Menuju Masyarakat (Lebih) Siap Siaga Bencana
loading...
A
A
A
M Zulkifli Mochtar
Praktisi Urban dan Disaster, Bermukim di Tokyo
DUNIA terus menghadapi ancaman bencana alam. Butuh banyak momen untuk mengingatkan kita bahwa bencana alam bisa terjadi setiap saat. Salah satunya 13 Oktober yang diperingati dunia sebagai International Day for Disaster Risk Reduction (IDDRR).
Dicanangkan oleh United Nations General Assembly untuk mendorong setiap warga dunia selalu mengambil bagian dalam memajukan pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation)dan kesiapsiagaan (preparedness)guna membangun masyarakat yang lebih tangguh bencana.
Baca Juga: koran-sindo.com
Efek bencana alam terlihat bervariasi. Bisa membuat kehancuran dahsyat di satu wilayah, sementara di wilayah lain hanya menimbulkan kerusakan kecil tanpa korban jiwa. Reaksi masyarakatnya menanggapi bencana juga berbeda.
Ada yang panik, sebagian di wilayah lain terlihat tetap tenang mengambil langkah terukur dan kerusakan tidak besar. Sudah banyak studi mengungkap bahwa perbedaan terletak pada level kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness)di setiap negara. Lalu, bagaimana sebuah negara bisa menuju ke sana?
Tiga Langkah Kunci
Saya ambil kasus negara Jepang. Mayoritas ahli bencana dunia berpendapat, Jepang adalah salah satu negara dengan disaster preparedness maju. Negara ini memang punya sejarah dilanda berbagai bencana alam berbagai skala besar.
Meski luas daratan hanya 0,25% dari luas dunia, jumlah gempa bumi terjadi dengan magnitude 6.0 ke atas pada 2004-2013 mencapai 18,5% dari total dunia. Gempa dengan skala lebih kecil juga terus terjadi. Bencana salju dan berbagai skala topan datang mengancam setiap tahun. Itulah alasan dasar negara ini selalu berusaha bersiap.
Saya merasakan setidaknya tiga langkah kunci Jepang membangun kesiapan masyarakatnya menghadapi bencana. Langkah Pertama, kontinyu mempersiapkan infrastruktur maju dan terus mempromosikan beragam teknologi bencana.
Di infrastruktur, berbagai langkah-langkah struktural seperti perbaikan sungai, bendungan dan sewage system dilakukan dalam skala besar, termonitor dan kontinyu. Untuk banjir misalnya, kota Tokyo punya Flood Control Measure yang komprehensif. Salah satu aplikasinya dengan membangun Outer Underground Discharge Channel, semacam terowongan tangki air raksasa bawah tanah sebagai pertahanan utama kota melawan banjir.
Proyek mulai dibangun pada 1992 kontinyu hingga rampung pada 2006. Menurut Nikkei Asia, ketika mega topan Hagibis datang pada 2019 lalu, puluhan juta ton air sungai Nakagawa, Kuramatsu, dan Komatsu – tiga anak sungai dari Tonegawa dialihkan ke terowongan lalu dipompa ke Sungai Edogawa yang lebih akomodatif.
Berbagai teknologi inovasi baru untuk mitigasi bencana juga dipromosikan institusi riset dan berbagai perusahaan. Menurut Highlighting Japan 2018, National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience (NIED) pada 2017 memperkenalkan penggunaan Monitoring of Waves on Land and Seafloor (MOWLAS) yakni new observation network pengamatan gempa bumi, tsunami dan volcano yang bisa mengcover seluruh daratan dan laut Jepang.
Adanya risiko bencana terkait air yang terjadi setiap tahun, Badan Meteorologi Jepang JMA sejak 2017 juga mulai menyediakan “Real-time Risk Maps” yang menunjukkan tingkat risiko genangan, banjir dan tanah longsor untuk membantu mencegah bencana. Tingkat risiko didasarkan pada berbagai parameter dan diperbarui setiap 10 menit.
Langkah kedua, penerapan regulasi bencana yang maju dan kuat. Risiko besar ketika bencana adalah runtuhnya bangunan. Menurut pemerintah Jepang dalam laporan Disaster Management in Japan, pada 2008 diperkirakan masih ada sekitar 21% dari tempat tinggal yang tidak cukup tahan gempa.
