Banser NU Merawat Kebhinekaan

Jum'at, 17 Februari 2023 - 19:21 WIB
loading...
Banser NU Merawat Kebhinekaan
Perwita Suci dan Ridwan. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Perwita Suci dan Ridwan
Mahasiswa Master Fakultas Ilmu Sosial UIII
Dosen Fakultas Ilmu Sosial UIII

SEJAK Nahdlatul Ulama (NU) dibentuk satu abad yang lalu, rekam jejak dan peran NU menjaga NKRI tidak terbantahkan. Narasi tersebut banyak ditulis dalam manuskrip keilmuan ataupun jejak digital.

Selain mewadahi agenda umat Islam, NU juga telah dan sedang berperan merawat kebhinekaan. Tidak terkecuali Barisan Ansor Serbaguna (Banser), satu ormas kepemudaan NU, yang memainkan peran merawat keragaman.

Karenanya, tulisan ini hendak mengelaborasi peran Banser dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi antarumat beragama. Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh peran Banser, akan dijelaskan singkat tentang keberagaman dan nilai toleransi yang telah mengakar di masyarakat Indonesia sejak dahulu.

Keberagaman, sejatinya, merupakan salah satu anugerah yang unik bagi Indonesia, yang terbentuk karena letak geografis dan proses panjang sejarah wilayah Indonesia yang pernah diduduki oleh pelbagai kerajaan di Nusantara. Sejumlah literatur menyebutkan konsep toleransi sudah diterapkan sejak dulu, sejak para penyebar Islam seperti para Sunan dan Kiai, yang acap menggunakan kebudayaan lokal.

Sunan Kalijaga adalah seorang Sunan yang populer, yang acap mengenakan baju lurik dan blangkon-baju tradisional jawa-bukan menggunakan jubah serba putih. Dia menggunakan kearifan lokal dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa dengan menjadikan wayang atau kesenian rakyat sebagai media dakwah.Dia acap mementaskan pertunjukkan wayang yang dilatari oleh cerita dan kisah Islam, yang dengannya kita memahami bahwa para pendahulu kita sudah mengajarkan nilai Islam yang toleran.

Secara historis, NU telah membentuk Banser pada 1937. Latar belakang pembentukannya tidak terlepas dari perjalanan pembentukan organisasi kepemudaan Anshor dan NU.

Sebelum Banser dicetuskan, para pemuda NU terhimpun dalam organisasi kepemudaan yakni Nahdlatul Syubban dan Syubbanul Wathon, yang ber-NU secara kultural. Di tahun 1931, Abdullah Ubaid menghimbau para pemuda NU guna menyatu dalam satu wadah.

Himbauan ini disambut hangat oleh mereka dan beberapa organisasi lokal yang berkultur NU. Saat muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada tahun 1934 wadah pemuda NU diberi label Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Di tahun 1937 dalam kongres II ANO yang berlangsung di Malang 21-24 Maret 1937 terbentuklah BANOE (Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama), yang kelak berevolusi menjadi Banser.

Sejak pertama didirikan, Banser, yang identik dengan dengan atribut ala milter seperti baju loreng, topi baret, sepatu boots, serta atribut lainnya, memanggul tugas menjaga ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Tugas tersebut, diimplementasikan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang tersalurkan melalui Resolusi Jihad.

Pada awal kemerdekaan Banser merupakan pelopor perjuangan dengan berdirinya organisasi semi militer Hizbullah. Dalam dawuh-nya, Kiai Hasyim Asyari menyampaikan bahwa agama dan nasionalisme adalah bagian dari dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.

Sejak Indonesia merdeka, Banser telah mengikat janji untuk setia membela Pancasila dan Agama sampai titik darah penghabisan.
Seiring berjalannya waktu, di era kepemimpinan Soeharto, Banser terdiri dari anggota-anggota Ansor pilihan dikenal sebagai RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) atau pasukan elitnya NU. Banser menjadi mitra TNI dalam menghadapi berbagai macam ancaman dari kelompok pemberontak dan menjaga keutuhan NKRI.

Pada masa transisi peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru yang identik dengan perseteruan aksi sepihak dari para komunis (PKI), Banser menjadi garda terdepan dalam menghadang aksi PKI yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Misalnya di Jawa Timur.

