Kompleksitas Pengungkapan Kasus Kanjuruhan
Senin, 09 Januari 2023 - 11:39 WIB
Seingat penulis, seorang ahli kriminologi Indonesia, almarhum Paul Moedigo Moeliono, guru besar kriminologi di salah satu perguruan tinggi di Indonesia, mengemukakan teori bahwa kejahatan bisa terjadi karena salahmu sendiri atau juga bisa terjadi karena tiada orang yang bersalah. Teori yang tidak berkembang pascabeliau meninggal dunia.
Fungsi pelayanan atau fungsi sosial hukum pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang tajam hanya akan dijatuhkan jika mekanisme penegakkan hukum lainnya yang lebih ringan tidak berdaya guna atau sudah dipandang tidak cocok.
Fungsi hukum pidana tersebut tetap dianut di Belanda sampai saat ini. Bahkan, dikenalkan sarana sanksi pemulihan keadaan/hubungan sosial dalam keadaan semula antara pelaku dan korban jika kerugian tidak terlalu signifikan. Atau, sanksi dikenakan atas kerugian yang dikompensasi dengan tebusan/pembayaran yang disepakati pihak korban dan pelaku serta kepentingan masyaraka luas terpenuhi/tidak terganggu.
Dalam praktik penegakan hukum, sering dihadapi masalah mengambinghitamkan antara para pelaku dibantu korban. Ini termasuk teori kambing hitam (scape goat theory).
Asas kesalahan dengan prinsip bahwa tiada pidana tanpa kesalahan ditafsirkan selama ini oleh juris kita. Bahwa jika terjadi dugaan peristiwa pidana, harus ditemukan dulu adanya kesalahan pada seseorang dengan syarat perbuatan terduga pelaku telah menenuhi unsur mens rea dan actus reus.
Namun demikan, dalam praktik seolah-olah dua syarat tersebut harus dapat ditemukan dan kemudian dibuktikan di sidang pengadilan. Pemenuhan syarat kedua unsur tersebut kunci untuk menentukan siapa yang bersalah melakukan tindak pidana atau siapa yang tidak memenuhinya.
Teori kesalahan ini tampak sederhana akan tetapi jika berkaca kasus Ferdy Sambo, tidak semudah perkiraan sekalipun jelas terdapat korban karena tempat kejadian perkara sudah dirusak. Selain itu keterangan saksi-saksi juga diduga sudah direkayasa untuk melindungi pelaku, dan terdapat keragu-raguan mengenai motif pelaku membunuh korban.
Sungguh betapa sulit pembuktian kasus Ferdy Sambo. Namun, di balik kesulitan pembuktian kasus pidana termasuk kasus Kanjuruhan, bahwa hukum itu sendiri bukan ditujukan untuk hukum pidana sendiri dan hanya tujuan menemukan kesalahan dan menghukum melainkan hukum pidana juga memiliki fungsi pelayanan sosial.
Pandangan Remmelink, ahli hukum Belanda, tampaknya juga diakui para ahli hukum di negara itu sehingga dalam KUHP Belanda 1996 telah dimasukkan ketentuan mengenai plea-bargaining dan model restoratif-restorative justice. Di situ disebutkan dalam Pasal 76 yang memberikan hak kepada terdakwa berusia 70 tahun untuk dibebaskan dari penuntutan dengan syarat bahwa kerugian korban telah dipulihkan dan kerugian tidak terlalu signifikan.
Kasus Kanjuruhan termasuk keadaan darurat atau force majeure yang memang berkarakter tidak dapat diukur dengan kepastian hukum untuk dapat menemukan siapa yang patut disalahkan secara mutlak. Bahwa tidak ada satupun orang yang terlibat di dalam kssus tersebut menghendaki kematian lebih dari 130 orang itu.
Fungsi pelayanan atau fungsi sosial hukum pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang tajam hanya akan dijatuhkan jika mekanisme penegakkan hukum lainnya yang lebih ringan tidak berdaya guna atau sudah dipandang tidak cocok.
Fungsi hukum pidana tersebut tetap dianut di Belanda sampai saat ini. Bahkan, dikenalkan sarana sanksi pemulihan keadaan/hubungan sosial dalam keadaan semula antara pelaku dan korban jika kerugian tidak terlalu signifikan. Atau, sanksi dikenakan atas kerugian yang dikompensasi dengan tebusan/pembayaran yang disepakati pihak korban dan pelaku serta kepentingan masyaraka luas terpenuhi/tidak terganggu.
Dalam praktik penegakan hukum, sering dihadapi masalah mengambinghitamkan antara para pelaku dibantu korban. Ini termasuk teori kambing hitam (scape goat theory).
Asas kesalahan dengan prinsip bahwa tiada pidana tanpa kesalahan ditafsirkan selama ini oleh juris kita. Bahwa jika terjadi dugaan peristiwa pidana, harus ditemukan dulu adanya kesalahan pada seseorang dengan syarat perbuatan terduga pelaku telah menenuhi unsur mens rea dan actus reus.
Namun demikan, dalam praktik seolah-olah dua syarat tersebut harus dapat ditemukan dan kemudian dibuktikan di sidang pengadilan. Pemenuhan syarat kedua unsur tersebut kunci untuk menentukan siapa yang bersalah melakukan tindak pidana atau siapa yang tidak memenuhinya.
Teori kesalahan ini tampak sederhana akan tetapi jika berkaca kasus Ferdy Sambo, tidak semudah perkiraan sekalipun jelas terdapat korban karena tempat kejadian perkara sudah dirusak. Selain itu keterangan saksi-saksi juga diduga sudah direkayasa untuk melindungi pelaku, dan terdapat keragu-raguan mengenai motif pelaku membunuh korban.
Sungguh betapa sulit pembuktian kasus Ferdy Sambo. Namun, di balik kesulitan pembuktian kasus pidana termasuk kasus Kanjuruhan, bahwa hukum itu sendiri bukan ditujukan untuk hukum pidana sendiri dan hanya tujuan menemukan kesalahan dan menghukum melainkan hukum pidana juga memiliki fungsi pelayanan sosial.
Pandangan Remmelink, ahli hukum Belanda, tampaknya juga diakui para ahli hukum di negara itu sehingga dalam KUHP Belanda 1996 telah dimasukkan ketentuan mengenai plea-bargaining dan model restoratif-restorative justice. Di situ disebutkan dalam Pasal 76 yang memberikan hak kepada terdakwa berusia 70 tahun untuk dibebaskan dari penuntutan dengan syarat bahwa kerugian korban telah dipulihkan dan kerugian tidak terlalu signifikan.
Kasus Kanjuruhan termasuk keadaan darurat atau force majeure yang memang berkarakter tidak dapat diukur dengan kepastian hukum untuk dapat menemukan siapa yang patut disalahkan secara mutlak. Bahwa tidak ada satupun orang yang terlibat di dalam kssus tersebut menghendaki kematian lebih dari 130 orang itu.
tulis komentar anda