Kriminalisasi dalam KUHP Nasional

Jum'at, 23 Desember 2022 - 07:13 WIB
loading...
Kriminalisasi dalam...
Romli Atmasasmita (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

MENJELANG dan setelah RUU KUHP disetujui DPR RI dan tinggal menunggu pengesahan Presiden terjadi reaksi penolakan kelompok mahasiswa dan kelompok buruh yang menuntut agar UU KUHP tidak disahkan dengan berbagai alasan yang telah disampaikan berkali-kali.

Satu-satunya kekhawatiran penolak UU KUHP adalah kekhawatiran (belum terjadi) bahwa pemerintah khususnya aparat penegak hukum atau pihak eksekutif menyalahgunakan KUHP demi kepentingan kekuasaan semata-mata.

Kekhawatiran ini dapat dipahami dan bersifat universal di setiap negara yang tengah menyusun suatu undang-undang. Tidak satu pun negara di dunia yang dengan sempurna membuat suatu UU dalam segala lapangan kehidupan.

Baca Juga: koran-sindo.com

Reaksi masyarakat seperti itu dan kekhawatiran tersebut merupakan hal yang lazim terjadi di negara, apakah negara otoritarian atau negara demokrasi. Sesungguhnya kekuatan kriminalisasi suatu perbuatan yang dipandang tercela adalah pada bagaimana dan dengan cara apa sanksi pemidanaan (punishment) atau non-pemidanaan (treatment) apakah yang ditetapkan dalam KUHP untuk membuat tobat (jera) pelaku tindak pidana; hal ini telah diatur dengan jelas di dalam Bab III Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.

Merujuk pada Tujuan Pemidanaan (Bab III, Pasal 51), KUHP telah menganut paradigma gabungan, keadilan retributif,rehabilitatif, dan restoratif. Melihat tujuan pemidanaan dalam KUHP Nasional jelas bahwa di dalam penerapan KUHP, negara dibatasi oleh ketiga paradigma tersebut termasuk paradigma perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Penegasan perlindungan HAM tersebut ditegaskan dalam norma KUHP yang menyatakan secara eksplisit bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia (Pasal 52) sehingga kepada hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana diwajibakan menegakkan hukum dan keadilan di mana jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka kepada hakim diwajibkan mengutamakan keadilan(Pasal 53).

Ketetentuan tersebut harus dimaknai bahwa tujuan kepastian hukum bukan yang terutama melainkan keadilan. Sejalan dengan era globalisasi ekonomi saat ini maka kedua tujuan hukum tersebut harus mempertimbangkan aspek tujuan kemanfaatan bagi kehidupan manusia dan pelaku tindak pidana. Pembentuk KUHP juga telah memberikan kewajiban kepada hakim untuk selalu menjaga dan memelihara keseimbangan antara tujuan pemidanaan dan jenis berat ringannya pidana dengan cara menetapkan terlebih dulu 11(sebelas) hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutus penjatuhan hukuman.

Kesebelas hal dimaksud antara lain adalah, sikap batin pelaku, motif, tindak pidana direncanakan atau tidak, riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pelaku, ada tidak pemaafan dari korban/dan atau keluarganya, dampak tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban serta nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1342 seconds (0.1#10.140)