Tantangan Keamanan di Balik Digitalisasi

Senin, 30 Januari 2023 - 07:56 WIB
loading...
Tantangan Keamanan di...
Candra Fajri Ananda/FOTO.DOK KORAN SINDO
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Pada masa lalu teknologi diasumsikan tetap sepanjang waktu sehingga seluruh variabel pertumbuhan per kapita akan tetap untuk jangka panjang. Model Harrod-Domar tentangpertumbuhan didasarkan pada asumsi bahwa koefisien produksi bersifat tetap.

Pada perkembangannya, hasil pengamatan secara empiris dari ekonom neoklasik menunjukkan bahwa produksi nasional tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan modal dan pertumbuhan tenaga kerja. Di samping itu, disebabkan oleh faktor lain yang semula diperlakukan sebagai faktor residual, di mana faktor tersebut dikenal dengan sebutan kemajuan teknologi.

Para ekonom seperti Abramovitz, Kendrik, dan Solow membawa isu utama dalam pembuatan model baru ekonomi dengan memasukkan kemajuan teknologi secara eksogen ke dalam model.

Model ini untuk menunjukkan bahwa teknologi akan terus berkembang sepanjang waktu.Para ekonom tersebut membuat model kemajuan teknologi dengan menggunakan fungsi produksi dalam upaya untuk mengukur sumbangan kemajuan teknologi kepada pertumbuhan ekonomi.

Dewasa ini teknologi kian berkembang pesat hingga membawa terjadinya inovasi digital di berbagai aspek kehidupan manusia, terutama di bidang ekonomi. Inovasi digital, dimulai dengan perkembangan pesat internet pada pertengahan 1990-an, yang diikuti oleh perubahan proses bisnis yang berubah.

Lanskap digital memungkinkan konsumen terlibat dalam pengambilan keputusan bisnis. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2015 menyampaikan bahwa digitalisasi sudah mengubah proses bisnis pada sektor perbankan, ritel, energi, transportasi, pendidikan, penerbitan, dan sektor kesehatan. Hal ini dipercepat dengan perkembangan teknologi informasi (TI), seperti pesatnya perkembangan jaringanfixed, mobile, danbroadcastyang terkoneksi dengan berbagai perangkat dan membentukinternet of things(IoT).

Keamanan Data di Era Digitalisasi
Arus digitalisasi tumbuh secara eksponensial, terutama saat pandemi. Salah satu perubahan positif yang muncul berkat pandemi adalah tekanan pada bisnis yang dipaksa berubah menuju digitalisasi, karena pembatasan aktivitas dan pergerakan manusia dan barang.

Berdasarkan surveiAsosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna interne di Indonesia bertambah 45 juta selama pandemi. Angka tersebut meningkat lebih dari 25% dari jumlah sebelumnya yaitu 175 juta pengguna.

Data mencatat bahwa pasar ekonomi digital mengalami peningkatan hingga 50% selama periode 2020 hingga 2021. Hal ini menempatkan ASEAN sebagai pasar digital terbesar kelima di dunia.

Menurute-Conomy SEA Report 2021, selama pandemi Indonesia diperkirakan memiliki 21 juta konsumen digital baru yang 72% di antaranya berasal dari daerah nonmetro serta suburban. Bahkan, menurut Kemenkominfo (2021) jumlah pengguna internet di Indonesia 202,3 juta orang atau setara dengan 76,8% dari total populasi, yang menunjukkan intensitas dalam akses layanan digital.

Saat iniperkembangan digitalisasi telah berhasil mendorongentrepreneurshipuntuk membuka wirausaha dengan mudahdanstabildengan berbagai keuntungan dan kemudahan yangdidapatkan. Data Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat bahwa sampai Agustus 2021 sebanyak 15,3 jutausaha mikro kecil dan menengah(UMKM)atau 23,9% dari total UMKM di Indonesia telah masukke dalamekosistem digital.

Laporan keuangan Bank Indonesia pada 2021 mencatatperkembangan transaksi digitaldi Indonesiatumbuh melesat, yakni 1,556%dengan total transaksi uang elektronik mencapai Rp786,35 triliun pada 2021.Sementara OJKmemperkirakan ekonomi digital akan tumbuh hingga USD130 miliar pada 2025, karena kuatnya adopsi layanan keuangan digital.

