Menuju Masyarakat (Lebih) Siap Siaga Bencana
Kamis, 13 Oktober 2022 - 23:10 WIB
Meski luas daratan hanya 0,25% dari luas dunia, jumlah gempa bumi terjadi dengan magnitude 6.0 ke atas pada 2004-2013 mencapai 18,5% dari total dunia. Gempa dengan skala lebih kecil juga terus terjadi. Bencana salju dan berbagai skala topan datang mengancam setiap tahun. Itulah alasan dasar negara ini selalu berusaha bersiap.
Saya merasakan setidaknya tiga langkah kunci Jepang membangun kesiapan masyarakatnya menghadapi bencana. Langkah Pertama, kontinyu mempersiapkan infrastruktur maju dan terus mempromosikan beragam teknologi bencana.
Di infrastruktur, berbagai langkah-langkah struktural seperti perbaikan sungai, bendungan dan sewage system dilakukan dalam skala besar, termonitor dan kontinyu. Untuk banjir misalnya, kota Tokyo punya Flood Control Measure yang komprehensif. Salah satu aplikasinya dengan membangun Outer Underground Discharge Channel, semacam terowongan tangki air raksasa bawah tanah sebagai pertahanan utama kota melawan banjir.
Proyek mulai dibangun pada 1992 kontinyu hingga rampung pada 2006. Menurut Nikkei Asia, ketika mega topan Hagibis datang pada 2019 lalu, puluhan juta ton air sungai Nakagawa, Kuramatsu, dan Komatsu – tiga anak sungai dari Tonegawa dialihkan ke terowongan lalu dipompa ke Sungai Edogawa yang lebih akomodatif.
Berbagai teknologi inovasi baru untuk mitigasi bencana juga dipromosikan institusi riset dan berbagai perusahaan. Menurut Highlighting Japan 2018, National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience (NIED) pada 2017 memperkenalkan penggunaan Monitoring of Waves on Land and Seafloor (MOWLAS) yakni new observation network pengamatan gempa bumi, tsunami dan volcano yang bisa mengcover seluruh daratan dan laut Jepang.
Adanya risiko bencana terkait air yang terjadi setiap tahun, Badan Meteorologi Jepang JMA sejak 2017 juga mulai menyediakan “Real-time Risk Maps” yang menunjukkan tingkat risiko genangan, banjir dan tanah longsor untuk membantu mencegah bencana. Tingkat risiko didasarkan pada berbagai parameter dan diperbarui setiap 10 menit.
Langkah kedua, penerapan regulasi bencana yang maju dan kuat. Risiko besar ketika bencana adalah runtuhnya bangunan. Menurut pemerintah Jepang dalam laporan Disaster Management in Japan, pada 2008 diperkirakan masih ada sekitar 21% dari tempat tinggal yang tidak cukup tahan gempa.
Ini karena dibangun sebelum 1981 saat di mana peraturan bangunan tahan gempa ketat mulai diperkenalkan. Pada 2013, juga masih ada sekitar 30% sekolah dan 40% rumah sakit tidak memiliki konstruksi tahan gempa yang memadai.
Pada 2005 “Urgent Countermeasures Guidelines for Promoting the Earthquake Resistant Construction of Houses and Buildings” disusun untuk penegakan konstruksi rumah bangunan tahan gempa secara ketat. Lalu pada 2013, mewajibkan Seismic Qualification Test termasuk untuk rumah sakit, sekolah dan berbagai fasilitas umum. Langkah-langkah ini diyakini bisa meminimalkan kerusakan dan risiko korban jiwa.
Risiko besar bencana juga ketika terjadi kebakaran. Kota Tokyo misalnya berusaha menghindarkan kota dari kemungkinan kebakaran dengan mengembangkan pola firebreak belt dan mengatur regulasi pembangunan kembali rumah-rumah tua kayu menjadi bangunan tempat tinggal bersama yang modern terutama di distrik sempit padat penduduk.
Saya merasakan setidaknya tiga langkah kunci Jepang membangun kesiapan masyarakatnya menghadapi bencana. Langkah Pertama, kontinyu mempersiapkan infrastruktur maju dan terus mempromosikan beragam teknologi bencana.
Di infrastruktur, berbagai langkah-langkah struktural seperti perbaikan sungai, bendungan dan sewage system dilakukan dalam skala besar, termonitor dan kontinyu. Untuk banjir misalnya, kota Tokyo punya Flood Control Measure yang komprehensif. Salah satu aplikasinya dengan membangun Outer Underground Discharge Channel, semacam terowongan tangki air raksasa bawah tanah sebagai pertahanan utama kota melawan banjir.
Proyek mulai dibangun pada 1992 kontinyu hingga rampung pada 2006. Menurut Nikkei Asia, ketika mega topan Hagibis datang pada 2019 lalu, puluhan juta ton air sungai Nakagawa, Kuramatsu, dan Komatsu – tiga anak sungai dari Tonegawa dialihkan ke terowongan lalu dipompa ke Sungai Edogawa yang lebih akomodatif.
Berbagai teknologi inovasi baru untuk mitigasi bencana juga dipromosikan institusi riset dan berbagai perusahaan. Menurut Highlighting Japan 2018, National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience (NIED) pada 2017 memperkenalkan penggunaan Monitoring of Waves on Land and Seafloor (MOWLAS) yakni new observation network pengamatan gempa bumi, tsunami dan volcano yang bisa mengcover seluruh daratan dan laut Jepang.
Adanya risiko bencana terkait air yang terjadi setiap tahun, Badan Meteorologi Jepang JMA sejak 2017 juga mulai menyediakan “Real-time Risk Maps” yang menunjukkan tingkat risiko genangan, banjir dan tanah longsor untuk membantu mencegah bencana. Tingkat risiko didasarkan pada berbagai parameter dan diperbarui setiap 10 menit.
Langkah kedua, penerapan regulasi bencana yang maju dan kuat. Risiko besar ketika bencana adalah runtuhnya bangunan. Menurut pemerintah Jepang dalam laporan Disaster Management in Japan, pada 2008 diperkirakan masih ada sekitar 21% dari tempat tinggal yang tidak cukup tahan gempa.
Ini karena dibangun sebelum 1981 saat di mana peraturan bangunan tahan gempa ketat mulai diperkenalkan. Pada 2013, juga masih ada sekitar 30% sekolah dan 40% rumah sakit tidak memiliki konstruksi tahan gempa yang memadai.
Pada 2005 “Urgent Countermeasures Guidelines for Promoting the Earthquake Resistant Construction of Houses and Buildings” disusun untuk penegakan konstruksi rumah bangunan tahan gempa secara ketat. Lalu pada 2013, mewajibkan Seismic Qualification Test termasuk untuk rumah sakit, sekolah dan berbagai fasilitas umum. Langkah-langkah ini diyakini bisa meminimalkan kerusakan dan risiko korban jiwa.
Risiko besar bencana juga ketika terjadi kebakaran. Kota Tokyo misalnya berusaha menghindarkan kota dari kemungkinan kebakaran dengan mengembangkan pola firebreak belt dan mengatur regulasi pembangunan kembali rumah-rumah tua kayu menjadi bangunan tempat tinggal bersama yang modern terutama di distrik sempit padat penduduk.
tulis komentar anda