LPSK Minta Jaksa Agung Revisi Tuntutan 12 Tahun Bharada E seperti Kasus Valencya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan keberatannya atas tuntutan selama 12 tahun terhadap Bharada E alias Richard Eliezer. Tuntutan JPU dinilai berjarak dengan ekspektasi publik mengingat status Bharada E sebagai Justice Collaborator.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan pihaknya meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mau mempertimbangkan guna merevisi tuntutan pidana penjara selama 12 tahun terhadap Bharada E.
"Ada baiknya Jaksa Agung mempertimbangkan untuk merevisi tuntutan tersebut, karena itu pernah Jaksa Agung lakukan sebelumnya," ujar Edwin melalui sambungan telepon kepada MPI, Senin (23/1/2023).
Menurutnya, keputusan Jaksa Agung yang merevisi tuntutan tersebut pernah dilakukan pada kasus tuntutan Valencya yang hendak dipenjara selama satu tahun. Untuk diketahui, kasus Valencya pernah dituntut pidana penjara lantaran mengomeli suaminya yang mabuk sehingga menjadi sejarah urusan rumah tangga yang ditangani oleh kejaksaan.
"Pada kasus Valencya yang dituntut satu tahun penjara karena membentak suaminya pada tahun 2021, Jaksa Agung bisa merevisi tuntutannya," jelas Edwin.
"Nah itu kan bisa direvisi jika Kejaksaan Agung merasa bahwa ada hal yang kurang sesuai dari tuntutan tersebut, apalagi menimbang ekspektasi masyarakat," lanjut Edwin.
Edwin menilai tuntutan terhadap Bharada E tersebut jangan melihat melalui pendekatan hukumnya. Ia menilai penekanan hukum tidak perlu lagi diperdebatkan lantaran hakim dan jaksa terbantu berkat keterangan pengungkapan fakta dari Bharada E.
"Apakah pernah Bharada E dibilang oleh hakim dan jaksa sebagai terdakwa yang berbelit-belit atau bahkan berbohong, kan tidak ada. Semua keterangan Bharada E itu kan membuat peristiwa itu menjadi terang, termasuk juga kasus obstruction of justice (perintangan penyidikan)," terang Edwin.
Edwin juga menuturkan jangan sampai tuntutan JPU tersebut sebagai tindakan yang melupakan jasa Bharada E sebagai Justice Collaborator. "Jangan sampai ada pepatah habis manis sepah dibuang," tegas Edwin.
Sebelumnya diketahui, LPSK menegaskan pihaknya tidak berusaha mengintervensi tuntutan JPU ihwal pidana 12 tahun penjara terhadap Richard Eliezer alias Bharada E. Diketahui, tanggapan tersebut datang lantaran Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta LPSK tidak mengintervensi jaksa.
Menurut Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias menjelaskan lembaganya hanya melaksanakan Pasal 10 A ayat (3) dan (4), Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Ia menegaskan LPSK hanya memberikan rekomendasi kepada jaksa perihal status Richard Eliezer sebagai Justice Collaborator dan permohonan keringanan vonis hukumannya.
"Kami hanya merekomendasikan sesuai Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Jadi bukan intervensi, sifatnya hanya rekomendasi," ujar Susi kepada MPI melalui sambungan telepon, Kamis (19/1/2023).
Susi menjelaskan di dalam penjelasan Pasal 10 A ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut ada aturan yang membahas keringanan hukuman bagi Justice Collaborator. Kemudian dalam Pasal 4 UU tersebut, Susi menegaskan terdapat perintah agar LPSK memberikan rekomendasi kepada jaksa.
"Intinya LPSK melaksanakan kewajiban di dalam peraturan perundang-undangan," jelas Susi.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan pihaknya meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mau mempertimbangkan guna merevisi tuntutan pidana penjara selama 12 tahun terhadap Bharada E.
"Ada baiknya Jaksa Agung mempertimbangkan untuk merevisi tuntutan tersebut, karena itu pernah Jaksa Agung lakukan sebelumnya," ujar Edwin melalui sambungan telepon kepada MPI, Senin (23/1/2023).
Menurutnya, keputusan Jaksa Agung yang merevisi tuntutan tersebut pernah dilakukan pada kasus tuntutan Valencya yang hendak dipenjara selama satu tahun. Untuk diketahui, kasus Valencya pernah dituntut pidana penjara lantaran mengomeli suaminya yang mabuk sehingga menjadi sejarah urusan rumah tangga yang ditangani oleh kejaksaan.
"Pada kasus Valencya yang dituntut satu tahun penjara karena membentak suaminya pada tahun 2021, Jaksa Agung bisa merevisi tuntutannya," jelas Edwin.
"Nah itu kan bisa direvisi jika Kejaksaan Agung merasa bahwa ada hal yang kurang sesuai dari tuntutan tersebut, apalagi menimbang ekspektasi masyarakat," lanjut Edwin.
Edwin menilai tuntutan terhadap Bharada E tersebut jangan melihat melalui pendekatan hukumnya. Ia menilai penekanan hukum tidak perlu lagi diperdebatkan lantaran hakim dan jaksa terbantu berkat keterangan pengungkapan fakta dari Bharada E.
"Apakah pernah Bharada E dibilang oleh hakim dan jaksa sebagai terdakwa yang berbelit-belit atau bahkan berbohong, kan tidak ada. Semua keterangan Bharada E itu kan membuat peristiwa itu menjadi terang, termasuk juga kasus obstruction of justice (perintangan penyidikan)," terang Edwin.
Edwin juga menuturkan jangan sampai tuntutan JPU tersebut sebagai tindakan yang melupakan jasa Bharada E sebagai Justice Collaborator. "Jangan sampai ada pepatah habis manis sepah dibuang," tegas Edwin.
Sebelumnya diketahui, LPSK menegaskan pihaknya tidak berusaha mengintervensi tuntutan JPU ihwal pidana 12 tahun penjara terhadap Richard Eliezer alias Bharada E. Diketahui, tanggapan tersebut datang lantaran Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta LPSK tidak mengintervensi jaksa.
Menurut Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias menjelaskan lembaganya hanya melaksanakan Pasal 10 A ayat (3) dan (4), Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Ia menegaskan LPSK hanya memberikan rekomendasi kepada jaksa perihal status Richard Eliezer sebagai Justice Collaborator dan permohonan keringanan vonis hukumannya.
"Kami hanya merekomendasikan sesuai Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Jadi bukan intervensi, sifatnya hanya rekomendasi," ujar Susi kepada MPI melalui sambungan telepon, Kamis (19/1/2023).
Susi menjelaskan di dalam penjelasan Pasal 10 A ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut ada aturan yang membahas keringanan hukuman bagi Justice Collaborator. Kemudian dalam Pasal 4 UU tersebut, Susi menegaskan terdapat perintah agar LPSK memberikan rekomendasi kepada jaksa.
"Intinya LPSK melaksanakan kewajiban di dalam peraturan perundang-undangan," jelas Susi.
(kri)