Profil Jenderal TNI GPH Djatikusumo, Pangeran Jawa yang Menjadi KSAD Pertama
Kamis, 12 Januari 2023 - 14:23 WIB
Djatikusumo terlibat dalam berbagai palagan pertempuran di Semarang dan melucuti senjata milik Jepang. Ia juga terlibat dalam perundingan dengan Jepang setelah diajak Bambang Darmojo dan Gubernur Semarang Wongsonegoro. Perundingan itu menghasilkan gencatan senjata.
Loyalitas Djatikusumo sangat tinggi kepada pimpinan. Pernah suatu ketika, dalam situasi pertempuran Semarang, ia diperintah ke Solo mengambil meriam. Sesampai di Solo, Djatikusumo mendapatkan telegram dari Kepala Staf dan Panglima Sementara Urip Sumoharjo untuk segera ke Markas Komando di Jakarta.
Djatikusumo pun langsung berangkat ke Jakarta. Namun baru sampai Cikampek, ia mendapatkan kabar bahwa Urip Sumoharjo dipindah ke Bandung, sehingga akhirnya ia kembali lagi ke Solo. Namun ketika sampai di Solo, posisinya sudah diisi perwira lain, sehingga Djatikusumo tak memiliki jabatan.
Mendapat informasi akan ada perluasan divisi, Djatikusumo memutuskan pergi Yogyakarta menemui Urip Sumoharjo. Saat itu, Djatikusumo ditawari memilih jabatan. Ia lalu memilih kembali bertugas di Semarang memimpin Divisi IV yang berlokasi di Salatiga meliputi Pekalongan, Semarang, dan Pati dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen) terhitung sejak November 1945 hingga Juni 1946.
Tak lama kemudian, Djatikusumo pindah tugas menjadi Panglima Divisi V Ronggolawe. Pangkatnya turun lebih rendah dua tingkat menjadi Kolonel meski mengemban jabatan yang sama. Penurunan pangkat tersebut akibat kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh TNI. Meski turun pangkatnya, tapi Djatikusumo tetap semangat sebagai prajurit TNI.
"Yang penting bukan jabatannya, tetapi yang penting tugasnya," katanya.
Djatikusumo mengemban amanah tersebut dan bermarkas di Mantingan, Blora, kemudian pindah ke Cepu. Hingga akhirnya pimpinan militer mengangkat Djatikusumo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan) di Yogyakarta terhitung sejak Februari 1948 dan bermarkas di Benteng Vredenburgh, Yogyakarta. Pengangkatan Djatikusumo berdasarkan penetapan Presiden Nomor 14 Tahun 1948 tertanggal 14 Mei.
Tidak hanya itu, pada November 1948 Djatikusumo dipercaya untuk merangkap jabatan sebagai Gubernur Akademi Militer (AM) di Yogyakarta dengan pangkat tetap Kolonel. Setelah setahun menjabat sebagai KSAD, pada 1949 jabatan sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat diserahkan kepada Kolonel AH Nasution.
Dengan disiplin ilmu sipil dan militer yang dimiliki, Djatikusumo dipercaya menjadi Kepala Biro Perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan di Jakarta sejak Agustus 1950 hingga Maret 1952. Selanjutnya ia diangkat sebagai Komandan SSKAD di Bandung yang sekarang bernama Seskoad sejak April 1952. Pada 1956 sampai Agustus 1968, Djatikusumo menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI.
Jabatan rangkap lagi-lagi dipercayakan kepada Djatikusumo. Ia diangkat sebagai Koordinator Operasi Militer di Sumatera Utara dan Ketua Tim Pengatur Penempatan Kontingen Pasukan Indonesia di United Nations Emergency Forces (UNEF) di Kairo, Mesir.
Loyalitas Djatikusumo sangat tinggi kepada pimpinan. Pernah suatu ketika, dalam situasi pertempuran Semarang, ia diperintah ke Solo mengambil meriam. Sesampai di Solo, Djatikusumo mendapatkan telegram dari Kepala Staf dan Panglima Sementara Urip Sumoharjo untuk segera ke Markas Komando di Jakarta.
Djatikusumo pun langsung berangkat ke Jakarta. Namun baru sampai Cikampek, ia mendapatkan kabar bahwa Urip Sumoharjo dipindah ke Bandung, sehingga akhirnya ia kembali lagi ke Solo. Namun ketika sampai di Solo, posisinya sudah diisi perwira lain, sehingga Djatikusumo tak memiliki jabatan.
Mendapat informasi akan ada perluasan divisi, Djatikusumo memutuskan pergi Yogyakarta menemui Urip Sumoharjo. Saat itu, Djatikusumo ditawari memilih jabatan. Ia lalu memilih kembali bertugas di Semarang memimpin Divisi IV yang berlokasi di Salatiga meliputi Pekalongan, Semarang, dan Pati dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen) terhitung sejak November 1945 hingga Juni 1946.
Tak lama kemudian, Djatikusumo pindah tugas menjadi Panglima Divisi V Ronggolawe. Pangkatnya turun lebih rendah dua tingkat menjadi Kolonel meski mengemban jabatan yang sama. Penurunan pangkat tersebut akibat kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh TNI. Meski turun pangkatnya, tapi Djatikusumo tetap semangat sebagai prajurit TNI.
"Yang penting bukan jabatannya, tetapi yang penting tugasnya," katanya.
Djatikusumo mengemban amanah tersebut dan bermarkas di Mantingan, Blora, kemudian pindah ke Cepu. Hingga akhirnya pimpinan militer mengangkat Djatikusumo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan) di Yogyakarta terhitung sejak Februari 1948 dan bermarkas di Benteng Vredenburgh, Yogyakarta. Pengangkatan Djatikusumo berdasarkan penetapan Presiden Nomor 14 Tahun 1948 tertanggal 14 Mei.
Tidak hanya itu, pada November 1948 Djatikusumo dipercaya untuk merangkap jabatan sebagai Gubernur Akademi Militer (AM) di Yogyakarta dengan pangkat tetap Kolonel. Setelah setahun menjabat sebagai KSAD, pada 1949 jabatan sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat diserahkan kepada Kolonel AH Nasution.
Dengan disiplin ilmu sipil dan militer yang dimiliki, Djatikusumo dipercaya menjadi Kepala Biro Perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan di Jakarta sejak Agustus 1950 hingga Maret 1952. Selanjutnya ia diangkat sebagai Komandan SSKAD di Bandung yang sekarang bernama Seskoad sejak April 1952. Pada 1956 sampai Agustus 1968, Djatikusumo menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI.
Jabatan rangkap lagi-lagi dipercayakan kepada Djatikusumo. Ia diangkat sebagai Koordinator Operasi Militer di Sumatera Utara dan Ketua Tim Pengatur Penempatan Kontingen Pasukan Indonesia di United Nations Emergency Forces (UNEF) di Kairo, Mesir.
tulis komentar anda