Perkembangan digitalisasi di banyak aktivitas ekonomi dan bisnis, sayangnya belum diikuti oleh edukasi yang baik sehingga keamanan masih merupakan tantangan yang kuat. Kemenkominfo menyampaikan bahwa tingkat keamanan digital Indonesia berada di level yang paling tidak memuaskan atau rendah dibandingkan dengan pilar literasi digital lainnya yakni kecakapan, etika, dan budaya digital.

Indeks literasi digital Indonesia berada pada tingkatan 3,49 (nilai maksimal 5). Hasil tersebut diambil dari jumlah rata-rata tingkat literasi digital di semua provinsi. Pada pengukuran Indeks Literasi Digital 2021 ini nilai pilar kecakapan digital berada di angkat 3,44, sedangkan nilai etika di dunia digital Indonesia berada di kisaran nilai indeks 3,53.

Adapun pilar budaya digital memperoleh nilai indeks paling tinggi, yaitu 3,90, sedangkan indeks keamanan digital Indonesia menjadi pilar paling lemah dengan nilai 3,10.

Rendahnya pilar keamanan digital di Indonesia selaras dengan data Kemenkominfo yang mencatat selama 2021 terdapat 193 insiden serangan digital. Jumlah ini naik 38% jika dibandingkan tahun sebelumnya, 147 insiden. Puncak serangan terjadi pada September 2021 (34 insiden), lebih tinggi dibandingkan rata-rata serangan tiap bulan, sekitar 16 insiden.

Keamanan digital yang rendah di Indonesiatak lain dipicu sumber daya manusia (SDM) dengan literasi digital di Indonesia yang masih rendah, infrastruktur teknologi yang masih belum merata dan dukungan kerangka regulasi yang belum matang.

Studi terbaru Check Point Software Technologies juga menyebutkan, serangan siber pada industri perbankan merupakan sektor kedua terbanyak yang menerima ancaman serangan siber. Rata-rata lembaga keuangan di Indonesia mengalami penyerangan digital 2.730 kali per minggu, di mana angka ini lebih banyak 252% dibandingkan dengan rata-rata global.

Urgensi Keamanan Digital
Kepercayaan adalah basis penting dalam bisnis keuangan. Pelanggan harus memiliki keyakinan terhadap keamanan, privasi, dan perlindungan data, serta memahami pentingnya personal datahygiene.

Pemerintah dan berbagai institusi yang terlibat dalam dunia digital perlu memikirkan perlindungan data pelanggan digital yang aman. Termasuk kelayakan manajemen risiko yang tepat dan kepatuhan terhadap regulasi (tata Kelola) dalam menghadapi serangan kriminal yang semakin canggih.

Lembaga survei Indikator menyatakan bahwa 42,4% "Persepsi Masyarakat tentang Pemerataan Akses Digital di Indonesia" sebagai pengguna aplikasi digital ragu atau bahkan merasa tidak terjamin kerahasiaan data pribadi mereka pada aplikasi digital.

Semua pihak, seperti pemerintah, perbankan, lembaga keuangan, mitra industri, penyedia layanan, dan pelanggan perlu mengambil bagian untuk menciptakan dunia dengan perlindungan data yang aman serta membangun kepercayaan konsumen.

Lebih lanjut manajemen data, keamanan, dan kepatuhan di sepanjangcustomer journeyharus menjadi perhatian penting bagi berbagai institusi yang melibatkan proses digitalisasi dalam kegiatannya. Selain itu, pemangku kepentingan juga perlu meningkatkan kapasitas keamanan digital yang mencakup peningkatan keterampilan sumber daya manusia, prosedur penanganan insiden, dan penyediaan sumber daya seperti alat dan infrastruktur yang memadai.

Derasnya arus digitalisasi tak dapat dihindari. Sejatinya digitalisasi adalahkuncibagiIndonesiaagar bisa memiliki daya saing dengan negara-negara lain yang mampu membuat ekonomi menjadi lebih efisien.Karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan peluang digitalisasi, sembari memastikan keseimbangan antara peningkatan literasi digitalisasi dan perlindungan konsumen demi tercapainya percepatan pembangunan yang lebih efisien. Semoga.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0930 seconds (0.1#10.140)