Kebijakan Publik dan Demokrasi
Selasa, 03 Januari 2023 - 14:30 WIB
Pada negara-negara otoriter, kebijakan publik yang unggul adalah hadiahdari penguasa kepada rakyatnya. Jadi, jika pun penguasa atau pemegang kekuasaan yang sah tidak memberikan kebijakan publik yang unggul, atau bahkan kebijakan publik yang membodohkan, mencelakakan, dan yang jahat, kekuasaan itu sendiri tidak dapat dituntut.
Bahkan kekuasaan itu pun berhak untuk tidak memaksakan diri membangun kebijakan publik yang unggul, dan juga untuk tidak perlu merasa malu, apalagi mengundurkan diri, jika membuat kebijakan yang salah dan jahat.
Jika ada premis yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah, karena sekali dipilih melalui sistem pemilihan yang sah, maka apa pun yang dilakukannya tidak dapat disalahkan, adalah premis bagi mereka yang tidak mengerti kebijakan publik pada aras demokrasi. Mengapa?
Karena kebijakan publik pada aras demokrasi adalah ketika penguasa (artinya pemegang kekuasan yang sah) mengetahui bahwa dalam negara demokrasi, maka kebijakan publik yang unggul bukanlah hadiah penguasa kepada rakyatnya, melainkan hak rakyat,yang harus diberikan oleh pemerintah, dan tidak ada excuse, termasuk kegagalannya.
Jadi, kita memahami sekarang, bahwa banyak pemerintahan di negara demokrasi gagal karena mereka tidak mengerti makna kebijakan publik pada aras demokrasi; mereka adalah kekuasaan yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah dan bahwa kebijakan publik adalah “suka-suka” kekuasaan, mau jadi hadiah atau musibah, terserah pemerintah.
Jadi, diulangi kembali, pada negara-negara demokrasi yang baik, maka kebijakan publik yang unggul menjadi hak dasar dari rakyat, dari warganegara, dan bukan hadiah pemerintah. Pemerintah perlu merasa takut untuk membuat kebijakan publik yang bermutu rendah, karena tidak mau memenuhi kriteria dasarnya: cerdas, bijaksana, dan harapan.
Setidaknya merasa malu kalau melakukan hal tersebut, dan bukan malah berkelit. Hanya dengan itu, negara demokrasi mampu menjadi negara yang hebat dan unggul, karena pemerintahnya senantiasa memaksa diri dengan memiliki ukuran kinerja kebijakan yang unggul sebagai hak dasar rakyat. Tanpa itu, demokrasi yang ada menjadi demokrasi yang sia-sia; demokrasi menjadi sekadar sistem politik despot.
Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila, sudah sepatutnya menjadikan kebijakan publik yang unggul menjadi hak rakyat, bukan hadiah pemerintah, apalagi sekadar hadiah dari pejabat yang sedang memerintah.
Indonesia Emas 2045 dapat dicapai jika sejak sekarang para pembuat kebijakan Indonesia memahami bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, dan bukan yang lain. Ini bukan masalah strategis, apalagi teknis. Ini adalah masalah pikiran, mindset. Kiranya ini menjadi agenda bagi para kandidat pemimpin bangsa yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024.
Bahkan kekuasaan itu pun berhak untuk tidak memaksakan diri membangun kebijakan publik yang unggul, dan juga untuk tidak perlu merasa malu, apalagi mengundurkan diri, jika membuat kebijakan yang salah dan jahat.
Jika ada premis yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah, karena sekali dipilih melalui sistem pemilihan yang sah, maka apa pun yang dilakukannya tidak dapat disalahkan, adalah premis bagi mereka yang tidak mengerti kebijakan publik pada aras demokrasi. Mengapa?
Karena kebijakan publik pada aras demokrasi adalah ketika penguasa (artinya pemegang kekuasan yang sah) mengetahui bahwa dalam negara demokrasi, maka kebijakan publik yang unggul bukanlah hadiah penguasa kepada rakyatnya, melainkan hak rakyat,yang harus diberikan oleh pemerintah, dan tidak ada excuse, termasuk kegagalannya.
Jadi, kita memahami sekarang, bahwa banyak pemerintahan di negara demokrasi gagal karena mereka tidak mengerti makna kebijakan publik pada aras demokrasi; mereka adalah kekuasaan yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah dan bahwa kebijakan publik adalah “suka-suka” kekuasaan, mau jadi hadiah atau musibah, terserah pemerintah.
Jadi, diulangi kembali, pada negara-negara demokrasi yang baik, maka kebijakan publik yang unggul menjadi hak dasar dari rakyat, dari warganegara, dan bukan hadiah pemerintah. Pemerintah perlu merasa takut untuk membuat kebijakan publik yang bermutu rendah, karena tidak mau memenuhi kriteria dasarnya: cerdas, bijaksana, dan harapan.
Setidaknya merasa malu kalau melakukan hal tersebut, dan bukan malah berkelit. Hanya dengan itu, negara demokrasi mampu menjadi negara yang hebat dan unggul, karena pemerintahnya senantiasa memaksa diri dengan memiliki ukuran kinerja kebijakan yang unggul sebagai hak dasar rakyat. Tanpa itu, demokrasi yang ada menjadi demokrasi yang sia-sia; demokrasi menjadi sekadar sistem politik despot.
Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila, sudah sepatutnya menjadikan kebijakan publik yang unggul menjadi hak rakyat, bukan hadiah pemerintah, apalagi sekadar hadiah dari pejabat yang sedang memerintah.
Indonesia Emas 2045 dapat dicapai jika sejak sekarang para pembuat kebijakan Indonesia memahami bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, dan bukan yang lain. Ini bukan masalah strategis, apalagi teknis. Ini adalah masalah pikiran, mindset. Kiranya ini menjadi agenda bagi para kandidat pemimpin bangsa yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda