Akselerasi Pengembangan Desa Wisata untuk Pemulihan Ekonomi
Selasa, 13 Desember 2022 - 08:22 WIB
Pengembangan desa wisata juga merupakan implementasi dari norma-norma yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 78 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa “Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.”
Dalam konteks kekinian, pengembangan desa wisata merupakan bagian dari ikhtiar memulihkan ekonomi nasional yang menjadi salah satu prioritas penggunaan Dana Desa pada tahun 2023. Pengembangan desa wisata sebisa mungkin diarahkan untuk mewujudkan percepatan pencapaian tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) di Desa. Hal yang tak kalah penting, pengembangan desa wisata merupakan langkah strategis pemerintah desa dalam upaya meminimalkan ancaman resesi ekonomi global pada 2023.
Transformasi Sosial
Pengembangan desa wisata tak mungkin berjalan optimal tanpa melibatkan peran kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Bagaimanapun, eksistensi dan keberlangsungan desa wisata di seluruh Indonesia berkaitan dengan visi yang diusung oleh kepala desa. Dalam rangka mewujudkan konsep self governing community, kepala desa sebagai pemimpin masyarakat dituntut mampu mengembangkan inisiatif untuk memajukan desa melalui kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan potensi desa.
Adapun dalam rangka mewujudkan konsep local self government, kepala desa merupakan kepala pemerintahan organisasi pemerintahan paling kecil dan paling bawah dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merealisasikan program-program pembangunan desa yang diinstruksikan dari atas. Dalam konteks inilah, optimalisasi fungsi kepala desa dalam upaya mengidentifikasi, mengembangkan, serta mempromosikan desa wisata menemukan urgensinya.
Potensi desa wisata di seluruh Indonesia bisa tergali secara maksimal dengan mengagendakan transformasi sosial. Apa yang pernah ditulis oleh Soedjatmoko saat menggambarkan transformasi sosial masyarakat Jawa mendapati relevansinya. Berdasarkan pandangan Soedjatmoko (2010: 131-132), transformasi sosial masyarakat Jawa berkisar pada dua masalah pokok.
Pertama, pengembangan golongan menengah yang tidak mau tinggal di lingkungan perdesaan dan enggan menjadi bagian dari birokrasi pemerintah. Langkah ini diwujudkan dengan memupuk sekaligus mengembangkan potensi sektor informal di wilayah perkotaan dan tenaga-tenaga nonpertanian di wilayah pedesaan.
Kedua, revitalisasi kemampuan swadaya desa dalam rangka meningkatkan potensi desa berdasarkan kepentingan masyarakat desa. Langkah ini diambil agar desa tidak lagi menjadi objek program-program pemerintah, melainkan juga subjek yang mampu mengurus urusannya sendiri. Pembangunan bercorak bottom up ini membuka kemungkinan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan absolut di Indonesia.
Bagi Soedjatmoko, dua masalah di atas merupakan bagian dari ikhtiar mewujudkan pembangunan bangsa (nation building) yang bisa menggerakkan perkembangan sosial, politik dan ekonomi Indonesia ke arah diferensisasi yang lebih besar. Hal ini diperlukan dalam menyiapkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern, kuat, serta mandiri.
Berdasarkan catatan historis, sebenarnya pemerintah Hindia Belanda, beberapa kabinet Republik Indonesia, serta sejumlah partai politik pernah merealisasikan transformasi sosial, meskipun dengan cara dan strategi yang berlainan. Pada masa penjajahan Belanda, kekuasaan kolonial justru menjadi penghalang terbesar bagi terwujudnya transformasi yang bersifat struktural tersebut. Atas dasar itulah, pola-pola transformasi sosial yang direncanakan tidak dimaksudkan untuk mengendalikan masyarakat, melainkan untuk membuka ruang bagi masyarakat dalam beraktualisasi selaku agen perubahan.
Dalam konteks kekinian, pengembangan desa wisata merupakan bagian dari ikhtiar memulihkan ekonomi nasional yang menjadi salah satu prioritas penggunaan Dana Desa pada tahun 2023. Pengembangan desa wisata sebisa mungkin diarahkan untuk mewujudkan percepatan pencapaian tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) di Desa. Hal yang tak kalah penting, pengembangan desa wisata merupakan langkah strategis pemerintah desa dalam upaya meminimalkan ancaman resesi ekonomi global pada 2023.
Transformasi Sosial
Pengembangan desa wisata tak mungkin berjalan optimal tanpa melibatkan peran kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Bagaimanapun, eksistensi dan keberlangsungan desa wisata di seluruh Indonesia berkaitan dengan visi yang diusung oleh kepala desa. Dalam rangka mewujudkan konsep self governing community, kepala desa sebagai pemimpin masyarakat dituntut mampu mengembangkan inisiatif untuk memajukan desa melalui kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan potensi desa.
Adapun dalam rangka mewujudkan konsep local self government, kepala desa merupakan kepala pemerintahan organisasi pemerintahan paling kecil dan paling bawah dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merealisasikan program-program pembangunan desa yang diinstruksikan dari atas. Dalam konteks inilah, optimalisasi fungsi kepala desa dalam upaya mengidentifikasi, mengembangkan, serta mempromosikan desa wisata menemukan urgensinya.
Potensi desa wisata di seluruh Indonesia bisa tergali secara maksimal dengan mengagendakan transformasi sosial. Apa yang pernah ditulis oleh Soedjatmoko saat menggambarkan transformasi sosial masyarakat Jawa mendapati relevansinya. Berdasarkan pandangan Soedjatmoko (2010: 131-132), transformasi sosial masyarakat Jawa berkisar pada dua masalah pokok.
Pertama, pengembangan golongan menengah yang tidak mau tinggal di lingkungan perdesaan dan enggan menjadi bagian dari birokrasi pemerintah. Langkah ini diwujudkan dengan memupuk sekaligus mengembangkan potensi sektor informal di wilayah perkotaan dan tenaga-tenaga nonpertanian di wilayah pedesaan.
Kedua, revitalisasi kemampuan swadaya desa dalam rangka meningkatkan potensi desa berdasarkan kepentingan masyarakat desa. Langkah ini diambil agar desa tidak lagi menjadi objek program-program pemerintah, melainkan juga subjek yang mampu mengurus urusannya sendiri. Pembangunan bercorak bottom up ini membuka kemungkinan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan absolut di Indonesia.
Bagi Soedjatmoko, dua masalah di atas merupakan bagian dari ikhtiar mewujudkan pembangunan bangsa (nation building) yang bisa menggerakkan perkembangan sosial, politik dan ekonomi Indonesia ke arah diferensisasi yang lebih besar. Hal ini diperlukan dalam menyiapkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern, kuat, serta mandiri.
Berdasarkan catatan historis, sebenarnya pemerintah Hindia Belanda, beberapa kabinet Republik Indonesia, serta sejumlah partai politik pernah merealisasikan transformasi sosial, meskipun dengan cara dan strategi yang berlainan. Pada masa penjajahan Belanda, kekuasaan kolonial justru menjadi penghalang terbesar bagi terwujudnya transformasi yang bersifat struktural tersebut. Atas dasar itulah, pola-pola transformasi sosial yang direncanakan tidak dimaksudkan untuk mengendalikan masyarakat, melainkan untuk membuka ruang bagi masyarakat dalam beraktualisasi selaku agen perubahan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda