IDI dan Keteladanan Sang Pemrakarsa

Senin, 24 Oktober 2022 - 08:45 WIB
loading...
IDI dan Keteladanan...
Zaenal Abidin. FOTO/DOK SINDO
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (Periode 2012-2015)

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) lahir dari “rahim” para dokter pejuang, 72 tahun yang lampau. Apakah sebelum IDI lahir belum ada organisasi dokter? Jawabnya sudah ada. Tahun 1948 telah berdiri Perkumpulan Dokter Indonesia (PDI) dengan tokohnya dr. Darma Setiawan Notohadmojo. Pada saat hampir bersamaan dibentuk pula Persatuan Thabib Indonesia (Perthabin) dengan tokohnya dr. Abdul Rasjid. Artinya pada masa itu sudah ada dua organisasi yang mengatas-namakan dokter Indonesia.

Bahkan sebelum kemerdekaan pun sudah ada organisasi dokter. Zaman Belanda misalnya, berdiriVereniging van Indiche Artsen(1911) sebagai perkumpulan dokter pertama di Indonesia, yang kemudian berganti nama menjadiVereniging van Indonesische Geneeskundige(1926). Pada masa pendudukan Jepang,Vereniging van Indonesische Geneeskundigedibubarkan lalu digantiJawa Izi Hooko Kai(1943).

Ketiga organisasi dokter tersebut tidak bepihak kepada kepentingan dokter Indonesia.Vereniging van Indiche ArtsendanVereniging van Indonesische Geneeskundigebubar sejak pendudukan Jepang. SementaraJawa Izi Hooko Kaihanya terbatas di Pulau Jawa dan tidak berfungsi layaknya organisasi profesi. Lebih banyak digunakan sebagai alat propaganda politik pemerintahan militer Jepang.

Fenomena di atas sangat tidak menguntungkan. Karena itu, dr. R Soeharto terdorong untuk memrakarsai berdirinya organisasi profesi baru. Dalam benaknya, negara ini sudah terlalu lama menderita dan apakah dokter di Indonesia akan terpecah belah pula hanya karena perbedaan latar belakang studi atau kepentingan tertentu? Bila organisasi profesi dokter masih terpecah belah tentu sangat menyulitkan, sebab tidak mungkin PDI dan Perthabin sekaligus menjadi wadah profesi dokter Indonesia.

Di dalam buku Biografi Dr. dr. R. Soeharto disebutkan bahwa dr. Rasjid dan dr. Darma Setiawan memiliki hubungan baik dengan dr. R. Soehato. Dokter Abdul Rasjid adalah seniornya, sedangkan dr. Darma Setiawan masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Hubungan baik inilah yang dimanfaatkan dr. R. Soeharto untuk mempertemukan keduanya dan memrakarsai berdirinya IDI.

Bermula dari Jalan Kramat 128
Sebagaimana tulisan penulis di Koran Sindo (9 Juni 2022), tanggal 30 Juli 1950 dr. R. Soeharto menginisiasi rapat di rumahnya, Jl Kramat 128 Jakarta (kini Apotek Titi Murni) untuk membicarakan pendirian organisasi profesi Dokter Warga Negara Indonesia yang baru. Beliau mengundang perwakilan PDI yang diwakili dr. R. Soeharto dr. Bahder Djohan, dr. Seno Sastroamidjojo dan lain-lain. Adapun Perthabin diwakili oleh dr. Abdul Rasjid.

Diskusi di Jl Kramat 128 berlangsung cukup alot namun tetap dalam suasana kejawatan. Hingga akhirnya sepakat untuk membentuk organisasi profesi dokter warga negara Indonesia yang baru. Dan atas usul dr. Seno Sastroamidjojo dibentuk pula pantia penyelenggara muktamar yang diketua dr. Bahder Djohan.

