SBY Pertanyakan Kegentingan Negara Ubah Sistem Pemilu, Hasto: Tak Memahami Jas Merah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto merespons pernyataan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) yang mempertanyakan kegentingan mengubah sistem pemilihan umum (pemilu) seiring adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasto menilai SBY tidak memahami semboyan Soekarno tentang Jas Merah atau Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah.
"Pak SBY tidak memahami Jas Merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember 2008 di masa pemerintahan beliau beberapa kader Partai Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review," ujar Hasto kepada wartawan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Minggu (19/2/2023).
Hasto menuturkan, perubahan di era kepemimpinan SBY tersebut dilakukan hanya beberapa bulan atau sekitar empat bulan menjelang Pemilu 2009 yang seharusnya tidak boleh ada perubahan. Diberitakan sebelumnya, SBY mempertanyakan kegentingan mengubah sistem pemilu seiring adanya gugatan ke MK.
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu mengkritisi gugatan atau judicial review di MK terkait perubahan sistem pemilu. Sebab, kata dia, tahapan Pemilu 2024 telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sudah berjalan.
Maka itu, dia mempertanyakan apakah tepat mengubah sistem pemilu ketika tahapannya yang sudah direncanakan telah berjalan saat ini. “Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan. Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan,” kata SBY melalui keterangannya, dikutip Minggu (19/2/2023).
Dia menilai sistem pemilu tersebut sebuah aturan yang sangat fundamental. “Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam Pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini,” ujarnya.
Namun, menurut dia, bagus jika dibicarakan bersama di masa yang tenang, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judicial review ke MK. Dalam masa tenang itu, sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa disempurnakan, karena ia pun melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik.
“Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka-tertutup semata,” imbuhnya.
SBY menjelaskan, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak. Maksudnya, jika para pemangku kebijakan hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara atau perlu dilibatkan.
Misalnya dengan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal. Menurutnya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) dimiliki dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan.
“Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya),” tuturnya.
Dengan demikian, SBY menekankan pentingnya rakyat perlu diajak bicara. Pemangku kebijakan harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat.
Dia mengatakan bahwa segala urusan merupakan urusan pemangku kebijakan sebagai pemegang kuasa bukanlah hal yang bijak. Dia juga menilai tidak bijak jika semua urusan harus berdasarkan yang kuat dan yang lemah.
“Sama halnya dengan hukum politik ‘yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah’, tentu juga bukan pilihan kita,” pungkasnya.
"Pak SBY tidak memahami Jas Merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember 2008 di masa pemerintahan beliau beberapa kader Partai Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review," ujar Hasto kepada wartawan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Minggu (19/2/2023).
Hasto menuturkan, perubahan di era kepemimpinan SBY tersebut dilakukan hanya beberapa bulan atau sekitar empat bulan menjelang Pemilu 2009 yang seharusnya tidak boleh ada perubahan. Diberitakan sebelumnya, SBY mempertanyakan kegentingan mengubah sistem pemilu seiring adanya gugatan ke MK.
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu mengkritisi gugatan atau judicial review di MK terkait perubahan sistem pemilu. Sebab, kata dia, tahapan Pemilu 2024 telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sudah berjalan.
Maka itu, dia mempertanyakan apakah tepat mengubah sistem pemilu ketika tahapannya yang sudah direncanakan telah berjalan saat ini. “Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan. Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan,” kata SBY melalui keterangannya, dikutip Minggu (19/2/2023).
Dia menilai sistem pemilu tersebut sebuah aturan yang sangat fundamental. “Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam Pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini,” ujarnya.
Namun, menurut dia, bagus jika dibicarakan bersama di masa yang tenang, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan judicial review ke MK. Dalam masa tenang itu, sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa disempurnakan, karena ia pun melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik.
“Namun, janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka-tertutup semata,” imbuhnya.
SBY menjelaskan, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan sistem demokrasi yang sehat, ada semacam konvensi baik yang bersifat tertulis maupun tidak. Maksudnya, jika para pemangku kebijakan hendak melakukan perubahan yang bersifat fundamental misalnya konstitusi, bentuk negara serta sistem pemerintahan dan sistem pemilu pada hakikatnya rakyat perlu diajak bicara atau perlu dilibatkan.
Misalnya dengan sistem referendum yang formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal. Menurutnya, lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan (power) dimiliki dan kemudian melakukan perubahan yang sangat mendasar berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan.
“Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan (policy) biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya),” tuturnya.
Dengan demikian, SBY menekankan pentingnya rakyat perlu diajak bicara. Pemangku kebijakan harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, utamanya rakyat.
Dia mengatakan bahwa segala urusan merupakan urusan pemangku kebijakan sebagai pemegang kuasa bukanlah hal yang bijak. Dia juga menilai tidak bijak jika semua urusan harus berdasarkan yang kuat dan yang lemah.
“Sama halnya dengan hukum politik ‘yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah’, tentu juga bukan pilihan kita,” pungkasnya.
(rca)