Profil Jenderal TNI GPH Djatikusumo, Pangeran Jawa yang Menjadi KSAD Pertama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jenderal TNI (HOR) GPH Djatikusumo dikenal sebagai tentara pekerja keras tanpa mengharap imbalan. Sempat mengalami penurunan pangkat tapi Pangeran Jawa itu tetap menunjukkan dedikasinya hingga ditunjuk menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) pertama.
Ketulusan Djatikoesoemo dalam bekerja dianggap oleh Jenderal TNI Abdul Harris Nasution mirip Panglima Perang Islam, Khalid bin Walid dan Tariq bin Ziad. Kedua panglima itu tidak kecewa atau putus asa meski didegradasi jabatannya menjadi prajurit biasa.
"Karena mereka berjuang semata kepada Sang Pencipta Allah SWT. Orang Jawa menjulukinya Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe," kata AH Nasution dalam buku GPH Djatikusumo, Sosok Prajurit Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe terbitan Dinas Sejarah, Angkatan Darat (2009), dikutip, Kamis (12/1/2023).
Baca juga: Waktu Kecil Dorong Sepeda Soeharto, Siapa Sangka Sosok Ini Jadi Jenderal TNI Kepercayaan Presiden
Nasution juga menilai Djatikusumo merupakan sosok pekerja keras dan penuh pengorbanan serta tidak pernah mengharapkan imbalan jasa. "Sosok prajurit yang yakin akan kebenaran tugas yang telah diberikan oleh pimpinan kepadanya, tidak ada ambisi pribadi dalam dirinya," katanya.
FOTO/DOK. Dinas Sejarah, Angkatan Darat
Profil GPH Djatikusumo
Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo lahir di Surakarta, 1 Juli 1917. Ia merupakan putra Sri Susuhunan Pakubuwono X, Raja Keraton Surakarta yang memerintah sejak 29 Desember 1866 hingga 20 Februari 1936. Ibunya bernama RA Kinorukasi.
Meski anak raja, tapi Djatikusumo yang bernama kecil Bendoro Raden Mas Subandono, tidak hidup di dalam istana. Ia dititipkan di keluarga Belanda. Ia mengenyam pendidikan dasar di Eeuro Peesche Lagere School (ELS) Bandung. Setelah lulus, Djatikusumo ikut ke Belanda. Di sana, ia melanjutkan pendidikan di Techniche Hoge School (THS) Netherlands.
Saat Djatikusumo duduk di tingkat III, tepatnya 20 Februari 1939, ayahnya Sri Susuhunan Pakubuwono X mangkat atau meninggal dunia. Di waktu yang hampir bersamaan juga meletus Perang Dunia (PD) II. Situasi ini menyebabkan sekolah Djatikusumo terhenti dan mengharuskannya pulang ke Tanah Air.
Djatikusumo kemudian melanjutkan pendidikan di THS Bandung, saat ini dikenal Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, PD II juga berdampak ke Indonesia, sehingga Djatikusumo harus mengakhiri kuliahnya hanya sampai di tingkat IV.
Baca juga: Terpana Paras Cantik Gadis Pujaan, Jenderal TNI Ini Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama
Dua kali gagal menyelesaikan pendidikan umum, tak membuat Djatikusumo putus asa. Anak kedua dari lima bersaudara itu lalu masuk sekolah perwira bentukan Belanda, Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO). Mengutip buku berjudul GPH Djatikusumo Prajurit-Pejuang dari Kraton Surakarta karya Solichin Salam (1993), saat masih taruna CORO, tepatnya 3 Maret 1942 Djatikusumo dikirim berperang melawan tentara Jepang di Ciater, Subang, Jawa Barat. Namun lima hari kemudian, Belanda mengumumkan menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Pangkalan Udara Kalijati.
FOTO/DOK.Dinas Sejarah, Angkatan Darat
Meski ikut bertempur di pihak Belanda, Djatikusumo diberikan kesempatan oleh Jepang mengikuti pendidikan militer Jawa Boei Kanbu Giyugun Resentai. Ia dilatih menjadi calon perwira Tentara Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama yang bertugas memimpin Pasukan Sukarela mempertahankan Pulau Jawa dari ancaman invasi Sekutu. Setelah lulus, Djatikusumo menjadi Komandan Kompi (Chudancho) dan ditempatkan di Daidan (Batalyon) I Tentara PETA Surakarta.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Djatikusumo bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Ia diangkat menjadi Komandan BKR Solo dengan pangkat Mayor.