Dalam rapat, ada usulan agar kata “dokter” diganti dengan nama “thabib”, namun usulan itu tidak diterima. Dokter R. Soeharto sendiri tidak mengusulkan penggunaan kata persatuan agar tidak terkesan PDI yang melebur ke dalam Perthabin. Dan juga tidak memilih kata perkumpulan agar tidak terkesan Perthabin yang melebur ke dalam PDI. Beliau lebih memilih jalan tengah dengan menggunakan kata “Ikatan” sebagai nama Ikatan Dokter Indonesia yang diprakarsainya itu.

Dokter Bahder Djohan menuturkan, “Kalau bukan karena moral yang tinggi dan tanggung jawab yang penuh keinsyafan dan kesadaran yang tinggi dari pemuka kedua pihak (PDI dan Pethabin), maka kemungkinan akan terjadi suatu perpecahan. Tetapi moral yang tinggi dari kedua mereka yang bertanggung jawab telah membawa penyelesaian yang mulia”

Pada 22-25 September 1950, Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia terlaksana untuk pertama kalinya diDeca Parkyang kemudian menjadi Gedung Pertemuan Kotapraja Jakarta. Kini gedung yang menjadi saksi sejarah perhelatan tersebut telah tergusur. Organisasi profesi dokter warga negara Indonesia dengan nama Ikatan Dokter Indonesia resmi terbentuk. Muktamar yang berlangsung selama empat hari itu dihadiri 181 dokter, sebagian besar berasal dari Jakarta.

Sebulan setelah muktamar pertama, tepatnya 24 Oktober 1950, dr. R. Soeharto yang menjadi panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI, atas nama diri sendiri dan atas nama Pengurus IDI lainnya, mengahadap Notaris R. Kardiman. Tujuannya untuk mencatatkan IDI ke Notaris guna memperoleh dasar hukum berdirinya, yang belakangan dikenal sebagai Hari Dokter Nasional.

Selanjutnya, disahkan pula IDI sebagai badan hukum dengan memuat Anggaran Dasar IDI pada Berita Negara R.I. No 9/1951, sebagai tambahan Berita Negara No 13 tanggal 13 Februari 1951. Sebulan sebelumnya, Menteri Kehakiman RI, juga telah mensahkan Anggaran Dasar IDI melalui Surat Ketetapan No J.A.8/9/20 tertanggal 18 Januari 1951.

Kembali suasana muktamar pertama. Atas usulan dr. R. Soeharto sehingga peserta memilih dr. Sarwono Prawirohardjo (Prof) menjadi ketua pertama (1950-1951). Mengapa dr. Sarwono Prawirohardjo yang dipilih? Alasannya, karena dr. Sarwono Prawirohardjo lulusanIndische artsdanArts, serta terbebas dari isu-isu kolaborasi dengan Jepang maupun Belanda.

Alasan lain, karena dr. Sarwono tidak ikut hijrah ke Yogyakarta sehingga banyak waktu berada di Jakarta. Berbeda dengan dr. R Soeharto yang ikut hijrah sebagai dokter pribadi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Dewan Pimpinan Pusat IDI (Pengurus Besar IDI) tidak pernah meninggalkan Jakarta, sekalipun ibukota negara berpindah ke Yogyakarta.

Pada peristiwa di atas, terdapat tiga hal menarik. Pertama, biasanya seorang pemrakarsa pendiri organisasi selalu ingin menjadi ketua. Kedua, dengan alasan hijrah ke Yogyakarta, dr. R. Soeharto merelakan kepemimpinan organisasi yang diprakarsainya kepada sejawatnya. Ketiga, andai dr. R. Soeharto berkeras tentu bukan suatu yang mustahil sekretariat Dewan Pimpinan Pusat IDI diboyong ke Yogyakarta, apalagi beliau adalah dokter pribadi Presiden dan Wakil Presiden.

Dokter R. Soeharto sebagai pemrakarsa pendiri IDI, baru menjabat sebagai Ketua Umum pada peride kedua, setelah dr. Sarwono. Bila menyesuaikan pelaksanaan muktamar, berarti beliau menjabat periode 1951-1952, 1952-1953, 1953-1954, dan 1958-1960. Sedang periode 1954-1956 dijabat Prof. Hendarmin dan tahun 1956-1958 oleh Prof. M. Djoewari.

