Kebijakan Publik dan Demokrasi
loading...
A
A
A
Riant Nugroho
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
KEUNGGULAN suatu negara semakin ditentukan oleh kemampuan pemerintah negara tersebut melahirkan dan mengembangkan kebijakan publik yang unggul. Faktor-faktor yang lain, seperti kondisi geografis, kekayaan sumberdaya alam, hingga jumlah penduduk, tetap penting, tetapi tidak semenentukan kebijakan publik yang unggul.
Bahkan, faktor-faktor tersebut menjadi variabel kedua setelah kebijakan publik, dan itu pun dengan syarat, yaitu kebijakan yang unggul, bukan yang bermutu rendah, abal-abal, atau terkendala.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ada tiga syarat suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan unggul, yaitu cerdas, dalam arti menyelesaikan masalah di inti masalah. Ada kisah sufi, suatu siang Nasarudin Hoja mengorek-korek tanah kering di depan rumahnya dengan kayu pendek. Tetangganya yang baik menegurnya, sedang mencari apa. Dijawab, sedang mencari cincin kesayangannya. Si tetangga ikut membantu mencari, hingga di perdu pembatas halaman.
Salah satu tetangga bertanya, memang hilangnya di mana. Dijawab, di dalam kamar. Lho, mengapa dicarinya di halaman? Iya, di kamar gelap. Ketika tetua kampung marah, Narasudin menjawab, bukannya di kampung kita sering dibuat kebijakan yang sama, menyelesaikan masalah di tempat yang salah.
Kedua, bijaksana. Setidaknya ada kriteria bijaksana yang banyak disebut: adil, berimbang, dan hati-hati. Ketiganya tidak salah. Namun, untuk kebijakan publik yang unggul, kriteria bijaksana terpampang di depan Pegadaian: menyelesaikan masalah.
Di masa lalu, ada pepatah, to sweep something under the rug or to sweep something under the carpet, atau menyapu kotoran dan menaruh di bawah karpet. Istilah yang digunakan di awal 1900-an di Inggris dari pengalaman melihat pembantu yang malas; daripada repot membuang sampah ke tempat sampah, sembunyikan saja di bawah karpet.
Ketiga, memberikan harapan kepada rakyat –bukan pemerintah atau kekuasaan atau elite. Pandora adalah hadiah Dewa Zeus kepada manusia. Ia membawa guci hadiah Zeus yang sebenarnya hukuman untuk manusia, yang isinya segala sifat buruk manusia, sebagai hukuman kepada Promoteus, seorang Titan atau pemimpin bumi kuno yang cerdas dan berani, yang sudah mencuri api milik Zeus dan memberikannya kepada manusia. Pandora diperistri Epitemeus, adik Promoteus. Guci “hadiah” Zeus disegel Promoteus, dan dijaga Epitemeus. Saat mereka pergi, Pandora membukanya. Segala sifat jahat manusia keluar.
Sejak saat itu manusia konon menjadi jahat dan senantiasa membuat onar. Tapi, ada satu yang tertinggal di dalam guci, yang kelak menyelamatkan umat manusia: harapan. Kebijakan publik adalah harapan bagi rakyat bahwa mereka dapat hidup bersama dengan lebih baik; bahwa semua masalah selesai jika ada harapan yang dijaga bersama. Kebijakan publik akan menjadi sia-sia jika isinya adalah merampas harapan rakyat, termasuk harapan untuk menjadi mandiri.
Pembelajaran Indonesia
Setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir, kita mengalami kenyataan terkendalanya sejumlah kebijakan publik untuk masuk kategori kebijakan uggul, baik untuk salah satu, dua, atau ketiga kriterianya. Kita sebut saja empat kasus. Pertama, kebijakan tol laut. Kedua, kebijakan cipta kerja, kebijakan pelarangan ekspor nikel, dan yang berpotensi terkendala adalah kebijakan pemindahan ibukota negara.
