Kompleksitas Pengungkapan Kasus Kanjuruhan
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
SUATU peristiwa pidana terjadi, bisa peristiwa pidana biasa atau yang direncanakan terlebih dulu (met voorbedachte rade) yang mengakibatkan bahaya bagi orang lain, kematian atau luka- luka berat atau ringan.
Doktrin hukum pidana mengenal teori sebab-akibat di dalam suatu peristiwa pidana; Von Buri san Von Kries, untuk menemukan sebab terdekat atau langsung dari penyebab terjadinya tindak pidana yang kemudian untuk menentukan siapa bertanggung jawab dalam peristiwa pidana tersebut.
Baca Juga: koran-sindo.com
Di balik upaya aparat penegak hukum mengungkap peristiwa meninggalnya ratusan suporter sepakbola di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang memiliki bukan saja dimensi hukum pidana, tapi juga dimensi kemanusiaan. Sehingga, perlu mengingat kembali pertanyaan untuk tujuan apa sejatinya penerapan dan diperlukanya hukum pidana (sanksi pidana).
Atas pertanyaan ini, Remmelink (2003) menyatakan bahwa, hukum pidana bukan merupakan tuan dalam dirnya sendiri. Ia memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial, dan menurut yang bersangkutan, pandangan di abad reformasi hukum 2000 ini bersifat universal yang diterima hampir semua yuris di Belanda.
Apakah yuris kita sependapat? Kita belum tahu karena dalam pandangan penulis, yuris kita masih terobsesi pada pandangan klasik tentang hukum pidana yang mengutamakan fungsi penghukuman semata dengan tujuan penjeraan seperti pada abad 18.
Sampai dengan hari ini, kita masih termasuk dalam kehidupan masyarakat khusus hukum adat. Masalah tabu dan talionis masih merupakan dambaan apalagi di daerah Sulawesi dan lainnya di mana ada yang menganut utang gigi bayar gigi atau lex talionis.
Seingat penulis, seorang ahli kriminologi Indonesia, almarhum Paul Moedigo Moeliono, guru besar kriminologi di salah satu perguruan tinggi di Indonesia, mengemukakan teori bahwa kejahatan bisa terjadi karena salahmu sendiri atau juga bisa terjadi karena tiada orang yang bersalah. Teori yang tidak berkembang pascabeliau meninggal dunia.
Fungsi pelayanan atau fungsi sosial hukum pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang tajam hanya akan dijatuhkan jika mekanisme penegakkan hukum lainnya yang lebih ringan tidak berdaya guna atau sudah dipandang tidak cocok.
Fungsi hukum pidana tersebut tetap dianut di Belanda sampai saat ini. Bahkan, dikenalkan sarana sanksi pemulihan keadaan/hubungan sosial dalam keadaan semula antara pelaku dan korban jika kerugian tidak terlalu signifikan. Atau, sanksi dikenakan atas kerugian yang dikompensasi dengan tebusan/pembayaran yang disepakati pihak korban dan pelaku serta kepentingan masyaraka luas terpenuhi/tidak terganggu.
Dalam praktik penegakan hukum, sering dihadapi masalah mengambinghitamkan antara para pelaku dibantu korban. Ini termasuk teori kambing hitam (scape goat theory).
Asas kesalahan dengan prinsip bahwa tiada pidana tanpa kesalahan ditafsirkan selama ini oleh juris kita. Bahwa jika terjadi dugaan peristiwa pidana, harus ditemukan dulu adanya kesalahan pada seseorang dengan syarat perbuatan terduga pelaku telah menenuhi unsur mens rea dan actus reus.
Namun demikan, dalam praktik seolah-olah dua syarat tersebut harus dapat ditemukan dan kemudian dibuktikan di sidang pengadilan. Pemenuhan syarat kedua unsur tersebut kunci untuk menentukan siapa yang bersalah melakukan tindak pidana atau siapa yang tidak memenuhinya.