Djatikusumo terlibat dalam berbagai palagan pertempuran di Semarang dan melucuti senjata milik Jepang. Ia juga terlibat dalam perundingan dengan Jepang setelah diajak Bambang Darmojo dan Gubernur Semarang Wongsonegoro. Perundingan itu menghasilkan gencatan senjata.
Loyalitas Djatikusumo sangat tinggi kepada pimpinan. Pernah suatu ketika, dalam situasi pertempuran Semarang, ia diperintah ke Solo mengambil meriam. Sesampai di Solo, Djatikusumo mendapatkan telegram dari Kepala Staf dan Panglima Sementara Urip Sumoharjo untuk segera ke Markas Komando di Jakarta.
Djatikusumo pun langsung berangkat ke Jakarta. Namun baru sampai Cikampek, ia mendapatkan kabar bahwa Urip Sumoharjo dipindah ke Bandung, sehingga akhirnya ia kembali lagi ke Solo. Namun ketika sampai di Solo, posisinya sudah diisi perwira lain, sehingga Djatikusumo tak memiliki jabatan.
Mendapat informasi akan ada perluasan divisi, Djatikusumo memutuskan pergi Yogyakarta menemui Urip Sumoharjo. Saat itu, Djatikusumo ditawari memilih jabatan. Ia lalu memilih kembali bertugas di Semarang memimpin Divisi IV yang berlokasi di Salatiga meliputi Pekalongan, Semarang, dan Pati dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen) terhitung sejak November 1945 hingga Juni 1946.
Tak lama kemudian, Djatikusumo pindah tugas menjadi Panglima Divisi V Ronggolawe. Pangkatnya turun lebih rendah dua tingkat menjadi Kolonel meski mengemban jabatan yang sama. Penurunan pangkat tersebut akibat kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh TNI. Meski turun pangkatnya, tapi Djatikusumo tetap semangat sebagai prajurit TNI.
"Yang penting bukan jabatannya, tetapi yang penting tugasnya," katanya.
Djatikusumo mengemban amanah tersebut dan bermarkas di Mantingan, Blora, kemudian pindah ke Cepu. Hingga akhirnya pimpinan militer mengangkat Djatikusumo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan) di Yogyakarta terhitung sejak Februari 1948 dan bermarkas di Benteng Vredenburgh, Yogyakarta. Pengangkatan Djatikusumo berdasarkan penetapan Presiden Nomor 14 Tahun 1948 tertanggal 14 Mei.
Tidak hanya itu, pada November 1948 Djatikusumo dipercaya untuk merangkap jabatan sebagai Gubernur Akademi Militer (AM) di Yogyakarta dengan pangkat tetap Kolonel. Setelah setahun menjabat sebagai KSAD, pada 1949 jabatan sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat diserahkan kepada Kolonel AH Nasution.
Dengan disiplin ilmu sipil dan militer yang dimiliki, Djatikusumo dipercaya menjadi Kepala Biro Perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan di Jakarta sejak Agustus 1950 hingga Maret 1952. Selanjutnya ia diangkat sebagai Komandan SSKAD di Bandung yang sekarang bernama Seskoad sejak April 1952. Pada 1956 sampai Agustus 1968, Djatikusumo menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI.
Jabatan rangkap lagi-lagi dipercayakan kepada Djatikusumo. Ia diangkat sebagai Koordinator Operasi Militer di Sumatera Utara dan Ketua Tim Pengatur Penempatan Kontingen Pasukan Indonesia di United Nations Emergency Forces (UNEF) di Kairo, Mesir.
