Bijak Menyikapi Konten Horor Resesi di Media Sosial
loading...
A
A
A
RESESI menjadi istilah yang semakin populer dibicarakan masyarakat. Terutama sejak lembaga di Amerika Serikat (AS) bernama Ned Davis Research, membuat model perhitungan kemungkinan terjadinya resesi global pada 2023. Hasil yang dipublikasikan memang mengagetkan, lembaga itu menyimpulkan peluang terjadinya resesi global pada 2023 mencapai 98,1%.
Keyakinan itu disebut-sebut didasari inflasi yang tinggi, kenaikan suku bunga yang tajam, hingga perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai. Bak gayung bersambut, banyak lembaga yang memprediksi hal serupa.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Alasan lainnya yang digunakan sebagai prediksi adalah saat bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Prediksi-prediksi itulah yang kemudian membuat banyak negara, khususnya negara berkembang mulai risau, resah dan gelisah. Keresahan pemerintah di banyak negara itu juga merembet ke masyarakat.
Terlebih, dikhawatirkan akan terjadi krisis keuangan di pasar negara berkembang yang pada akhirnya akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.
Sejatinya, kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral di banyak negara adalah hal yang alamiah dalam rangka stabilisasi sektor keuangan. Hal itu lantaran selama dua tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, bank sentral di banyak negara menurunkan suku bunga untuk menjaga daya beli dan menjaga konsumsi masyarakatnya sehinga ekonomi tetap bertumbuh.
Meskipun di beberapa negara, kebijakan menurunkan suku bunga tersebut tak mampu meredam dampak keganasan virus asal Wuhan China itu terhadap perekonomian negaranya.
Prediksi-prediksi maupun riset yang dilakukan oleh beberapa negara, kebanyakan menggunakan data-data kondisi perekonomian Amerika Serikat. Dimana, pada 2023 pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam itu diperkirakan berada di bawah 2%. Namun demikian, yang perlu menjadi catatan, sejak pemerintahan Joe Biden, posisi Amerika Serikat tak lagi sebagai kekuatan dominan di perekonomian global.
Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya belanja dan konsumsi negara-negara Eropa dan China. Spanyol misalnya, masih akan meningkatkan belanjanya tahun depan, dengan porsi belanja militer naik 25% dibandingkan tahun ini. Jerman masih menyiapkan anggaran yang besar untuk tahun depan dalam rangka stabilisasi perekonomian domestiknya, yakni sebesar 445 miliar Euro. Sedangkan China tetap meningkatkan anggaran belanjanya untuk menjaga pertumbuhan ekonominya berada di kisaran 4-5%.
Meskipun kondisi ekonomi global tak seperti yang dinarasikan oleh berbagai lenbaga riset, namun isu resesi dunia berhasil menghadirkan fear mongering di banyak negara khususnya di negara berkembang. Di Dalam negeri misalnya, sejatinya daya beli masyarakat mulai pulih dan investasi mulai masuk dengan adanya sejumlah insentif yang masih diberikan oleh pemerintah.
Sayangnya, di era digital saat ini, literasi masyarakat terkait ekonomi makro masih rendah, sehingga mudah dipengaruhi oleh isu-isu ataupun konten yang dinarasikan pihak-pihak yang tak berkompeten.
Di media sosial, banyak yang menyebut dirinya influencer membuat konten mengenai resesi. Mereka semua menyampaikan pesan yang sama, masyarakat harus takut dan waspada. Sehingga bagi masyarakat yang ingin “selamat” dari resesi, perlu mengikuti saran yang mereka berikan.
Meski banyak yang terpengaruh dan menganggap teredukasi, namun bagi sebagian lainnya hal tersebut patut diwaspadai sebagai strategi untuk menjual jasa yang mereka tawarkan.
Masyarakat harus jeli, agar tak terperdaya oleh pihak-pihak yang sengaja menyebar ketakutan yang irasional atau tidak perlu. Manipulasi yang memanfaatkan kerentanan orang lain terhadap risiko atau ancaman semakin marak dalam kurun lima tahun terakhir. Rasa takut yang dimanipulasi tersebut digunakan oleh berbagai pihak untuk menggiring opini publik.
Dalam marketing, penggunaan strategi fear mongering disebut sebagai fear appeals yang merupakan pesan yang didesain untuk menakut-nakuti audiens sehingga mereka terbujuk untuk melakukan langkah-langkah yang dianjurkan-dalam hal ini membeli produk atau jasa yang ditawarkan. Manipulasi ketakutan ini marak ditemui dalam iklan-iklan jasa keuangan, dan terbukti berakhir dengan kerugian masyarakat.
Para pembuat konten yang menggunakan taktik fear mongering kerap berdalih tak ada maksud untuk membuat masyarakat panik dan hanya ingin membuat konten yang edukatif. Meskipun banyak ditemui ada tujuan yang hendak dicapai dalam konten tersebut.
