Bijak Menyikapi Konten Horor Resesi di Media Sosial
Kamis, 20 Oktober 2022 - 20:01 WIB
RESESI menjadi istilah yang semakin populer dibicarakan masyarakat. Terutama sejak lembaga di Amerika Serikat (AS) bernama Ned Davis Research, membuat model perhitungan kemungkinan terjadinya resesi global pada 2023. Hasil yang dipublikasikan memang mengagetkan, lembaga itu menyimpulkan peluang terjadinya resesi global pada 2023 mencapai 98,1%.
Keyakinan itu disebut-sebut didasari inflasi yang tinggi, kenaikan suku bunga yang tajam, hingga perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai. Bak gayung bersambut, banyak lembaga yang memprediksi hal serupa.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Alasan lainnya yang digunakan sebagai prediksi adalah saat bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Prediksi-prediksi itulah yang kemudian membuat banyak negara, khususnya negara berkembang mulai risau, resah dan gelisah. Keresahan pemerintah di banyak negara itu juga merembet ke masyarakat.
Terlebih, dikhawatirkan akan terjadi krisis keuangan di pasar negara berkembang yang pada akhirnya akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.
Sejatinya, kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral di banyak negara adalah hal yang alamiah dalam rangka stabilisasi sektor keuangan. Hal itu lantaran selama dua tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, bank sentral di banyak negara menurunkan suku bunga untuk menjaga daya beli dan menjaga konsumsi masyarakatnya sehinga ekonomi tetap bertumbuh.
Meskipun di beberapa negara, kebijakan menurunkan suku bunga tersebut tak mampu meredam dampak keganasan virus asal Wuhan China itu terhadap perekonomian negaranya.
Prediksi-prediksi maupun riset yang dilakukan oleh beberapa negara, kebanyakan menggunakan data-data kondisi perekonomian Amerika Serikat. Dimana, pada 2023 pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam itu diperkirakan berada di bawah 2%. Namun demikian, yang perlu menjadi catatan, sejak pemerintahan Joe Biden, posisi Amerika Serikat tak lagi sebagai kekuatan dominan di perekonomian global.
Keyakinan itu disebut-sebut didasari inflasi yang tinggi, kenaikan suku bunga yang tajam, hingga perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai. Bak gayung bersambut, banyak lembaga yang memprediksi hal serupa.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Alasan lainnya yang digunakan sebagai prediksi adalah saat bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Prediksi-prediksi itulah yang kemudian membuat banyak negara, khususnya negara berkembang mulai risau, resah dan gelisah. Keresahan pemerintah di banyak negara itu juga merembet ke masyarakat.
Terlebih, dikhawatirkan akan terjadi krisis keuangan di pasar negara berkembang yang pada akhirnya akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.
Sejatinya, kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral di banyak negara adalah hal yang alamiah dalam rangka stabilisasi sektor keuangan. Hal itu lantaran selama dua tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, bank sentral di banyak negara menurunkan suku bunga untuk menjaga daya beli dan menjaga konsumsi masyarakatnya sehinga ekonomi tetap bertumbuh.
Meskipun di beberapa negara, kebijakan menurunkan suku bunga tersebut tak mampu meredam dampak keganasan virus asal Wuhan China itu terhadap perekonomian negaranya.
Prediksi-prediksi maupun riset yang dilakukan oleh beberapa negara, kebanyakan menggunakan data-data kondisi perekonomian Amerika Serikat. Dimana, pada 2023 pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam itu diperkirakan berada di bawah 2%. Namun demikian, yang perlu menjadi catatan, sejak pemerintahan Joe Biden, posisi Amerika Serikat tak lagi sebagai kekuatan dominan di perekonomian global.
tulis komentar anda