Pada rapat terbatas di Kantor Presiden (30/10/2019) Presiden Jokowi menyampaikan kekecewaannya karena kebijakan tol laut yang telah bergulir sejak 2015 yang diharapkan dapat menurunkan harga barang sekitar 20-30% tidak berhasil. Bahkan dikemukakan Presiden bahwa biaya logistik menggunakan tol laut dari Jakarta ke beberapa kota lebih mahal daripada tujuan Hong Kong, Bangkok, dan Shanghai (5/3/2019). Kebijakan tol laut terkendala masuk ke kriteria kebijakan unggul, pada ketiga kriteria kebijakan unggul.
Pemerintah telah menetapkan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM 11/2019. Komisi Uni Eropa merespons kebijakan itu dengan menggugat Indonesia ke WTO. Pada 2022, Indonesia dinyatakan kalah. Gagasan Presiden luar biasa, karena larangan ekspor bahan mentah nikel terbukti meningkatkan pendapatan negara Rp20 triliun dari nilai ekspor bahan mentah, menjadi Rp300 triliun dari nilai ekspor bahan olahan.
Presiden tetap konsisten, memerintahkan menteri terkait untk terus melawan dengan naik banding. Kekalahan di WTO tetap kekalahan, sehingga gagasan yang baik terkendala menjadi kebijakan publik yang unggul terutama pada pertama dan kedua kriteria kebijakan unggul.
Kebijakan pemindahan ibukota adalah gagasan yang baik, namun perlu ada manajemen risiko yang baik. Kazakhstan, Brasil, Nigeria, Inggris, Uni Soviet, dan Amerika Serikat adalah negara yang dapat memindahkan ibukota dengan berhasil. Namun, Myanmar gagal, dan membuat Naypyidaw menjadi “Kota Hantu”. Hal yang hampir sama terjadi dengan Putra Jaya, Malaysia, dan Korea Selatan dengan Sejong yang tidak berhasil., karena publik menilai Sejong sebgai kota yang “tidak berjiwa”.
Terlepas dari keluarnya investor seperti Softbank di satu sisi, dan klaim makin banyaknya investor lain yang masuk, namun pemerintah perlu mewaspadai potensi risiko kebijakan IKN menjadi kebijakan yang terkendala –atau tidak unggul—terutama pada kriteria ke dua kebijakan unggul.
Kebijakan dan DemokrasiKebijakan publik menurut Thomas Dye adalah what government choose to do or to do and what different it makes . Kebijakan adalah masalah keputusan akan pilihan, dan kemudian apa manfaat dari keputusan itu: kebaikan atau kemudaratan. Kebijakan publik yang unggul menjadi agenda negara demokrasi. Bahkan, lebih dari itu: menjadi hak warga negara.
Pada negara-negara otoriter, kebijakan publik yang unggul adalah hadiahdari penguasa kepada rakyatnya. Jadi, jika pun penguasa atau pemegang kekuasaan yang sah tidak memberikan kebijakan publik yang unggul, atau bahkan kebijakan publik yang membodohkan, mencelakakan, dan yang jahat, kekuasaan itu sendiri tidak dapat dituntut.
Bahkan kekuasaan itu pun berhak untuk tidak memaksakan diri membangun kebijakan publik yang unggul, dan juga untuk tidak perlu merasa malu, apalagi mengundurkan diri, jika membuat kebijakan yang salah dan jahat.
Jika ada premis yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah, karena sekali dipilih melalui sistem pemilihan yang sah, maka apa pun yang dilakukannya tidak dapat disalahkan, adalah premis bagi mereka yang tidak mengerti kebijakan publik pada aras demokrasi. Mengapa?
Karena kebijakan publik pada aras demokrasi adalah ketika penguasa (artinya pemegang kekuasan yang sah) mengetahui bahwa dalam negara demokrasi, maka kebijakan publik yang unggul bukanlah hadiah penguasa kepada rakyatnya, melainkan hak rakyat,yang harus diberikan oleh pemerintah, dan tidak ada excuse, termasuk kegagalannya.
