Titik Terendah Negara Demokrasi Konstitusional
Rabu, 30 November 2022 - 15:15 WIB
Ketiga, alasan mekanisme pemberhentian Aswanto merupakan tindakan yang bertentangan dengan UU Mahkamah Konstitusi. Di dalam UU Mahkamah Konstitusi, pemberhentian hakim konstitusi hanya dapat terjadi dengan dua kondisi. Pertama pemberhentian dengan hormat, dan kedua pemberhentian dengan tidak hormat. Pemberhentian dengan hormat, hanya terjadi atas dasar beberpa sebab. Beberapa di antaranya mengundurkan diri, memasuki masa pensiun, habis masa jabatan, atau meninggal dunia.
Selanjutnya pemberhentian dengan tidak hormat, hanya terjadi jika hakim konstitusi melakukan tindak pidana atau pelanggaran etik. Proses pemberhentian secara tidak hormat ini juga wajib didahului dengan proses pemeriksaan melalui Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Kondisi faktual pemecatan Aswanto, sama sekali tidak memenuhi situasi pemberhentian secara hormat ataupun pemberhentian secara tidak hormat. Artinya, ada masalah yang sangat mendasar dari DPR di dalam melakukan tindakan pemecatan terhadap Aswanto.
Goyangnya Kekuasan Kehakiman MK
Pemberhentian Aswanto dengan cara seperti ini, bukan hanya berdampak pada Aswanto secara personal. Tetapi, ini berdampak pada goyangnya keseimbangan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh MK. Ke depan, akan besar kemungkinan hakim konstitusi diberhentikan seenaknya oleh DPR, Presiden, dan juga oleh Mahkamah Agung.
Sangat terbuka juga kemungkinan alasan irasional yang disampaikan oleh DPR di dalam memberhentikan Aswanto karena sering membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR akan terulang. Alasan ini berpotensi bida digunakan oleh presiden, Mahkamah Agung, atau diulangi oleh oleh DPR.
Apalagi, jika dicermati secara lebih mendalam, putusan-putusan MK bukanlah putusan dan sikap Aswanto seorang. Sebab setiap putusan yang dibuat oleh MK, mesti dilalui dengan rapat permusyawaratan hakim, yang semua hakim terlibat di dalam memutus setiap perkara.
Jika memang DPR marah dengan hakim konstitusi yang membatalkan undang-undang yang dibuat DPR, agaknya perlu semua hakim MK yang diusulkan DPR dipecat. Bahkan jika ingin lebih jauh dari itu, MK sekaligus dibubarkan, agar penyelenggaraan negara yang murni berdasar pada kemauan politis tanpa hukum bisa terus dilanjutkan.
Keputusan DPR di dalam memecat Aswanto secara melawan hukum ternyata juga diamini dan disetujui oleh Presiden. Alasan Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, yang mengatakan Presiden tidak bisa menolak keputusan DPR adalah sikap yang keliru.
Justru adanya keputusan akhir di presiden sebagai administrator tertinggi penyelenggaraan negara, merupakan garda terakhir untuk melindungi nilai dan prinsip negara hukum dari keputusan politik yang kadang memang tidak terkendali. Dalam hal ada keputusan politik DPR yang dilakukan dengan cara bertentangan dengan ketentuan hukum, presiden wajib untuk menghentikan dan meluruskannya.
Selanjutnya pemberhentian dengan tidak hormat, hanya terjadi jika hakim konstitusi melakukan tindak pidana atau pelanggaran etik. Proses pemberhentian secara tidak hormat ini juga wajib didahului dengan proses pemeriksaan melalui Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Kondisi faktual pemecatan Aswanto, sama sekali tidak memenuhi situasi pemberhentian secara hormat ataupun pemberhentian secara tidak hormat. Artinya, ada masalah yang sangat mendasar dari DPR di dalam melakukan tindakan pemecatan terhadap Aswanto.
Goyangnya Kekuasan Kehakiman MK
Pemberhentian Aswanto dengan cara seperti ini, bukan hanya berdampak pada Aswanto secara personal. Tetapi, ini berdampak pada goyangnya keseimbangan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh MK. Ke depan, akan besar kemungkinan hakim konstitusi diberhentikan seenaknya oleh DPR, Presiden, dan juga oleh Mahkamah Agung.
Sangat terbuka juga kemungkinan alasan irasional yang disampaikan oleh DPR di dalam memberhentikan Aswanto karena sering membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR akan terulang. Alasan ini berpotensi bida digunakan oleh presiden, Mahkamah Agung, atau diulangi oleh oleh DPR.
Apalagi, jika dicermati secara lebih mendalam, putusan-putusan MK bukanlah putusan dan sikap Aswanto seorang. Sebab setiap putusan yang dibuat oleh MK, mesti dilalui dengan rapat permusyawaratan hakim, yang semua hakim terlibat di dalam memutus setiap perkara.
Jika memang DPR marah dengan hakim konstitusi yang membatalkan undang-undang yang dibuat DPR, agaknya perlu semua hakim MK yang diusulkan DPR dipecat. Bahkan jika ingin lebih jauh dari itu, MK sekaligus dibubarkan, agar penyelenggaraan negara yang murni berdasar pada kemauan politis tanpa hukum bisa terus dilanjutkan.
Keputusan DPR di dalam memecat Aswanto secara melawan hukum ternyata juga diamini dan disetujui oleh Presiden. Alasan Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, yang mengatakan Presiden tidak bisa menolak keputusan DPR adalah sikap yang keliru.
Justru adanya keputusan akhir di presiden sebagai administrator tertinggi penyelenggaraan negara, merupakan garda terakhir untuk melindungi nilai dan prinsip negara hukum dari keputusan politik yang kadang memang tidak terkendali. Dalam hal ada keputusan politik DPR yang dilakukan dengan cara bertentangan dengan ketentuan hukum, presiden wajib untuk menghentikan dan meluruskannya.
tulis komentar anda