan pecinta alam yang memang memiliki ikatan persaudaraan sebagaimana kode etik pecinta alam.
Meski demikian direncanakan, kegiatan Cangkir Kopi untuk Kota Prabumulih yang akan datang akan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat untuk menggali persoalan dan solusi bagi pembangunan Prabumulih, baik pembangunan fisik dan ekonomi kota, pembangunan manusia dan kerekatan sosial, maupun pelestarian alam.
Yayuk Suhartati, Kasi Kajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Prabumulih juga bersepakat, bahwa idealnya setiap warga masyarakat sudah harus mulai mengurangi sampah sejak dari sumber. “Artinya perlu dilakukan pemilahan sebelum kemudian masuk tahapan kumpulkan, jemput, dan buang. Tetapi untuk sampai ke sana kita perlu waktu," katanya.
baca juga: Sampah-sampah di Balikpapan Jadi Penggerak Ekonomi Keluarga
Dalam gerakan lingkungan kebiasan ini dikenal sebagai "sindroma nimby" atau "Nimby's syndrom" yang merupakan kependekan dari "Not In My Back Yard". Artinya, suatu sikap kurang peduli manusia terhadap sampah asalkan sampah tersebut sudah berada di luar rumahnya. Sampah akan dibiarkan saja di tepi jalan, kebun kosong, atau bahkan selokan dan sungai.
Pendapat di atas dikemukakan oleh Maiduity Fitriansyah, Plt Kadin Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kota Prabumulih saat menjadi narasumber pada acara Cangkir Kopi (Berbincang dan Berpikir untuk Kota Prabumulih) dalam rangka peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), Selasa (28/2/2023).
Menurut Maiduty, kebiasaan manusia bisa diubah. Selain melalui edukasi untuk mengubah cara pandang terhadap sampah, pengenalan teknologi sederhana untuk mengolah sampah mulai dari tingkat rumah tangga, juga diperlukan infrastruktur pendukung. Misalnya, ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang umumnya berupa kontainer yang disediakan pemerintah.
"Jangan sampai cara pandang terhadap sampah sudah membaik, tetapi karena tidak tersedia infrastruktur pembuangan sampah di sekitar permukiman mereka, masyarakat akhirnya membuang sampah sembarangan lagi. Cara pandang yang baik pun kemudian menjadi abai. Akibatnya muncul banyak tempat pembuangan sampah (TPS) liar yang menjadi salah satu problem persampahan di Prabumulih saat ini. Idealnya, minimal 1 RW memiliki 1 TPS resmi yang secara rutin diangkut oleh petugas kebersihan," papar aktivis pecinta alam Mapala Bhuwana Cakti ini.
baca juga: Dukung Indonesia Bebas Sampah 2030 dengan Dropbox Sampah Kemasan
Urun rembuk yang muncul dalam acara Diskusi Kelompok Terarah (DKT) atau biasa disebut Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Cangkir Kopi" berlangsung sekitar 2,5 jam, dalam suasana hangat penuh keakraban. Perwakilan instansi pemerintah dan penanggap dari kalangan praktisi dan masyarakat terlihat tak berjarak. Salah satunya karena para pemapar dan penanggap pada gelaran pertama FGD Cangkir Kopi ini berasal dari kalangan pecinta alam yang memang memiliki ikatan persaudaraan sebagaimana kode etik pecinta alam.
Meski demikian direncanakan, kegiatan Cangkir Kopi untuk Kota Prabumulih yang akan datang akan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat untuk menggali persoalan dan solusi bagi pembangunan Prabumulih, baik pembangunan fisik dan ekonomi kota, pembangunan manusia dan kerekatan sosial, maupun pelestarian alam.
Yayuk Suhartati, Kasi Kajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Prabumulih juga bersepakat, bahwa idealnya setiap warga masyarakat sudah harus mulai mengurangi sampah sejak dari sumber. “Artinya perlu dilakukan pemilahan sebelum kemudian masuk tahapan kumpulkan, jemput, dan buang. Tetapi untuk sampai ke sana kita perlu waktu," katanya.