Jadi, kita memahami sekarang, bahwa banyak pemerintahan di negara demokrasi gagal karena mereka tidak mengerti makna kebijakan publik pada aras demokrasi; mereka adalah kekuasaan yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah dan bahwa kebijakan publik adalah “suka-suka” kekuasaan, mau jadi hadiah atau musibah, terserah pemerintah.
Jadi, diulangi kembali, pada negara-negara demokrasi yang baik, maka kebijakan publik yang unggul menjadi hak dasar dari rakyat, dari warganegara, dan bukan hadiah pemerintah. Pemerintah perlu merasa takut untuk membuat kebijakan publik yang bermutu rendah, karena tidak mau memenuhi kriteria dasarnya: cerdas, bijaksana, dan harapan.
Setidaknya merasa malu kalau melakukan hal tersebut, dan bukan malah berkelit. Hanya dengan itu, negara demokrasi mampu menjadi negara yang hebat dan unggul, karena pemerintahnya senantiasa memaksa diri dengan memiliki ukuran kinerja kebijakan yang unggul sebagai hak dasar rakyat. Tanpa itu, demokrasi yang ada menjadi demokrasi yang sia-sia; demokrasi menjadi sekadar sistem politik despot.
Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila, sudah sepatutnya menjadikan kebijakan publik yang unggul menjadi hak rakyat, bukan hadiah pemerintah, apalagi sekadar hadiah dari pejabat yang sedang memerintah.
Indonesia Emas 2045 dapat dicapai jika sejak sekarang para pembuat kebijakan Indonesia memahami bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, dan bukan yang lain. Ini bukan masalah strategis, apalagi teknis. Ini adalah masalah pikiran, mindset. Kiranya ini menjadi agenda bagi para kandidat pemimpin bangsa yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024.
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
KEUNGGULAN suatu negara semakin ditentukan oleh kemampuan pemerintah negara tersebut melahirkan dan mengembangkan kebijakan publik yang unggul. Faktor-faktor yang lain, seperti kondisi geografis, kekayaan sumberdaya alam, hingga jumlah penduduk, tetap penting, tetapi tidak semenentukan kebijakan publik yang unggul.
Bahkan, faktor-faktor tersebut menjadi variabel kedua setelah kebijakan publik, dan itu pun dengan syarat, yaitu kebijakan yang unggul, bukan yang bermutu rendah, abal-abal, atau terkendala.
Baca Juga: koran-sindo.com
Ada tiga syarat suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan unggul, yaitu cerdas, dalam arti menyelesaikan masalah di inti masalah. Ada kisah sufi, suatu siang Nasarudin Hoja mengorek-korek tanah kering di depan rumahnya dengan kayu pendek. Tetangganya yang baik menegurnya, sedang mencari apa. Dijawab, sedang mencari cincin kesayangannya. Si tetangga ikut membantu mencari, hingga di perdu pembatas halaman.
Salah satu tetangga bertanya, memang hilangnya di mana. Dijawab, di dalam kamar. Lho, mengapa dicarinya di halaman? Iya, di kamar gelap. Ketika tetua kampung marah, Narasudin menjawab, bukannya di kampung kita sering dibuat kebijakan yang sama, menyelesaikan masalah di tempat yang salah.
Kedua, bijaksana. Setidaknya ada kriteria bijaksana yang banyak disebut: adil, berimbang, dan hati-hati. Ketiganya tidak salah. Namun, untuk kebijakan publik yang unggul, kriteria bijaksana terpampang di depan Pegadaian: menyelesaikan masalah.
Di masa lalu, ada pepatah, to sweep something under the rug or to sweep something under the carpet, atau menyapu kotoran dan menaruh di bawah karpet. Istilah yang digunakan di awal 1900-an di Inggris dari pengalaman melihat pembantu yang malas; daripada repot membuang sampah ke tempat sampah, sembunyikan saja di bawah karpet.
