Pasal Perzinaan dalam RKUHP Dinilai Bisa Digunakan untuk Menjebak Seseorang
Senin, 24 Oktober 2022 - 19:40 WIB
JAKARTA - Keberadaan pasal perzinaan di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) menuai kritik. Advokat Frank Hutapea menilai diktum dalam pasal itu memiliki diksi kata yang bisa membahayakan seseorang.
Adapun diktum yang dimaksud adalah Pasal 451 ayat (2). Pasal itu berbunyi, "Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. orang tua atau anaknya bagi yang tidak terikat perkawinan."
Sementara Pasal 451 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II."
Baca juga: Hati-hati, Pasangan Bukan Suami Istri Check In di Hotel Bisa Dipenjara
Bagi Frank, diksi kata penuntutan yang tercantum dalam ayat (2) tidak tepat. Sebab, dalam proses hukum penuntutan berada di ranah lembaga peradilan.
"Penuntutan itu kan prosesnya di pengadilan. Berarti seakan-akan tidak dituntut kecuali bukan laporan istri, suami, anak, atau orang tua. Tetapi polisi bisa menyelidik, menyidik, menersangkakan, bisa menangkap, kalau itu bukan laporan suami atau istri, anak, atau orang tua," kata Frank saat dihubungi, Senin (24/10/2022).
Menurutnya, kata penuntutan dalam pasal itu perlu diubah. "Seharusnya bahasanya tidak dilakukan penyelidikan kecuali atas laporan. Kalau (KUHP) sekarang tidak dilakukan penuntutan, kalau sekarang tidak dilakukan penyelidikan," tuturnya.
Tak hanya itu, Frank juga merasa pengecualian pihak yang dapat melapor yakni orang tua dan anak dalam klausul itu tak tepat. Menurutnya, dua pihak pelapor itu tidak memiliki dampak signifikan bila pihak terlapor sudah dewasa.
"Apa urusan orang orang tua atau anak kalau sudah dewasa orangnya. Kalau orang sudah dewasa di atas 30 (tahun) kalau belum married, apa urusannya orang tua mencampuri? Kalau seseorang itu adalah single parent umur 50, apa urusannya anak mencampuri?" kata Frank.
Kendati demikian, Frank merasa keberadaan pasal perzinaan dapat dijadikan alat untuk menjebak seseorang. "Jadi ini bukan lagi isu perhotelan, tetapi ini bisa jadi bancakan oleh oknum-oknum dan juga oleh orang-orang yang ingin mengerjai orang, karena semua kan bisa melaporkan seakan-akan, kalau benar ini draf (RKUHP) yang terakhir," katanya.
Frank melihat adanya dampak besar yang bisa timbul akibat klausul perzinaan ini. Ia menilai keberadaa pasal itu berpotensi dapat mencemarkan nama baik seseorang. "Ingat, yang bahaya adalah kalau laporan polisi itu diviralkan lewat WA pembicaraan pribadi. Kenapa? Karena sudah ada SKB Kapolri, Kominfo, dan Kejagung bahwa chat pribadi tidak bisa dipidanakan UU ITE," kata Frank.
"Jadi bayangkan kalau misalkan orang mau dikerjain, diviralkan lewat forward WA laporan polisinya seakan-akan berzina. Itu belum tentu benar, tetapi nama baik orang sudah rusak," katanya.
Adapun diktum yang dimaksud adalah Pasal 451 ayat (2). Pasal itu berbunyi, "Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. orang tua atau anaknya bagi yang tidak terikat perkawinan."
Sementara Pasal 451 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II."
Baca juga: Hati-hati, Pasangan Bukan Suami Istri Check In di Hotel Bisa Dipenjara
Bagi Frank, diksi kata penuntutan yang tercantum dalam ayat (2) tidak tepat. Sebab, dalam proses hukum penuntutan berada di ranah lembaga peradilan.
"Penuntutan itu kan prosesnya di pengadilan. Berarti seakan-akan tidak dituntut kecuali bukan laporan istri, suami, anak, atau orang tua. Tetapi polisi bisa menyelidik, menyidik, menersangkakan, bisa menangkap, kalau itu bukan laporan suami atau istri, anak, atau orang tua," kata Frank saat dihubungi, Senin (24/10/2022).
Menurutnya, kata penuntutan dalam pasal itu perlu diubah. "Seharusnya bahasanya tidak dilakukan penyelidikan kecuali atas laporan. Kalau (KUHP) sekarang tidak dilakukan penuntutan, kalau sekarang tidak dilakukan penyelidikan," tuturnya.
Tak hanya itu, Frank juga merasa pengecualian pihak yang dapat melapor yakni orang tua dan anak dalam klausul itu tak tepat. Menurutnya, dua pihak pelapor itu tidak memiliki dampak signifikan bila pihak terlapor sudah dewasa.
"Apa urusan orang orang tua atau anak kalau sudah dewasa orangnya. Kalau orang sudah dewasa di atas 30 (tahun) kalau belum married, apa urusannya orang tua mencampuri? Kalau seseorang itu adalah single parent umur 50, apa urusannya anak mencampuri?" kata Frank.
Kendati demikian, Frank merasa keberadaan pasal perzinaan dapat dijadikan alat untuk menjebak seseorang. "Jadi ini bukan lagi isu perhotelan, tetapi ini bisa jadi bancakan oleh oknum-oknum dan juga oleh orang-orang yang ingin mengerjai orang, karena semua kan bisa melaporkan seakan-akan, kalau benar ini draf (RKUHP) yang terakhir," katanya.
Frank melihat adanya dampak besar yang bisa timbul akibat klausul perzinaan ini. Ia menilai keberadaa pasal itu berpotensi dapat mencemarkan nama baik seseorang. "Ingat, yang bahaya adalah kalau laporan polisi itu diviralkan lewat WA pembicaraan pribadi. Kenapa? Karena sudah ada SKB Kapolri, Kominfo, dan Kejagung bahwa chat pribadi tidak bisa dipidanakan UU ITE," kata Frank.
"Jadi bayangkan kalau misalkan orang mau dikerjain, diviralkan lewat forward WA laporan polisinya seakan-akan berzina. Itu belum tentu benar, tetapi nama baik orang sudah rusak," katanya.
(abd)
tulis komentar anda