Teori kesalahan ini tampak sederhana akan tetapi jika berkaca kasus Ferdy Sambo, tidak semudah perkiraan sekalipun jelas terdapat korban karena tempat kejadian perkara sudah dirusak. Selain itu keterangan saksi-saksi juga diduga sudah direkayasa untuk melindungi pelaku, dan terdapat keragu-raguan mengenai motif pelaku membunuh korban.
Sungguh betapa sulit pembuktian kasus Ferdy Sambo. Namun, di balik kesulitan pembuktian kasus pidana termasuk kasus Kanjuruhan, bahwa hukum itu sendiri bukan ditujukan untuk hukum pidana sendiri dan hanya tujuan menemukan kesalahan dan menghukum melainkan hukum pidana juga memiliki fungsi pelayanan sosial.
Pandangan Remmelink, ahli hukum Belanda, tampaknya juga diakui para ahli hukum di negara itu sehingga dalam KUHP Belanda 1996 telah dimasukkan ketentuan mengenai plea-bargaining dan model restoratif-restorative justice. Di situ disebutkan dalam Pasal 76 yang memberikan hak kepada terdakwa berusia 70 tahun untuk dibebaskan dari penuntutan dengan syarat bahwa kerugian korban telah dipulihkan dan kerugian tidak terlalu signifikan.
Kasus Kanjuruhan termasuk keadaan darurat atau force majeure yang memang berkarakter tidak dapat diukur dengan kepastian hukum untuk dapat menemukan siapa yang patut disalahkan secara mutlak. Bahwa tidak ada satupun orang yang terlibat di dalam kssus tersebut menghendaki kematian lebih dari 130 orang itu.
Hukum yang akan diterapkannya pun tidak semudah kasus pembunuhan atau pencurian. Diperlukan pemikiran jernih dan objektif menangani kasus Kanjuruhan, apalagi korban pascakasus tersebut sudah ditangani dengan baik dan maksimal.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
SUATU peristiwa pidana terjadi, bisa peristiwa pidana biasa atau yang direncanakan terlebih dulu (met voorbedachte rade) yang mengakibatkan bahaya bagi orang lain, kematian atau luka- luka berat atau ringan.
Doktrin hukum pidana mengenal teori sebab-akibat di dalam suatu peristiwa pidana; Von Buri san Von Kries, untuk menemukan sebab terdekat atau langsung dari penyebab terjadinya tindak pidana yang kemudian untuk menentukan siapa bertanggung jawab dalam peristiwa pidana tersebut.
Baca Juga: koran-sindo.com
Di balik upaya aparat penegak hukum mengungkap peristiwa meninggalnya ratusan suporter sepakbola di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang memiliki bukan saja dimensi hukum pidana, tapi juga dimensi kemanusiaan. Sehingga, perlu mengingat kembali pertanyaan untuk tujuan apa sejatinya penerapan dan diperlukanya hukum pidana (sanksi pidana).
Atas pertanyaan ini, Remmelink (2003) menyatakan bahwa, hukum pidana bukan merupakan tuan dalam dirnya sendiri. Ia memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial, dan menurut yang bersangkutan, pandangan di abad reformasi hukum 2000 ini bersifat universal yang diterima hampir semua yuris di Belanda.
Apakah yuris kita sependapat? Kita belum tahu karena dalam pandangan penulis, yuris kita masih terobsesi pada pandangan klasik tentang hukum pidana yang mengutamakan fungsi penghukuman semata dengan tujuan penjeraan seperti pada abad 18.
Sampai dengan hari ini, kita masih termasuk dalam kehidupan masyarakat khusus hukum adat. Masalah tabu dan talionis masih merupakan dambaan apalagi di daerah Sulawesi dan lainnya di mana ada yang menganut utang gigi bayar gigi atau lex talionis.