Ketiga, memberikan harapan kepada rakyat –bukan pemerintah atau kekuasaan atau elite. Pandora adalah hadiah Dewa Zeus kepada manusia. Ia membawa guci hadiah Zeus yang sebenarnya hukuman untuk manusia, yang isinya segala sifat buruk manusia, sebagai hukuman kepada Promoteus, seorang Titan atau pemimpin bumi kuno yang cerdas dan berani, yang sudah mencuri api milik Zeus dan memberikannya kepada manusia. Pandora diperistri Epitemeus, adik Promoteus. Guci “hadiah” Zeus disegel Promoteus, dan dijaga Epitemeus. Saat mereka pergi, Pandora membukanya. Segala sifat jahat manusia keluar.
Sejak saat itu manusia konon menjadi jahat dan senantiasa membuat onar. Tapi, ada satu yang tertinggal di dalam guci, yang kelak menyelamatkan umat manusia: harapan. Kebijakan publik adalah harapan bagi rakyat bahwa mereka dapat hidup bersama dengan lebih baik; bahwa semua masalah selesai jika ada harapan yang dijaga bersama. Kebijakan publik akan menjadi sia-sia jika isinya adalah merampas harapan rakyat, termasuk harapan untuk menjadi mandiri.
Pembelajaran Indonesia
Setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir, kita mengalami kenyataan terkendalanya sejumlah kebijakan publik untuk masuk kategori kebijakan uggul, baik untuk salah satu, dua, atau ketiga kriterianya. Kita sebut saja empat kasus. Pertama, kebijakan tol laut. Kedua, kebijakan cipta kerja, kebijakan pelarangan ekspor nikel, dan yang berpotensi terkendala adalah kebijakan pemindahan ibukota negara.
Pada rapat terbatas di Kantor Presiden (30/10/2019) Presiden Jokowi menyampaikan kekecewaannya karena kebijakan tol laut yang telah bergulir sejak 2015 yang diharapkan dapat menurunkan harga barang sekitar 20-30% tidak berhasil. Bahkan dikemukakan Presiden bahwa biaya logistik menggunakan tol laut dari Jakarta ke beberapa kota lebih mahal daripada tujuan Hong Kong, Bangkok, dan Shanghai (5/3/2019). Kebijakan tol laut terkendala masuk ke kriteria kebijakan unggul, pada ketiga kriteria kebijakan unggul.
Pemerintah telah menetapkan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM 11/2019. Komisi Uni Eropa merespons kebijakan itu dengan menggugat Indonesia ke WTO. Pada 2022, Indonesia dinyatakan kalah. Gagasan Presiden luar biasa, karena larangan ekspor bahan mentah nikel terbukti meningkatkan pendapatan negara Rp20 triliun dari nilai ekspor bahan mentah, menjadi Rp300 triliun dari nilai ekspor bahan olahan.
Presiden tetap konsisten, memerintahkan menteri terkait untk terus melawan dengan naik banding. Kekalahan di WTO tetap kekalahan, sehingga gagasan yang baik terkendala menjadi kebijakan publik yang unggul terutama pada pertama dan kedua kriteria kebijakan unggul.
Kebijakan pemindahan ibukota adalah gagasan yang baik, namun perlu ada manajemen risiko yang baik. Kazakhstan, Brasil, Nigeria, Inggris, Uni Soviet, dan Amerika Serikat adalah negara yang dapat memindahkan ibukota dengan berhasil. Namun, Myanmar gagal, dan membuat Naypyidaw menjadi “Kota Hantu”. Hal yang hampir sama terjadi dengan Putra Jaya, Malaysia, dan Korea Selatan dengan Sejong yang tidak berhasil., karena publik menilai Sejong sebgai kota yang “tidak berjiwa”.
