Lemahkan Jaminan Kesehatan Rakyat, Fraksi PKS Tolak RUU Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan. Hal ini terungkap lewat Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, saat membacakan pandangan mini FPKS pada Rapat Baleg DPR, Selasa (7/2/2023).
Penolakan PKS tersebut seperti dijabarkan Ledia Hanifa yakni, salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi, pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang merata, adil, dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
"Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menjamin akses kesehatan yang merata bagi semua penduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan," kata Ledia Hanifa dalam keterangannya, Kamis (9/2/2023).
Baca juga: Baleg DPR Bersama IAKMI dan MKKI Kaji RUU Omnibus Law Kesehatan
Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini mengungkapkan, penyusunan RUU tentang Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus law, mewajibkan harus dilakukan secara menyeluruh, teliti, dan melibatkan pemangku kepentingan terkait.
"Sehingga tidak ada pengaturan yang luput, kontradiksi, dan bahkan baru diundangkan sudah diuji ke MK atau tidak lama kemudian harus direvisi atau bahkan menimbulkan kontroversi polemik yang berlarut-larut," tuturnya.
"Penyusunan RUU tentang Kesehatan seharusnya mencakup seluruh perbaikan dalam sistem kesehatan di Indonesia, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," tambahnya.
Menurut Ledia, ada beberapa hal yang menjadi catatan FPKS terkait dengan RUU Kesehatan. "Pertama, Fraksi PKS berpendapat bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi salah satu hak dasar masyarakat yaitu mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas," tegasnya.
"Oleh karena itu, perbaikan layanan kesehatan yang berkualitas harus menjadi prioritas dalam penyusunan draf RUU Kesehatan ini sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," sambungnya.
Kedua lanjut Anggota Komisi X DPR ini, FPKS berpendapat bahwa penyusunan RUU Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus ini tidak boleh menyebabkan kekosongan pengaturan, kontradiksi pengaturan, dan juga harus memastikan partisipasi bermakna dalam penyusunan, mengingat banyaknya UU yang akan terdampak dalam penyusunan RUU tentang Kesehatan ini.
"Di samping itu, sebelum draf RUU Kesehatan ini diputuskan sebagai draf RUU inisitiaf DPR, sebaiknya harus dilakukan konfirmasi ulang kepada 26 pemangku kepentingan yang telah memberikan masukan dalam RDPU di Baleg DPR RI, apakah hasil penyusunan draft RUU Kesehatan ini sudah sesuai dengan berbagai masukan mereka?" tanya Ledia.
Ketiga, Fraksi PKS berpendapat bahwa ada pengaturan dalam beberapa UU yang dihapuskan dalam draft RUU Kesehatan ini. Sehingga, hal tersebut menimbulkan kekosongan hukum.
Keempat, FPKS berpendapat bahwa penugasan pemerintah kepada BPJS yang merupakan badan hukum publik yang bersifat independen harus disertai kewajiban pemerintah dan pendanaannya.
"Kelima, FPKS berpendapat bahwa ada kerawanan dalam draft RUU Kesehatan pasal 236 mengenai tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non investasi," ujar Ledia.
Keenam, imbuh Ledia, FPKS berpendapat, di semua negara pengaturan tentang profesi kesehatan diatur dalam UU tersendiri.
"Oleh karena itu, seharusnya draf RUU Kesehatan ini tidak menghapus materi pengaturan profesi-profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan," jelasnya.
Ketujuh, FPKS berpendapat bahwa anggaran kesehatan harus dialokasikan secara memadai. "Untuk memastikan bahwa negara memberi layanan kesehatan berkualitas yang aksesibel bagi masyarakat Indonesia," ujarnya.
"Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim menyatakan Menolak draf Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan untuk dibahas pada tahap selanjutnya," tutupnya.
Penolakan PKS tersebut seperti dijabarkan Ledia Hanifa yakni, salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi, pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang merata, adil, dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
"Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menjamin akses kesehatan yang merata bagi semua penduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan," kata Ledia Hanifa dalam keterangannya, Kamis (9/2/2023).
Baca juga: Baleg DPR Bersama IAKMI dan MKKI Kaji RUU Omnibus Law Kesehatan
Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini mengungkapkan, penyusunan RUU tentang Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus law, mewajibkan harus dilakukan secara menyeluruh, teliti, dan melibatkan pemangku kepentingan terkait.
"Sehingga tidak ada pengaturan yang luput, kontradiksi, dan bahkan baru diundangkan sudah diuji ke MK atau tidak lama kemudian harus direvisi atau bahkan menimbulkan kontroversi polemik yang berlarut-larut," tuturnya.
"Penyusunan RUU tentang Kesehatan seharusnya mencakup seluruh perbaikan dalam sistem kesehatan di Indonesia, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," tambahnya.
Menurut Ledia, ada beberapa hal yang menjadi catatan FPKS terkait dengan RUU Kesehatan. "Pertama, Fraksi PKS berpendapat bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi salah satu hak dasar masyarakat yaitu mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas," tegasnya.
"Oleh karena itu, perbaikan layanan kesehatan yang berkualitas harus menjadi prioritas dalam penyusunan draf RUU Kesehatan ini sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," sambungnya.
Kedua lanjut Anggota Komisi X DPR ini, FPKS berpendapat bahwa penyusunan RUU Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus ini tidak boleh menyebabkan kekosongan pengaturan, kontradiksi pengaturan, dan juga harus memastikan partisipasi bermakna dalam penyusunan, mengingat banyaknya UU yang akan terdampak dalam penyusunan RUU tentang Kesehatan ini.
"Di samping itu, sebelum draf RUU Kesehatan ini diputuskan sebagai draf RUU inisitiaf DPR, sebaiknya harus dilakukan konfirmasi ulang kepada 26 pemangku kepentingan yang telah memberikan masukan dalam RDPU di Baleg DPR RI, apakah hasil penyusunan draft RUU Kesehatan ini sudah sesuai dengan berbagai masukan mereka?" tanya Ledia.
Ketiga, Fraksi PKS berpendapat bahwa ada pengaturan dalam beberapa UU yang dihapuskan dalam draft RUU Kesehatan ini. Sehingga, hal tersebut menimbulkan kekosongan hukum.
Keempat, FPKS berpendapat bahwa penugasan pemerintah kepada BPJS yang merupakan badan hukum publik yang bersifat independen harus disertai kewajiban pemerintah dan pendanaannya.
"Kelima, FPKS berpendapat bahwa ada kerawanan dalam draft RUU Kesehatan pasal 236 mengenai tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non investasi," ujar Ledia.
Keenam, imbuh Ledia, FPKS berpendapat, di semua negara pengaturan tentang profesi kesehatan diatur dalam UU tersendiri.
"Oleh karena itu, seharusnya draf RUU Kesehatan ini tidak menghapus materi pengaturan profesi-profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan," jelasnya.
Ketujuh, FPKS berpendapat bahwa anggaran kesehatan harus dialokasikan secara memadai. "Untuk memastikan bahwa negara memberi layanan kesehatan berkualitas yang aksesibel bagi masyarakat Indonesia," ujarnya.
"Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim menyatakan Menolak draf Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan untuk dibahas pada tahap selanjutnya," tutupnya.
(maf)