Jabatan Direktur Zeni Angkatan Darat merupakan jabatan terakhir Djatikusumo di dunia militer. Djatikusumo kemudian bertugas di luar dunia militer yakni di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sejak 12 Juli 1958 sebagai perwakilan RI di Singapura selama setahun. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata. Pangkatnya pun dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Selama menjabat, banyak yang dilakukan oleh Djatikusumo. Ia memajukan transportasi darat dengan membuka Kereta Api Ekspress di jalur selatan, mendatangkan 2.000 gerbong kereta dari Cekoslowakia, dan mendatangkan puluhan bus Damri. Selain itu, membangun sentral telepon otomatis untuk Jakarta Kota dan Tanjung Priok, dan membangun Kantor Pusat Telepon di Gambir, Jakarta Pusat hingga ke luar Jawa.
Selain itu, Djatikusumo juga membangun sejumlah hotel bintang lima di antaranya, Hotel Indonesia (HI) Jakarta, Hotel Ambarukmo Yogyakarta, Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu, dan Hotel Bali Beach di Denpasar Bali.
Setelah empat tahun menjabat, Djatikusumo kemudian diangkat sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaya (sekarang Malaysia) sejak Oktober 1963 hingga Oktober 1965. Selanjutnya Djatikusumo dipercaya menjadi Dubes Luar Biasa dan Berkuasa penuh RI di Kerajaan Maroko, Dubes Prancis dan Spanyol. Saat menjabat sebagai Dubes Maroko, Djatikusumo naik pangkat menjadi Letnan Jenderal (Letjen) TNI.
Selepas menjabat Dubes Prancis, pimpinan TNI AD memberikan jabatan Pati kepada Djatikusumo dan diperbantukan di staf umum Angkatan Darat hingga memasuki masa pensiun pada 7 Oktober 1970. Setelah pensiun, Djatikusumo seringkali mengisi ceramah-ceramah di perguruan tinggi. Pada 4 Juli 1992 Djatikusumo meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Raja Imogiri, Yogyakarta.
Atas jasa-jasanya, Djatikusumo menerima 17 penghargaan tanda jasa dari negara. Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan dari Vatikan.
Pada 1997, Djatikusumo dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan. Sesuai Keppres RI No 073/TK/Tahun 2002 Tanggal 6 November 2002, Jenderal TNI (HOR) GPH Djatikusumo diberikan gelar Pahlawan Nasional.
Ketulusan Djatikoesoemo dalam bekerja dianggap oleh Jenderal TNI Abdul Harris Nasution mirip Panglima Perang Islam, Khalid bin Walid dan Tariq bin Ziad. Kedua panglima itu tidak kecewa atau putus asa meski didegradasi jabatannya menjadi prajurit biasa.
"Karena mereka berjuang semata kepada Sang Pencipta Allah SWT. Orang Jawa menjulukinya Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe," kata AH Nasution dalam buku GPH Djatikusumo, Sosok Prajurit Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe terbitan Dinas Sejarah, Angkatan Darat (2009), dikutip, Kamis (12/1/2023).
Baca juga: Waktu Kecil Dorong Sepeda Soeharto, Siapa Sangka Sosok Ini Jadi Jenderal TNI Kepercayaan Presiden
Nasution juga menilai Djatikusumo merupakan sosok pekerja keras dan penuh pengorbanan serta tidak pernah mengharapkan imbalan jasa. "Sosok prajurit yang yakin akan kebenaran tugas yang telah diberikan oleh pimpinan kepadanya, tidak ada ambisi pribadi dalam dirinya," katanya.
FOTO/DOK. Dinas Sejarah, Angkatan Darat
Profil GPH Djatikusumo
Goesti Pangeran Harjo (GPH) Djatikusumo lahir di Surakarta, 1 Juli 1917. Ia merupakan putra Sri Susuhunan Pakubuwono X, Raja Keraton Surakarta yang memerintah sejak 29 Desember 1866 hingga 20 Februari 1936. Ibunya bernama RA Kinorukasi.
Meski anak raja, tapi Djatikusumo yang bernama kecil Bendoro Raden Mas Subandono, tidak hidup di dalam istana. Ia dititipkan di keluarga Belanda. Ia mengenyam pendidikan dasar di Eeuro Peesche Lagere School (ELS) Bandung. Setelah lulus, Djatikusumo ikut ke Belanda. Di sana, ia melanjutkan pendidikan di Techniche Hoge School (THS) Netherlands.
