Meluruskan Kesalahpahaman tentang Politik Identitas
Jum'at, 11 November 2022 - 19:56 WIB
Klarifikasi Konseptual terkait Politik Identitas
Dari sejumlah tulisan opini terkait politik identitas di Indonesia, terdapat sejumlah kesalahpahaman konseptual yang perlu diklarifikasi, antara lain: (1) Politik identitas bisa dimainkan oleh kelompok mayoritas, (2) Politik kebangsaan juga mengusung politik identitas, dan (3) Politik praktis sebenarnya juga merupakan politik identitas.
Klarifikasi dari kesalahpahaman di atas adalah sebagai berikut. Pertama, politik identitas tidak lazim dimainkan oleh kelompok mayoritas yang sebenarnya memiliki akses lebih atau bahkan privilege dibandingkan kaum minoritas. Perlu dicatat, politik identitas oleh kelompok minoritas kerap memanfaatkan dan memperlihatkan posisi sebagai korban (playing victim) dari sistem yang represif yang dijalankan oleh kelompok mayoritas. Bagaimana mungkin kelompok mayoritas dengan privilege kemudian mem-frame diri sebagai korban?
Kedua, politik identitas berbeda dengan politik kebangsaan. Politik kebangsaan memahami keberadaan kelompok mayoritas dan minoritas. Namun, haluan politik ini bertujuan untuk mengakomodasi agar kedua kelompok menjadi inklusif. Hal ini berbeda dengan politik identitas, di mana salah satu kelompok menuntut hak eksklusif.
Dalam kacamata politik kebangsaan, keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah di atas segalanya. Setiap warga dari latar belakang sosial, kultural, agama apapun memiliki hak dan kewajiban yang setara untuk berpartisipasi dalam politik. Sebaliknya, dalam perspektif politik identitas, pemenuhan hak satu kelompoklah yang menjadi tujuan utamanya, yang justru bisa menimbulkan ketegangan atau bahkan perpecahan antarkelompok.
Ketiga, politik praktis belum tentu membawa politik identitas. Adalah sebuah fitrah bahwa pelaku politik praktis adalah anggota masyarakat dengan kesamaan identitas tertentu, misal: kesamaan visi misi politik, kesamaan geografis, kesamaan agama, dll. Namun, hal ini tidak serta-merta menjadikan setiap praktik politik sebagai gerakan politik identitas.
Kapan sebuah politik praktis menjadi gerakan politik identitas? Yaitu ketika afiliasi kesukuan, keagamaan, atau ras dijadikan komoditas untuk memobilisasi pengaruh perilaku pemilih. Preferensi objektif terhadap calon pemimpin yang memiliki kapasitas mumpuni kemudian menjadi terdistorsi oleh sentimen kesukuan atau keagamaan itu.
Sebagai contoh, calon pemimpin yang tidak kompeten namun seiman lebih dipilih daripada calon pemimpin yang kompeten tapi berbeda keyakinan. Acapkali, politik identitas memanipulasi doktrin agama untuk mendiskriminasi dan menyudutkan pemilih seagama yang menyalurkan aspirasi politik yang berbeda.
Kesimpulan
tulis komentar anda