Seingat penulis, seorang ahli kriminologi Indonesia, almarhum Paul Moedigo Moeliono, guru besar kriminologi di salah satu perguruan tinggi di Indonesia, mengemukakan teori bahwa kejahatan bisa terjadi karena salahmu sendiri atau juga bisa terjadi karena tiada orang yang bersalah. Teori yang tidak berkembang pascabeliau meninggal dunia.
Fungsi pelayanan atau fungsi sosial hukum pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang tajam hanya akan dijatuhkan jika mekanisme penegakkan hukum lainnya yang lebih ringan tidak berdaya guna atau sudah dipandang tidak cocok.
Fungsi hukum pidana tersebut tetap dianut di Belanda sampai saat ini. Bahkan, dikenalkan sarana sanksi pemulihan keadaan/hubungan sosial dalam keadaan semula antara pelaku dan korban jika kerugian tidak terlalu signifikan. Atau, sanksi dikenakan atas kerugian yang dikompensasi dengan tebusan/pembayaran yang disepakati pihak korban dan pelaku serta kepentingan masyaraka luas terpenuhi/tidak terganggu.
Dalam praktik penegakan hukum, sering dihadapi masalah mengambinghitamkan antara para pelaku dibantu korban. Ini termasuk teori kambing hitam (scape goat theory).
Asas kesalahan dengan prinsip bahwa tiada pidana tanpa kesalahan ditafsirkan selama ini oleh juris kita. Bahwa jika terjadi dugaan peristiwa pidana, harus ditemukan dulu adanya kesalahan pada seseorang dengan syarat perbuatan terduga pelaku telah menenuhi unsur mens rea dan actus reus.
Namun demikan, dalam praktik seolah-olah dua syarat tersebut harus dapat ditemukan dan kemudian dibuktikan di sidang pengadilan. Pemenuhan syarat kedua unsur tersebut kunci untuk menentukan siapa yang bersalah melakukan tindak pidana atau siapa yang tidak memenuhinya.
Teori kesalahan ini tampak sederhana akan tetapi jika berkaca kasus Ferdy Sambo, tidak semudah perkiraan sekalipun jelas terdapat korban karena tempat kejadian perkara sudah dirusak. Selain itu keterangan saksi-saksi juga diduga sudah direkayasa untuk melindungi pelaku, dan terdapat keragu-raguan mengenai motif pelaku membunuh korban.
Sungguh betapa sulit pembuktian kasus Ferdy Sambo. Namun, di balik kesulitan pembuktian kasus pidana termasuk kasus Kanjuruhan, bahwa hukum itu sendiri bukan ditujukan untuk hukum pidana sendiri dan hanya tujuan menemukan kesalahan dan menghukum melainkan hukum pidana juga memiliki fungsi pelayanan sosial.
Pandangan Remmelink, ahli hukum Belanda, tampaknya juga diakui para ahli hukum di negara itu sehingga dalam KUHP Belanda 1996 telah dimasukkan ketentuan mengenai plea-bargaining dan model restoratif-restorative justice. Di situ disebutkan dalam Pasal 76 yang memberikan hak kepada terdakwa berusia 70 tahun untuk dibebaskan dari penuntutan dengan syarat bahwa kerugian korban telah dipulihkan dan kerugian tidak terlalu signifikan.
Kasus Kanjuruhan termasuk keadaan darurat atau force majeure yang memang berkarakter tidak dapat diukur dengan kepastian hukum untuk dapat menemukan siapa yang patut disalahkan secara mutlak. Bahwa tidak ada satupun orang yang terlibat di dalam kssus tersebut menghendaki kematian lebih dari 130 orang itu.
Hukum yang akan diterapkannya pun tidak semudah kasus pembunuhan atau pencurian. Diperlukan pemikiran jernih dan objektif menangani kasus Kanjuruhan, apalagi korban pascakasus tersebut sudah ditangani dengan baik dan maksimal.
(bmm)