Saat Djatikusumo duduk di tingkat III, tepatnya 20 Februari 1939, ayahnya Sri Susuhunan Pakubuwono X mangkat atau meninggal dunia. Di waktu yang hampir bersamaan juga meletus Perang Dunia (PD) II. Situasi ini menyebabkan sekolah Djatikusumo terhenti dan mengharuskannya pulang ke Tanah Air.
Djatikusumo kemudian melanjutkan pendidikan di THS Bandung, saat ini dikenal Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, PD II juga berdampak ke Indonesia, sehingga Djatikusumo harus mengakhiri kuliahnya hanya sampai di tingkat IV.
Baca juga: Terpana Paras Cantik Gadis Pujaan, Jenderal TNI Ini Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama
Dua kali gagal menyelesaikan pendidikan umum, tak membuat Djatikusumo putus asa. Anak kedua dari lima bersaudara itu lalu masuk sekolah perwira bentukan Belanda, Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO). Mengutip buku berjudul GPH Djatikusumo Prajurit-Pejuang dari Kraton Surakarta karya Solichin Salam (1993), saat masih taruna CORO, tepatnya 3 Maret 1942 Djatikusumo dikirim berperang melawan tentara Jepang di Ciater, Subang, Jawa Barat. Namun lima hari kemudian, Belanda mengumumkan menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Pangkalan Udara Kalijati.
FOTO/DOK.Dinas Sejarah, Angkatan Darat
Meski ikut bertempur di pihak Belanda, Djatikusumo diberikan kesempatan oleh Jepang mengikuti pendidikan militer Jawa Boei Kanbu Giyugun Resentai. Ia dilatih menjadi calon perwira Tentara Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama yang bertugas memimpin Pasukan Sukarela mempertahankan Pulau Jawa dari ancaman invasi Sekutu. Setelah lulus, Djatikusumo menjadi Komandan Kompi (Chudancho) dan ditempatkan di Daidan (Batalyon) I Tentara PETA Surakarta.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Djatikusumo bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Ia diangkat menjadi Komandan BKR Solo dengan pangkat Mayor.
Djatikusumo terlibat dalam berbagai palagan pertempuran di Semarang dan melucuti senjata milik Jepang. Ia juga terlibat dalam perundingan dengan Jepang setelah diajak Bambang Darmojo dan Gubernur Semarang Wongsonegoro. Perundingan itu menghasilkan gencatan senjata.
Loyalitas Djatikusumo sangat tinggi kepada pimpinan. Pernah suatu ketika, dalam situasi pertempuran Semarang, ia diperintah ke Solo mengambil meriam. Sesampai di Solo, Djatikusumo mendapatkan telegram dari Kepala Staf dan Panglima Sementara Urip Sumoharjo untuk segera ke Markas Komando di Jakarta.
Djatikusumo pun langsung berangkat ke Jakarta. Namun baru sampai Cikampek, ia mendapatkan kabar bahwa Urip Sumoharjo dipindah ke Bandung, sehingga akhirnya ia kembali lagi ke Solo. Namun ketika sampai di Solo, posisinya sudah diisi perwira lain, sehingga Djatikusumo tak memiliki jabatan.
Mendapat informasi akan ada perluasan divisi, Djatikusumo memutuskan pergi Yogyakarta menemui Urip Sumoharjo. Saat itu, Djatikusumo ditawari memilih jabatan. Ia lalu memilih kembali bertugas di Semarang memimpin Divisi IV yang berlokasi di Salatiga meliputi Pekalongan, Semarang, dan Pati dengan pangkat Mayor Jenderal (Mayjen) terhitung sejak November 1945 hingga Juni 1946.
Tak lama kemudian, Djatikusumo pindah tugas menjadi Panglima Divisi V Ronggolawe. Pangkatnya turun lebih rendah dua tingkat menjadi Kolonel meski mengemban jabatan yang sama. Penurunan pangkat tersebut akibat kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh TNI. Meski turun pangkatnya, tapi Djatikusumo tetap semangat sebagai prajurit TNI.
