Banser NU Merawat Kebhinekaan
loading...
A
A
A
Perwita Suci dan Ridwan
Mahasiswa Master Fakultas Ilmu Sosial UIII
Dosen Fakultas Ilmu Sosial UIII
SEJAK Nahdlatul Ulama (NU) dibentuk satu abad yang lalu, rekam jejak dan peran NU menjaga NKRI tidak terbantahkan. Narasi tersebut banyak ditulis dalam manuskrip keilmuan ataupun jejak digital.
Selain mewadahi agenda umat Islam, NU juga telah dan sedang berperan merawat kebhinekaan. Tidak terkecuali Barisan Ansor Serbaguna (Banser), satu ormas kepemudaan NU, yang memainkan peran merawat keragaman.
Karenanya, tulisan ini hendak mengelaborasi peran Banser dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi antarumat beragama. Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh peran Banser, akan dijelaskan singkat tentang keberagaman dan nilai toleransi yang telah mengakar di masyarakat Indonesia sejak dahulu.
Keberagaman, sejatinya, merupakan salah satu anugerah yang unik bagi Indonesia, yang terbentuk karena letak geografis dan proses panjang sejarah wilayah Indonesia yang pernah diduduki oleh pelbagai kerajaan di Nusantara. Sejumlah literatur menyebutkan konsep toleransi sudah diterapkan sejak dulu, sejak para penyebar Islam seperti para Sunan dan Kiai, yang acap menggunakan kebudayaan lokal.
Sunan Kalijaga adalah seorang Sunan yang populer, yang acap mengenakan baju lurik dan blangkon-baju tradisional jawa-bukan menggunakan jubah serba putih. Dia menggunakan kearifan lokal dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa dengan menjadikan wayang atau kesenian rakyat sebagai media dakwah.Dia acap mementaskan pertunjukkan wayang yang dilatari oleh cerita dan kisah Islam, yang dengannya kita memahami bahwa para pendahulu kita sudah mengajarkan nilai Islam yang toleran.
Secara historis, NU telah membentuk Banser pada 1937. Latar belakang pembentukannya tidak terlepas dari perjalanan pembentukan organisasi kepemudaan Anshor dan NU.
Sebelum Banser dicetuskan, para pemuda NU terhimpun dalam organisasi kepemudaan yakni Nahdlatul Syubban dan Syubbanul Wathon, yang ber-NU secara kultural. Di tahun 1931, Abdullah Ubaid menghimbau para pemuda NU guna menyatu dalam satu wadah.
Himbauan ini disambut hangat oleh mereka dan beberapa organisasi lokal yang berkultur NU. Saat muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada tahun 1934 wadah pemuda NU diberi label Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Di tahun 1937 dalam kongres II ANO yang berlangsung di Malang 21-24 Maret 1937 terbentuklah BANOE (Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama), yang kelak berevolusi menjadi Banser.
Sejak pertama didirikan, Banser, yang identik dengan dengan atribut ala milter seperti baju loreng, topi baret, sepatu boots, serta atribut lainnya, memanggul tugas menjaga ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Tugas tersebut, diimplementasikan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang tersalurkan melalui Resolusi Jihad.
Mahasiswa Master Fakultas Ilmu Sosial UIII
Dosen Fakultas Ilmu Sosial UIII
SEJAK Nahdlatul Ulama (NU) dibentuk satu abad yang lalu, rekam jejak dan peran NU menjaga NKRI tidak terbantahkan. Narasi tersebut banyak ditulis dalam manuskrip keilmuan ataupun jejak digital.
Selain mewadahi agenda umat Islam, NU juga telah dan sedang berperan merawat kebhinekaan. Tidak terkecuali Barisan Ansor Serbaguna (Banser), satu ormas kepemudaan NU, yang memainkan peran merawat keragaman.
Karenanya, tulisan ini hendak mengelaborasi peran Banser dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi antarumat beragama. Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh peran Banser, akan dijelaskan singkat tentang keberagaman dan nilai toleransi yang telah mengakar di masyarakat Indonesia sejak dahulu.
Keberagaman, sejatinya, merupakan salah satu anugerah yang unik bagi Indonesia, yang terbentuk karena letak geografis dan proses panjang sejarah wilayah Indonesia yang pernah diduduki oleh pelbagai kerajaan di Nusantara. Sejumlah literatur menyebutkan konsep toleransi sudah diterapkan sejak dulu, sejak para penyebar Islam seperti para Sunan dan Kiai, yang acap menggunakan kebudayaan lokal.
Sunan Kalijaga adalah seorang Sunan yang populer, yang acap mengenakan baju lurik dan blangkon-baju tradisional jawa-bukan menggunakan jubah serba putih. Dia menggunakan kearifan lokal dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa dengan menjadikan wayang atau kesenian rakyat sebagai media dakwah.Dia acap mementaskan pertunjukkan wayang yang dilatari oleh cerita dan kisah Islam, yang dengannya kita memahami bahwa para pendahulu kita sudah mengajarkan nilai Islam yang toleran.
Secara historis, NU telah membentuk Banser pada 1937. Latar belakang pembentukannya tidak terlepas dari perjalanan pembentukan organisasi kepemudaan Anshor dan NU.
Sebelum Banser dicetuskan, para pemuda NU terhimpun dalam organisasi kepemudaan yakni Nahdlatul Syubban dan Syubbanul Wathon, yang ber-NU secara kultural. Di tahun 1931, Abdullah Ubaid menghimbau para pemuda NU guna menyatu dalam satu wadah.
Himbauan ini disambut hangat oleh mereka dan beberapa organisasi lokal yang berkultur NU. Saat muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada tahun 1934 wadah pemuda NU diberi label Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Di tahun 1937 dalam kongres II ANO yang berlangsung di Malang 21-24 Maret 1937 terbentuklah BANOE (Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama), yang kelak berevolusi menjadi Banser.
Sejak pertama didirikan, Banser, yang identik dengan dengan atribut ala milter seperti baju loreng, topi baret, sepatu boots, serta atribut lainnya, memanggul tugas menjaga ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Tugas tersebut, diimplementasikan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang tersalurkan melalui Resolusi Jihad.