Kewaspadaan dan kehati-hatian diperlukan dalam menyikapi resesi yang diperkirakan dan belum tentu terjadi di 2023. Namun masyarakat tak perlu memiliki rasa khawatir yang berlebihan. Indonesia pernah melalui konsidi yang sangat tak menguntungkan pada 1998 dan 2008, namun pemerintah di masa itu berhasil melakukan penanganan krisis dengan gemilang.
Keyakinan itu disebut-sebut didasari inflasi yang tinggi, kenaikan suku bunga yang tajam, hingga perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai. Bak gayung bersambut, banyak lembaga yang memprediksi hal serupa.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Alasan lainnya yang digunakan sebagai prediksi adalah saat bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
Prediksi-prediksi itulah yang kemudian membuat banyak negara, khususnya negara berkembang mulai risau, resah dan gelisah. Keresahan pemerintah di banyak negara itu juga merembet ke masyarakat.
Terlebih, dikhawatirkan akan terjadi krisis keuangan di pasar negara berkembang yang pada akhirnya akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.
Sejatinya, kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral di banyak negara adalah hal yang alamiah dalam rangka stabilisasi sektor keuangan. Hal itu lantaran selama dua tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, bank sentral di banyak negara menurunkan suku bunga untuk menjaga daya beli dan menjaga konsumsi masyarakatnya sehinga ekonomi tetap bertumbuh.
Meskipun di beberapa negara, kebijakan menurunkan suku bunga tersebut tak mampu meredam dampak keganasan virus asal Wuhan China itu terhadap perekonomian negaranya.
Prediksi-prediksi maupun riset yang dilakukan oleh beberapa negara, kebanyakan menggunakan data-data kondisi perekonomian Amerika Serikat. Dimana, pada 2023 pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam itu diperkirakan berada di bawah 2%. Namun demikian, yang perlu menjadi catatan, sejak pemerintahan Joe Biden, posisi Amerika Serikat tak lagi sebagai kekuatan dominan di perekonomian global.
Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya belanja dan konsumsi negara-negara Eropa dan China. Spanyol misalnya, masih akan meningkatkan belanjanya tahun depan, dengan porsi belanja militer naik 25% dibandingkan tahun ini. Jerman masih menyiapkan anggaran yang besar untuk tahun depan dalam rangka stabilisasi perekonomian domestiknya, yakni sebesar 445 miliar Euro. Sedangkan China tetap meningkatkan anggaran belanjanya untuk menjaga pertumbuhan ekonominya berada di kisaran 4-5%.
Meskipun kondisi ekonomi global tak seperti yang dinarasikan oleh berbagai lenbaga riset, namun isu resesi dunia berhasil menghadirkan fear mongering di banyak negara khususnya di negara berkembang. Di Dalam negeri misalnya, sejatinya daya beli masyarakat mulai pulih dan investasi mulai masuk dengan adanya sejumlah insentif yang masih diberikan oleh pemerintah.
Sayangnya, di era digital saat ini, literasi masyarakat terkait ekonomi makro masih rendah, sehingga mudah dipengaruhi oleh isu-isu ataupun konten yang dinarasikan pihak-pihak yang tak berkompeten.
Di media sosial, banyak yang menyebut dirinya influencer membuat konten mengenai resesi. Mereka semua menyampaikan pesan yang sama, masyarakat harus takut dan waspada. Sehingga bagi masyarakat yang ingin “selamat” dari resesi, perlu mengikuti saran yang mereka berikan.
Meski banyak yang terpengaruh dan menganggap teredukasi, namun bagi sebagian lainnya hal tersebut patut diwaspadai sebagai strategi untuk menjual jasa yang mereka tawarkan.
Masyarakat harus jeli, agar tak terperdaya oleh pihak-pihak yang sengaja menyebar ketakutan yang irasional atau tidak perlu. Manipulasi yang memanfaatkan kerentanan orang lain terhadap risiko atau ancaman semakin marak dalam kurun lima tahun terakhir. Rasa takut yang dimanipulasi tersebut digunakan oleh berbagai pihak untuk menggiring opini publik.
Dalam marketing, penggunaan strategi fear mongering disebut sebagai fear appeals yang merupakan pesan yang didesain untuk menakut-nakuti audiens sehingga mereka terbujuk untuk melakukan langkah-langkah yang dianjurkan-dalam hal ini membeli produk atau jasa yang ditawarkan. Manipulasi ketakutan ini marak ditemui dalam iklan-iklan jasa keuangan, dan terbukti berakhir dengan kerugian masyarakat.
Para pembuat konten yang menggunakan taktik fear mongering kerap berdalih tak ada maksud untuk membuat masyarakat panik dan hanya ingin membuat konten yang edukatif. Meskipun banyak ditemui ada tujuan yang hendak dicapai dalam konten tersebut.
Kewaspadaan dan kehati-hatian diperlukan dalam menyikapi resesi yang diperkirakan dan belum tentu terjadi di 2023. Namun masyarakat tak perlu memiliki rasa khawatir yang berlebihan. Indonesia pernah melalui konsidi yang sangat tak menguntungkan pada 1998 dan 2008, namun pemerintah di masa itu berhasil melakukan penanganan krisis dengan gemilang.
(bmm)