Ini karena dibangun sebelum 1981 saat di mana peraturan bangunan tahan gempa ketat mulai diperkenalkan. Pada 2013, juga masih ada sekitar 30% sekolah dan 40% rumah sakit tidak memiliki konstruksi tahan gempa yang memadai.
Pada 2005 “Urgent Countermeasures Guidelines for Promoting the Earthquake Resistant Construction of Houses and Buildings” disusun untuk penegakan konstruksi rumah bangunan tahan gempa secara ketat. Lalu pada 2013, mewajibkan Seismic Qualification Test termasuk untuk rumah sakit, sekolah dan berbagai fasilitas umum. Langkah-langkah ini diyakini bisa meminimalkan kerusakan dan risiko korban jiwa.
Risiko besar bencana juga ketika terjadi kebakaran. Kota Tokyo misalnya berusaha menghindarkan kota dari kemungkinan kebakaran dengan mengembangkan pola firebreak belt dan mengatur regulasi pembangunan kembali rumah-rumah tua kayu menjadi bangunan tempat tinggal bersama yang modern terutama di distrik sempit padat penduduk.
Penguatan Preparedness: Pembelajaran untuk Kita
Langkah ketiga, mendorong penguatan kesiapsiagaan dan pendidikan kebencanaan ke masyarakat secara menyeluruh. Sebagai contoh, meeting point evakuasi jika terjadi bencana dipersiapkan dan disosialisasikan secara baik menyeluruh di setiap lingkungan. Survei yang dilakukan oleh Weathernews terhadap 9.495 responden tahun ini menunjukkan 93% responden tahu lokasi titik evakuasi terdekat dari rumah mereka. Dan 72% mengetahui lokasi evakuasi di dekat kantor atau sekolah mereka.
Warga juga didorong punya persiapan dan bekal untuk bertahan hidup di rumah atau evakuasi jika bencana benar-benar terjadi. Survei Weathernews juga menunjukkan hampir 80% dari responden yang disurvei telah menyiapkan persediaan darurat saat bencana dengan rata-rata bekal untuk 3,09 hari. Teknologi makanan cocok bencana juga makin banyak.
Saya pernah membeli jenis butiran beras pregelatinized kemasan yakni beras yang sudah dimasak dan dikeringkan dengan berbagai teknologi polish, sort, dry, soak hingga menjadi butiran yang tidak perlu dimasak lagi. Juga tidak perlu dicuci atau direndam. Cukup dituangi air panas dan dibiarkan selama 15 menit, sudah bisa jadi nasi siap saji. Rasanya sama dengan nasi biasa. Sangat cocok digunakan di tempat pengungsian.
Pendidikan bencana dan latihan evakuasi di sekolah dan perusahaan selalu dilakukan secara kontinyu dan reguler. Edukasi diperkuat agar masyarakat punya pemahaman benar dan bisa bertindak sendiri secara tepat untuk mengurangi resiko bencana. Hasilnya terlihat jelas; ketika Great East Japan Earthquake terjadi pada 2011, para siswa sebuah sekolah dasar bisa dievakuasi aman berkat edukasi bencana dan latihan cara evakuasi mereka.
Peranan media juga terasa. Biasanya seminggu sebelum hujan lebat, badai atau angin topan, media sudah ramai memberitakan. Gambaran skala dan potensi efek viral menyebar luas. Masyarakat seakan disuruh bersiap. Sekolah, perusahan, jaringan transportasi, restoran, toko serba-ada akan mempersiapkan diri: tidak sedikit yang menginstruksikan karyawan pulang cepat.
Siaga satu terasa, seakan berlindung di benteng pertahanan menghadapi gempuran. Beberapa jam setelah bencana berlalu, jaringan transportasi biasanya segera beroperasi lagi karena sudah menyiapkan tindakan pemulihan sebelumnya. Ini mungkin sedikit beda dengan kondisi kita yang kadang baru ribut perlunya persiapan dan mendadak foto banjir ramai viral justru ketika sudah terjadi.
Melalui momentum hari IDDRR, mari lebih bersiap. Persiapan baik pun terkadang hasilnya tidak sesuai harapan. Tapi sesuatu yang tanpa persiapan, yakinlah kehancuran dan kerugian akan jauh lebih besar lagi.
