IDI dan Keteladanan Sang Pemrakarsa

Senin, 24 Oktober 2022 - 08:45 WIB
Diskusi di Jl Kramat 128 berlangsung cukup alot namun tetap dalam suasana kejawatan. Hingga akhirnya sepakat untuk membentuk organisasi profesi dokter warga negara Indonesia yang baru. Dan atas usul dr. Seno Sastroamidjojo dibentuk pula pantia penyelenggara muktamar yang diketua dr. Bahder Djohan.

Dalam rapat, ada usulan agar kata “dokter” diganti dengan nama “thabib”, namun usulan itu tidak diterima. Dokter R. Soeharto sendiri tidak mengusulkan penggunaan kata persatuan agar tidak terkesan PDI yang melebur ke dalam Perthabin. Dan juga tidak memilih kata perkumpulan agar tidak terkesan Perthabin yang melebur ke dalam PDI. Beliau lebih memilih jalan tengah dengan menggunakan kata “Ikatan” sebagai nama Ikatan Dokter Indonesia yang diprakarsainya itu.

Dokter Bahder Djohan menuturkan, “Kalau bukan karena moral yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi dari pemuka kedua pihak (PDI dan Pethabin), maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa penyelesaian yang mulia”

Pada 22-25 September 1950, Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia terlaksana untuk pertama kalinya diDeca Parkyang kemudian menjadi Gedung Pertemuan Kotapraja Jakarta. Kini gedung yang menjadi saksi sejarah perhelatan tersebut telah tergusur. Organisasi profesi dokter warga negara Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia resmi terbentuk. Muktamar yang berlangsung selama empat hari itu dihadiri 181 dokter, sebagian besar berasal dari Jakarta.

Sebulan setelah muktamar pertama, tepatnya 24 Oktober 1950, dr. R. Soeharto yang menjadi panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI, atas nama diri sendiri dan atas nama Pengurus IDI lainnya, mengahadap Notaris R. Kardiman. Tujuannya untuk mencatatkan IDI ke Notaris guna memperoleh dasar hukum berdirinya, yang belakangan dikenal sebagai Hari Dokter Nasional.

Selanjutnya, disahkan pula IDI sebagai badan hukum dengan memuat Anggaran Dasar IDI pada Berita Negara R.I. No 9/1951, sebagai tambahan Berita Negara No 13 tanggal 13 Februari 1951. Sebulan sebelumnya, Menteri Kehakiman RI, juga telah mensahkan Anggaran Dasar IDI melalui Surat Ketetapan No J.A.8/9/20 tertanggal 18 Januari 1951.

Kembali suasana muktamar pertama. Atas usulan dr. R. Soeharto sehingga peserta memilih dr. Sarwono Prawirohardjo (Prof) menjadi ketua pertama (1950-1951). Mengapa dr. Sarwono Prawirohardjo yang dipilih? Alasannya, karena dr. Sarwono Prawirohardjo lulusanIndische artsdanArts, serta terbebas dari isu-isu kolaborasi dengan Jepang maupun Belanda.

Alasan lain, karena dr. Sarwono tidak ikut hijrah ke Yogyakarta sehingga banyak waktu berada di Jakarta. Berbeda dengan dr. R Soeharto yang ikut hijrah sebagai dokter pribadi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Dewan Pimpinan Pusat IDI (Pengurus Besar IDI) tidak pernah meninggalkan Jakarta, sekalipun ibukota negara berpindah ke Yogyakarta.

Pada peristiwa di atas, terdapat tiga hal menarik. Pertama, biasanya seorang pemrakarsa pendiri organisasi selalu ingin menjadi ketua. Kedua, dengan alasan hijrah ke Yogyakarta, dr. R. Soeharto merelakan kepemimpinan organisasi yang diprakarsainya kepada sejawatnya. Ketiga, andai dr. R. Soeharto berkeras tentu bukan suatu yang mustahil sekretariat Dewan Pimpinan Pusat IDI diboyong ke Yogyakarta, apalagi beliau adalah dokter pribadi Presiden dan Wakil Presiden.

Dokter R. Soeharto sebagai pemrakarsa pendiri IDI, baru menjabat sebagai Ketua Umum pada peride kedua, setelah dr. Sarwono. Bila menyesuaikan pelaksanaan muktamar, berarti beliau menjabat periode 1951-1952, 1952-1953, 1953-1954, dan 1958-1960. Sedang periode 1954-1956 dijabat Prof. Hendarmin dan tahun 1956-1958 oleh Prof. M. Djoewari.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More