Titik Terendah Negara Demokrasi Konstitusional
Rabu, 30 November 2022 - 15:15 WIB
Kewenangan pembatalan undang-undang ini adalah impelementasi dari teoricheks and balancesantarcabang kekuasaan negara di dalam menjalankan pemerintahan. Undang-undang sebagai produk politik, yang materinya akan mengatur kehidupan orang banyak, perlu dipastikan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, serta tidak merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Keberadaan MK juga merupakan bagian penting untuk mewujudkan negara hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan menjaga Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional.
Semua kewenangan, tugas, dan fungsi MK, tertulis eksplisit di dalam UUD NRI 1945. Bahkan, secara kelembagaan terdapat UU khusus yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan UU yang mengatur tentang MK juga belum lama ini diubah oleh DPR dan Presiden. Artinya, jika sekarang Ketua Komisi Hukum DPR mengatakan kesalahan atau alasan pemberhentian karena Aswanto sebagai hakim konstitusi sering membatalkan UU yang dibuat oleh DPR, jelas itu merupakan alasan yang mengada-ada.
Jika hakim MK tidak boleh membatalkan UU yang dibuat oleh DPR dan Presiden, artinya, DPR juga sudah tidak menginginkan adanya MK. Paling tidak, DPR sudah mengingkari salah satu kewenangan mahkota yang dimiliki oleh MK, yakni menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Pemahaman ini jelas bertentangan dan pelanggaran serius terhadap konstitusi. Atau dalam keinginan yang lain, ke depannya bisa saja DPR menginginkan MK hanya menjadi pajangan.
Lembaga dan hakimnya ada, tetapi tidak boleh membatalkan UU, meskipun dari pemeriksaan dan persidangan di MK, suatu pasal, ayat, atau keseluruhan materi UU bertentangan dengan UUD NRI 1945. Jika memang hal tersebut yang diinginkan, jelas ini malpraktik negara hukum yang sangat berbahaya dan mengancam.
Kedua, pernyataan DPR yang mengatakan bahwa Aswanto adalah wakil DPR di MK, sepenuhnya pernyataan yang keliru. MK bukan lembaga perwakilan. Kewenangan DPR terhadap hakim konstitusi, hanyalah terbatas pada pengusulan saja. Hakikat pengusulan hakim konstitusi oleh DPR, lagi-lagi bertujuan untuk memberikan fungsi keseimbangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini pengisian hakim konstitusi.
Dari sembilan hakim konstitusi, tidak hanya DPR yang diberikan mandat oleh konstitusi untuk mengusulkan hakim. Melainkan juga ada presiden dan Mahkamah Agung yang masing-masing diberikan kewenangan mengusulkan masing-masing tiga orang hakim konstitusi.
Artinya, kewenangan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung di dalam pengisian hakim konstitusi, berhenti sampai di tahapan pengusulan saja.
Dalam pemecatan Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah, DPR juga melakukan pelanggaran yang sangat mendasar. Mekanisme pemilihan Guntur Hamzah dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan UU MK yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
Keberadaan MK juga merupakan bagian penting untuk mewujudkan negara hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan menjaga Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional.
Semua kewenangan, tugas, dan fungsi MK, tertulis eksplisit di dalam UUD NRI 1945. Bahkan, secara kelembagaan terdapat UU khusus yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi. Ketentuan UU yang mengatur tentang MK juga belum lama ini diubah oleh DPR dan Presiden. Artinya, jika sekarang Ketua Komisi Hukum DPR mengatakan kesalahan atau alasan pemberhentian karena Aswanto sebagai hakim konstitusi sering membatalkan UU yang dibuat oleh DPR, jelas itu merupakan alasan yang mengada-ada.
Jika hakim MK tidak boleh membatalkan UU yang dibuat oleh DPR dan Presiden, artinya, DPR juga sudah tidak menginginkan adanya MK. Paling tidak, DPR sudah mengingkari salah satu kewenangan mahkota yang dimiliki oleh MK, yakni menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Pemahaman ini jelas bertentangan dan pelanggaran serius terhadap konstitusi. Atau dalam keinginan yang lain, ke depannya bisa saja DPR menginginkan MK hanya menjadi pajangan.
Lembaga dan hakimnya ada, tetapi tidak boleh membatalkan UU, meskipun dari pemeriksaan dan persidangan di MK, suatu pasal, ayat, atau keseluruhan materi UU bertentangan dengan UUD NRI 1945. Jika memang hal tersebut yang diinginkan, jelas ini malpraktik negara hukum yang sangat berbahaya dan mengancam.
Kedua, pernyataan DPR yang mengatakan bahwa Aswanto adalah wakil DPR di MK, sepenuhnya pernyataan yang keliru. MK bukan lembaga perwakilan. Kewenangan DPR terhadap hakim konstitusi, hanyalah terbatas pada pengusulan saja. Hakikat pengusulan hakim konstitusi oleh DPR, lagi-lagi bertujuan untuk memberikan fungsi keseimbangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini pengisian hakim konstitusi.
Dari sembilan hakim konstitusi, tidak hanya DPR yang diberikan mandat oleh konstitusi untuk mengusulkan hakim. Melainkan juga ada presiden dan Mahkamah Agung yang masing-masing diberikan kewenangan mengusulkan masing-masing tiga orang hakim konstitusi.
Artinya, kewenangan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung di dalam pengisian hakim konstitusi, berhenti sampai di tahapan pengusulan saja.
Dalam pemecatan Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah, DPR juga melakukan pelanggaran yang sangat mendasar. Mekanisme pemilihan Guntur Hamzah dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan UU MK yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
tulis komentar anda