Dalam priode tersebut IDI secara resmi diterima menjadi anggota aktifWorld Medical Association(WMA) tahun 1953 dan ikut memrakarsai berdirinyaConfederation of Medical Associations in Asia and Oceania(CMAAO) tahun 1959.

Melampaui Zaman
Sikap dan keteladanan dr. R. Soeharto tidak lepas dari pengalaman pribadi beliau sebagai pelopor dan pejuang, penjiwaannya atas prinsip-prinsip profesi dokter, dan terlibat dalam organisasi pergerakan sejak masih belia. Ia aktif sebagai pengurus diJong JavadanJong Islamieten Bond.

Ketika menjadi mahasiswa Facultas Medica Bataviensis,Bataviase Geneekundige Hoogeschool(GHS) ia tinggal diIndonesise Club(IC) sekarang Gedung Sumpah Pemuda, Jl. Kramat Raya No.106 Jakarta. Karenanya ia terlibat dan saksi sejarah peristiwa Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda (1928).

Dokter R. Soeharto pun aktif dalam perjuangan pada masa pendudukan Jepang sampai proklamasi kemerdekaan RI. Sebagai dokter pribadi Soekarno dan Hatta beliau selalu menyertai kedua proklamator tersebut untuk memastikan kondisi kesehatannya sekaligus untuk mendapatkan tugas-tugas perjuangan yang diberikan kepadanya. Karena itu beliau menjadi saksi sejarah peristiwa pengibaran bendera Merah Putih di Jl. Peganggsaan Timur No. 56 Jakarta, 17 Agustus 1945.

Menjelang kemerdekaan dan setelahnya, dr. R. Soeharto memiliki sederet gagasan dan pengabdiannya, antara lain: Menjadi Ketua/Wakil Ketua Fonds Kemerdekaan Indonesia, memfasilitasi pertemuan antara Soekarno dan Tan Malaka, terlibat dalam pertemuan diplomasi politik, pendiri Bank Negara Indonesia, Kepala Administrasi Militer Pusat, salah satu pendiri Universitas Gadjah Mada, ikut dalam penyelamatan Bendera Pusaka Merah Putih.

Bukan hanya itu, melalui rapat di Sekretariat PB IDI pula (1957) ia memrakarsai pendirian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Dokter R. Soeharto juga ikut dalam pembangunan proyek-proyek vital, seperti Departemen Store Sarinah, Monumen Nasional, dan Masjid Istiqlal. Selain itu, dokter yang berpangkat Mayor Jenderal ini juga menjadi salah satu menteri di jajaran Kabinet Dwikora.

Tahun ini usia IDI memasuki 72 tahun. IDI memiliki 202.794 anggota, terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, dan subspesialis. Struktur organisasi IDI tersebar di seluruh Indonesia. Mulai Pengurus Besar IDI sampai ke Pengurus Wilayah (33 wilayah) dan 456 Pengurus Cabang. IDI juga memiliki 37 perhimpunan spesialis, 55 perhimpunan keseminatan, dan satu perhimpuan dokter umum yang juga memiliki cabang-cabang di daerah.

Memperhatikan struktur IDI yang amat komplek, multidisipin, penuh dinamika dan kepentingan tersebut, tentu merupakan tantangan tersendiri bagi kepemimpinannya. Karena itu, anggota IDI terutama yang saat ini menjadi pimpinan perlu mengambil pelajaran dari kepemimpinan pemrakarsa pendiri IDI, dr. R. Soeharto.

Setidaknya ada lima karakter kepemimpinan yang relevan diteladani dari dr. R. Soeharto, yakni: Pejuang dan diplomat, sangat mencintai persatuan, memiliki moral tinggi dan tanggung jawab penuh keinsyafan, mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan dirinya dan keluarganya dan gagasan serta pengabdian yang melampaui zamannya. Karena itu, tidak pula berlebihan bila Pemrakarsa Pendiri IDI ini disemati gelar pahlawan nasional oleh negara.Wallahu a'lam bishawab.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1993 seconds (0.1#10.140)