Problematika PPDB dan Kenyataan Pendidikan Indonesia
loading...
A
A
A
Anton Hariyadi, S.H.
Advokat Kantor Hukum A Law Firm
USIA Dalam Pendidikan, Hak Anak dan Hukum Penerimaan Peserta Didik Baru atau disingkat PPDB, saat ini menjadi isu sentral pendidikan Indonesia, karena menuai kritik dan pertentangan yang keras dari kalangan orang tua murid.
PPDB yang dinilai orang tua murid diskriminatif tersebut, didasari pada fakta bahwa penentuan PPDB berdasar jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan Sekolah itu sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran, sebagaimana yang dinyatakan dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Dan Sekolah Menengah Kejuruan (Permendikbud No. 44 Tahun 2019), dinyatakan bahwa:
Pasal 25
“(1) Seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke Sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan.
(2) Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.”
Ukuran usia yang lebih tua sebagai penentu penerimaan sebagaimana ditentukan pada Pasal 25 ayat (2) Permendikbud No. 44 Tahun 2019, menurut hukum adalah menyalahi Undang-Undang, yakni bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
“Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental”.
Hal mana semangat pendidikan di Indonesia juga diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (1)
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Pasal 5 ayat (1)
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Perlindungan Anak, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, maka penentuan PPDB berdasar usia adalah batal demi hukum. Tentu saja Pasal 25 ayat (2) orang tua murid yang anaknya menjadi korban PPDB karena faktor usia dapat mengajukan uji materil kepada Mahkamah Agung RI.
Selain persoalan substansi pada Pasal 25 Permendikbud No. 44 Tahun 2019, secara teknis Pasal 25 ayat (2) juga memiliki masalah ketidakpastian hukum dalam frasa. Pada Pasal 25 ayat (1) dinyatakan frasa “calon peserta didik baru”, pada ayat (1) kalimat pertama juga dinyatakan “calon peserta didik baru”, sedangkan di ayat yang sama menggunakan frasa “peserta didik yang lebih tua”.
Pertanyaannya, mengapa sudah ada peserta didik? Sedangkan masih tahap proses seleksi, statusnya masih “calon peserta didik”, di sini dapat dinilai antara satu frasa dengan frasa lainnya terdapat pertentangan masih dalam satu pasal. Maka Pasal 25 Permendikbud No. 44 Tahun 2019 bertentangan dengan asas kepastian hukum. Cukup beralasan orang tua murid mengajukan uji materil terhadap Pasal 25 Permendikbud No . 44 Tahun 2019.
Mengurai Benang Kusut PPDB
Permasalahan utama PPDB ini hakikatnya adalah bukan terletak pada terbatasnya daya tampung sekolah negeri dan banyaknya angkatan calon peserta didik baru. Melainkan kemampuan orang tua murid untuk membayar iuran sekolah dan biaya yang timbul dari proses keberangkatan serta aktivitas lainnya.
Bagi semua kalangan masyarakat, sekolah negeri memang sangat terjangkau dalam hal iuran sekolah (jika masih dipungut biaya). Terkait kualitas pendidikan, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta sama-sama mampu bersaing. Maka, sejatinya permasalahan PPDB ini harus dilihat secara filosofis dan mendasar. Bagaimana agar hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara merata, adil dan tanpa diskriminatif dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui kebijakannya. Apabila ditelaah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ditegaskan pada:
Pasal 31 ayat (2)
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Pasal 31 ayat (4)
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Pendidikan dasar pada Pasal 31 ayat (2) dapat dipahami dari Pasal 17 ayat (2) UU Sisdiknas:
“Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”.
Apakah pemerintah dan pemerintah daerah telah memenuhi perintah Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945? Dengan alokasi dana sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan/atau APBD, pendidikan di Indonesia sudah mencukupi semua anak di Indonesia mendapatkan pendidikan sejak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama atau sederajat, sekalipun anak tersebut bersekolah di sekolah swasta. Sekalipun calon peserta didik baru tidak lulus seleksi di sekolah negeri, anak-anak dan orang tuanya tidak mengalami beban psikologis untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta, karena secara biaya ditanggung Negara. Ini adalah kewajiban Negara, bukan saja pemerintah.
Dengan kekayaan yang dimiliki Indonesia, sudah sepatutnya Negara mampu menggratiskan biaya sekolah untuk jenjang pendidikan dasar (SD, SMP/ sederajat), sehingga tidak ada lagi masalah dampak dari PPDB. Tidak ada lagi anak yang merasa kecewa dan putus sekolah akibat penerapan kebijakan zonasi.
Dalam jangka pendek ini, Negara wajib membiayai semua anak untuk bersekolah khususnya tingkat pendidikan dasar, baik di sekolah negeri dan sekolah swasta. Langkah strategis ini harus dilakukan saat ini juga demi menjaga generasi emas Indonesia. Tidak dilanggar lagi pemenuhan hak anak dengan alasan keterbatasan daya tampung sekolah negeri. PPDB dengan ketentuan seleksi berdasar usia untuk jalur zonasi, maka Indonesia mengorbankan masa depan bangsa dalam perspektif yang lebih luas.