Terlepas dari keluarnya investor seperti Softbank di satu sisi, dan klaim makin banyaknya investor lain yang masuk, namun pemerintah perlu mewaspadai potensi risiko kebijakan IKN menjadi kebijakan yang terkendala –atau tidak unggul—terutama pada kriteria ke dua kebijakan unggul.
Kebijakan dan DemokrasiKebijakan publik menurut Thomas Dye adalah what government choose to do or to do and what different it makes . Kebijakan adalah masalah keputusan akan pilihan, dan kemudian apa manfaat dari keputusan itu: kebaikan atau kemudaratan. Kebijakan publik yang unggul menjadi agenda negara demokrasi. Bahkan, lebih dari itu: menjadi hak warga negara.
Pada negara-negara otoriter, kebijakan publik yang unggul adalah hadiahdari penguasa kepada rakyatnya. Jadi, jika pun penguasa atau pemegang kekuasaan yang sah tidak memberikan kebijakan publik yang unggul, atau bahkan kebijakan publik yang membodohkan, mencelakakan, dan yang jahat, kekuasaan itu sendiri tidak dapat dituntut.
Bahkan kekuasaan itu pun berhak untuk tidak memaksakan diri membangun kebijakan publik yang unggul, dan juga untuk tidak perlu merasa malu, apalagi mengundurkan diri, jika membuat kebijakan yang salah dan jahat.
Jika ada premis yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah, karena sekali dipilih melalui sistem pemilihan yang sah, maka apa pun yang dilakukannya tidak dapat disalahkan, adalah premis bagi mereka yang tidak mengerti kebijakan publik pada aras demokrasi. Mengapa?
Karena kebijakan publik pada aras demokrasi adalah ketika penguasa (artinya pemegang kekuasan yang sah) mengetahui bahwa dalam negara demokrasi, maka kebijakan publik yang unggul bukanlah hadiah penguasa kepada rakyatnya, melainkan hak rakyat,yang harus diberikan oleh pemerintah, dan tidak ada excuse, termasuk kegagalannya.
Jadi, kita memahami sekarang, bahwa banyak pemerintahan di negara demokrasi gagal karena mereka tidak mengerti makna kebijakan publik pada aras demokrasi; mereka adalah kekuasaan yang mengatakan bahwa rezim tidak pernah salah dan bahwa kebijakan publik adalah “suka-suka” kekuasaan, mau jadi hadiah atau musibah, terserah pemerintah.
Jadi, diulangi kembali, pada negara-negara demokrasi yang baik, maka kebijakan publik yang unggul menjadi hak dasar dari rakyat, dari warganegara, dan bukan hadiah pemerintah. Pemerintah perlu merasa takut untuk membuat kebijakan publik yang bermutu rendah, karena tidak mau memenuhi kriteria dasarnya: cerdas, bijaksana, dan harapan.
Setidaknya merasa malu kalau melakukan hal tersebut, dan bukan malah berkelit. Hanya dengan itu, negara demokrasi mampu menjadi negara yang hebat dan unggul, karena pemerintahnya senantiasa memaksa diri dengan memiliki ukuran kinerja kebijakan yang unggul sebagai hak dasar rakyat. Tanpa itu, demokrasi yang ada menjadi demokrasi yang sia-sia; demokrasi menjadi sekadar sistem politik despot.
Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila, sudah sepatutnya menjadikan kebijakan publik yang unggul menjadi hak rakyat, bukan hadiah pemerintah, apalagi sekadar hadiah dari pejabat yang sedang memerintah.
Indonesia Emas 2045 dapat dicapai jika sejak sekarang para pembuat kebijakan Indonesia memahami bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, dan bukan yang lain. Ini bukan masalah strategis, apalagi teknis. Ini adalah masalah pikiran, mindset. Kiranya ini menjadi agenda bagi para kandidat pemimpin bangsa yang akan berkompetisi pada Pemilu 2024.
(bmm)