"Yang penting bukan jabatannya, tetapi yang penting tugasnya," katanya.
Djatikusumo mengemban amanah tersebut dan bermarkas di Mantingan, Blora, kemudian pindah ke Cepu. Hingga akhirnya pimpinan militer mengangkat Djatikusumo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan) di Yogyakarta terhitung sejak Februari 1948 dan bermarkas di Benteng Vredenburgh, Yogyakarta. Pengangkatan Djatikusumo berdasarkan penetapan Presiden Nomor 14 Tahun 1948 tertanggal 14 Mei.
Tidak hanya itu, pada November 1948 Djatikusumo dipercaya untuk merangkap jabatan sebagai Gubernur Akademi Militer (AM) di Yogyakarta dengan pangkat tetap Kolonel. Setelah setahun menjabat sebagai KSAD, pada 1949 jabatan sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat diserahkan kepada Kolonel AH Nasution.
Dengan disiplin ilmu sipil dan militer yang dimiliki, Djatikusumo dipercaya menjadi Kepala Biro Perancang Operasi Militer Kementerian Pertahanan di Jakarta sejak Agustus 1950 hingga Maret 1952. Selanjutnya ia diangkat sebagai Komandan SSKAD di Bandung yang sekarang bernama Seskoad sejak April 1952. Pada 1956 sampai Agustus 1968, Djatikusumo menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI.
Jabatan rangkap lagi-lagi dipercayakan kepada Djatikusumo. Ia diangkat sebagai Koordinator Operasi Militer di Sumatera Utara dan Ketua Tim Pengatur Penempatan Kontingen Pasukan Indonesia di United Nations Emergency Forces (UNEF) di Kairo, Mesir.
Jabatan Direktur Zeni Angkatan Darat merupakan jabatan terakhir Djatikusumo di dunia militer. Djatikusumo kemudian bertugas di luar dunia militer yakni di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sejak 12 Juli 1958 sebagai perwakilan RI di Singapura selama setahun. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata. Pangkatnya pun dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Selama menjabat, banyak yang dilakukan oleh Djatikusumo. Ia memajukan transportasi darat dengan membuka Kereta Api Ekspress di jalur selatan, mendatangkan 2.000 gerbong kereta dari Cekoslowakia, dan mendatangkan puluhan bus Damri. Selain itu, membangun sentral telepon otomatis untuk Jakarta Kota dan Tanjung Priok, dan membangun Kantor Pusat Telepon di Gambir, Jakarta Pusat hingga ke luar Jawa.
Selain itu, Djatikusumo juga membangun sejumlah hotel bintang lima di antaranya, Hotel Indonesia (HI) Jakarta, Hotel Ambarukmo Yogyakarta, Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu, dan Hotel Bali Beach di Denpasar Bali.
Setelah empat tahun menjabat, Djatikusumo kemudian diangkat sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Malaya (sekarang Malaysia) sejak Oktober 1963 hingga Oktober 1965. Selanjutnya Djatikusumo dipercaya menjadi Dubes Luar Biasa dan Berkuasa penuh RI di Kerajaan Maroko, Dubes Prancis dan Spanyol. Saat menjabat sebagai Dubes Maroko, Djatikusumo naik pangkat menjadi Letnan Jenderal (Letjen) TNI.
Selepas menjabat Dubes Prancis, pimpinan TNI AD memberikan jabatan Pati kepada Djatikusumo dan diperbantukan di staf umum Angkatan Darat hingga memasuki masa pensiun pada 7 Oktober 1970. Setelah pensiun, Djatikusumo seringkali mengisi ceramah-ceramah di perguruan tinggi. Pada 4 Juli 1992 Djatikusumo meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Raja Imogiri, Yogyakarta.
Atas jasa-jasanya, Djatikusumo menerima 17 penghargaan tanda jasa dari negara. Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan dari Vatikan.
Pada 1997, Djatikusumo dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan. Sesuai Keppres RI No 073/TK/Tahun 2002 Tanggal 6 November 2002, Jenderal TNI (HOR) GPH Djatikusumo diberikan gelar Pahlawan Nasional.
(abd)