Advokat Kantor Hukum A Law Firm
USIA Dalam Pendidikan, Hak Anak dan Hukum Penerimaan Peserta Didik Baru atau disingkat PPDB, saat ini menjadi isu sentral pendidikan Indonesia, karena menuai kritik dan pertentangan yang keras dari kalangan orang tua murid.
PPDB yang dinilai orang tua murid diskriminatif tersebut, didasari pada fakta bahwa penentuan PPDB berdasar jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan Sekolah itu sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran, sebagaimana yang dinyatakan dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Dan Sekolah Menengah Kejuruan (Permendikbud No. 44 Tahun 2019), dinyatakan bahwa:
Pasal 25
“(1) Seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke Sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan.
(2) Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.”
Ukuran usia yang lebih tua sebagai penentu penerimaan sebagaimana ditentukan pada Pasal 25 ayat (2) Permendikbud No. 44 Tahun 2019, menurut hukum adalah menyalahi Undang-Undang, yakni bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
“Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental”.
Hal mana semangat pendidikan di Indonesia juga diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (1)
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Pasal 5 ayat (1)
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Perlindungan Anak, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, maka penentuan PPDB berdasar usia adalah batal demi hukum. Tentu saja Pasal 25 ayat (2) orang tua murid yang anaknya menjadi korban PPDB karena faktor usia dapat mengajukan uji materil kepada Mahkamah Agung RI.
Selain persoalan substansi pada Pasal 25 Permendikbud No. 44 Tahun 2019, secara teknis Pasal 25 ayat (2) juga memiliki masalah ketidakpastian hukum dalam frasa. Pada Pasal 25 ayat (1) dinyatakan frasa “calon peserta didik baru”, pada ayat (1) kalimat pertama juga dinyatakan “calon peserta didik baru”, sedangkan di ayat yang sama menggunakan frasa “peserta didik yang lebih tua”.
Pertanyaannya, mengapa sudah ada peserta didik? Sedangkan masih tahap proses seleksi, statusnya masih “calon peserta didik”, di sini dapat dinilai antara satu frasa dengan frasa lainnya terdapat pertentangan masih dalam satu pasal. Maka Pasal 25 Permendikbud No. 44 Tahun 2019 bertentangan dengan asas kepastian hukum. Cukup beralasan orang tua murid mengajukan uji materil terhadap Pasal 25 Permendikbud No . 44 Tahun 2019.
Mengurai Benang Kusut PPDB
Permasalahan utama PPDB ini hakikatnya adalah bukan terletak pada terbatasnya daya tampung sekolah negeri dan banyaknya angkatan calon peserta didik baru. Melainkan kemampuan orang tua murid untuk membayar iuran sekolah dan biaya yang timbul dari proses keberangkatan serta aktivitas lainnya.
Bagi semua kalangan masyarakat, sekolah negeri memang sangat terjangkau dalam hal iuran sekolah (jika masih dipungut biaya). Terkait kualitas pendidikan, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta sama-sama mampu bersaing. Maka, sejatinya permasalahan PPDB ini harus dilihat secara filosofis dan mendasar. Bagaimana agar hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara merata, adil dan tanpa diskriminatif dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui kebijakannya. Apabila ditelaah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ditegaskan pada:
Pasal 31 ayat (2)
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Pasal 31 ayat (4)
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Pendidikan dasar pada Pasal 31 ayat (2) dapat dipahami dari Pasal 17 ayat (2) UU Sisdiknas:
“Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”.
Apakah pemerintah dan pemerintah daerah telah memenuhi perintah Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945? Dengan alokasi dana sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan/atau APBD, pendidikan di Indonesia sudah mencukupi semua anak di Indonesia mendapatkan pendidikan sejak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama atau sederajat, sekalipun anak tersebut bersekolah di sekolah swasta. Sekalipun calon peserta didik baru tidak lulus seleksi di sekolah negeri, anak-anak dan orang tuanya tidak mengalami beban psikologis untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta, karena secara biaya ditanggung Negara. Ini adalah kewajiban Negara, bukan saja pemerintah.
Dengan kekayaan yang dimiliki Indonesia, sudah sepatutnya Negara mampu menggratiskan biaya sekolah untuk jenjang pendidikan dasar (SD, SMP/ sederajat), sehingga tidak ada lagi masalah dampak dari PPDB. Tidak ada lagi anak yang merasa kecewa dan putus sekolah akibat penerapan kebijakan zonasi.
Dalam jangka pendek ini, Negara wajib membiayai semua anak untuk bersekolah khususnya tingkat pendidikan dasar, baik di sekolah negeri dan sekolah swasta. Langkah strategis ini harus dilakukan saat ini juga demi menjaga generasi emas Indonesia. Tidak dilanggar lagi pemenuhan hak anak dengan alasan keterbatasan daya tampung sekolah negeri. PPDB dengan ketentuan seleksi berdasar usia untuk jalur zonasi, maka Indonesia mengorbankan masa depan bangsa dalam perspektif yang lebih luas.
(cip)