Singkatnya, hubungan antara TNI, ABRI, ataupun Polri dengan Banser semakin menguat dan harmonis. Banser dipercaya sebagai salah satu elemen penting dalam menjaga kedaulatan negara, termasuk di antaranya menjaga hubungan baik antar umat beragama.

Hingga hari ini, nama Banser semakin berkibar dan dikenal baik di ranah nasional atupun internasional. Banser tak pernah absen dalam mengemban amanah dari Polri untuk turut serta mengamankan kegiatan hari raya seperti Natal, Nyepi, dan lain-lain.

Satu di antara banyaknya kisah heroik Banser, yang telah diangkat menjadi film oleh Hanung Bramantyo, seorang sutradara kenamaan di Indonesia. Film ini mengisahkan sifat militansi dari salah satu anggota Banser, Riyanto, yang rela mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan gereja saat malam Natal, 24 Desember 2000.

Di tahun 2018, salah seorang cendikiawan asal Amerika Ronald Lukens-Bull menunjukkan ketertarikannya kepada Banser. Dia berargumen bahwa tidak ada organisasi kepemudaan yang memiliki sikap militansi setinggi Banser.

Atas dasar kecintaannya kepada NKRI, Banser mengesampingkan perbedaan antar agama dan bersedia membantu, menjaga, menunjukkan rasa hormat kepada umat agama lain. Sikap toleransi anggota Banser bisa dikatakan sebagai sifat toleransi level tertinggi.

Thomas (2017) mengungkapkan bahwa toleransi bukan hanya sekedar menerima perbedaan yang terjadi di antara kedua belah pihak. Toleransi adalah proses dimana kedua belah pihak bisa saling mengakui, terbuka, dan mengerti keberadaan perbedaan diantara mereka dan tidak mempersoalkan perbedaan tersebut. Ada prinsip resiprositas sebagai aturan emas.

Hal unik lain dari Banser yang jarang diketahui orang lain adalah alasan di balik kerelaan menjaga tempat peribadatan agama lain. Salah satu anggota Banser telah menyampaikan bahwa menjaga gereja saat perayaan Natal sebagai panggilan hati. Bukan hanya kegiatan yang dilakukan untuk menggugurkan kewajiban yang diberikan oleh Polri.

Bahkan, tanpa adanya amanah tersebut, Banser tetap akan membantu umat kristiani atau umat agama lain yang sedang merayakan hari raya mereka semaksimal mugkin. Saat dipertegas lagi, Banser mengungkapkan bahwa kesediaan membantu umat Kristiani saat mereka menjalani Natal karena landasan nasionalisme untuk menjaga kebhinekaan.

Mereka menganggap bahwa umat Kristiani atau umat lainnya adalah saudara sebangsa yang terikat dalam hubungan kemanusiaan. Imam Ali ra menguingatkan, “saudaramu yang tidak seiman adalah saudara dalam kemanusiaan”.

Bukan hanya kepada umat kristiani, rasa ikhlas membantu sesama umat juga ditunjukkan Banser kepada umat agama lain. Misalnya, pada peringatan hari raya Nyepi tahun 2021. Tercatat 170 anggota pemuda Ansor dan Banser yang rela kehujanan demi mengamankan jalan dan pura saat persembahyangan rangkaian Hari Raya Suci Nyepi di Bali.

Pesan keharmonisan tergambar dengan jelas dalam peristiwa ini. Anggota Banser turut membantu atas dasar kemanusiaan, saudara sebangsa, dan tanpa melihat perbedaan agama.

Singkatnya, Banser memberikan bantuan dengan ikhlas, tanpa mengharap imbalan, apalagi bayaran. Semuanya didasarkan pada keikhlasan, membantu sesama warga negara Indonesia, dan mencoba menjalin harmonisasi antar umat beragama dengan sikap toleran menghormati perbedaan.

Untuk menyimpulkan, sepak terjang Banser sudah dikenal tidak hanya di Indonesia, tapi juga oleh dunia internasional. Jika Banser mampu menghargai dan menghormati umat beragama lain demi menjaga keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya seluruh masyarakat Indonesia juga mampu melakukan hal serupa. Maju terus Banser NU merawat kebhinekaan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0864 seconds (0.1#10.140)