Praktisi Urban dan Disaster, Bermukim di Tokyo
DUNIA terus menghadapi ancaman bencana alam. Butuh banyak momen untuk mengingatkan kita bahwa bencana alam bisa terjadi setiap saat. Salah satunya 13 Oktober yang diperingati dunia sebagai International Day for Disaster Risk Reduction (IDDRR).
Dicanangkan oleh United Nations General Assembly untuk mendorong setiap warga dunia selalu mengambil bagian dalam memajukan pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation)dan kesiapsiagaan (preparedness)guna membangun masyarakat yang lebih tangguh bencana.
Baca Juga: koran-sindo.com
Efek bencana alam terlihat bervariasi. Bisa membuat kehancuran dahsyat di satu wilayah, sementara di wilayah lain hanya menimbulkan kerusakan kecil tanpa korban jiwa. Reaksi masyarakatnya menanggapi bencana juga berbeda.
Ada yang panik, sebagian di wilayah lain terlihat tetap tenang mengambil langkah terukur dan kerusakan tidak besar. Sudah banyak studi mengungkap bahwa perbedaan terletak pada level kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness)di setiap negara. Lalu, bagaimana sebuah negara bisa menuju ke sana?
Tiga Langkah Kunci
Saya ambil kasus negara Jepang. Mayoritas ahli bencana dunia berpendapat, Jepang adalah salah satu negara dengan disaster preparedness maju. Negara ini memang punya sejarah dilanda berbagai bencana alam berbagai skala besar.
Meski luas daratan hanya 0,25% dari luas dunia, jumlah gempa bumi terjadi dengan magnitude 6.0 ke atas pada 2004-2013 mencapai 18,5% dari total dunia. Gempa dengan skala lebih kecil juga terus terjadi. Bencana salju dan berbagai skala topan datang mengancam setiap tahun. Itulah alasan dasar negara ini selalu berusaha bersiap.
Saya merasakan setidaknya tiga langkah kunci Jepang membangun kesiapan masyarakatnya menghadapi bencana. Langkah Pertama, kontinyu mempersiapkan infrastruktur maju dan terus mempromosikan beragam teknologi bencana.
Di infrastruktur, berbagai langkah-langkah struktural seperti perbaikan sungai, bendungan dan sewage system dilakukan dalam skala besar, termonitor dan kontinyu. Untuk banjir misalnya, kota Tokyo punya Flood Control Measure yang komprehensif. Salah satu aplikasinya dengan membangun Outer Underground Discharge Channel, semacam terowongan tangki air raksasa bawah tanah sebagai pertahanan utama kota melawan banjir.
Proyek mulai dibangun pada 1992 kontinyu hingga rampung pada 2006. Menurut Nikkei Asia, ketika mega topan Hagibis datang pada 2019 lalu, puluhan juta ton air sungai Nakagawa, Kuramatsu, dan Komatsu – tiga anak sungai dari Tonegawa dialihkan ke terowongan lalu dipompa ke Sungai Edogawa yang lebih akomodatif.
Berbagai teknologi inovasi baru untuk mitigasi bencana juga dipromosikan institusi riset dan berbagai perusahaan. Menurut Highlighting Japan 2018, National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience (NIED) pada 2017 memperkenalkan penggunaan Monitoring of Waves on Land and Seafloor (MOWLAS) yakni new observation network pengamatan gempa bumi, tsunami dan volcano yang bisa mengcover seluruh daratan dan laut Jepang.
Adanya risiko bencana terkait air yang terjadi setiap tahun, Badan Meteorologi Jepang JMA sejak 2017 juga mulai menyediakan “Real-time Risk Maps” yang menunjukkan tingkat risiko genangan, banjir dan tanah longsor untuk membantu mencegah bencana. Tingkat risiko didasarkan pada berbagai parameter dan diperbarui setiap 10 menit.
Langkah kedua, penerapan regulasi bencana yang maju dan kuat. Risiko besar ketika bencana adalah runtuhnya bangunan. Menurut pemerintah Jepang dalam laporan Disaster Management in Japan, pada 2008 diperkirakan masih ada sekitar 21% dari tempat tinggal yang tidak cukup tahan gempa.
Ini karena dibangun sebelum 1981 saat di mana peraturan bangunan tahan gempa ketat mulai diperkenalkan. Pada 2013, juga masih ada sekitar 30% sekolah dan 40% rumah sakit tidak memiliki konstruksi tahan gempa yang memadai.
Pada 2005 “Urgent Countermeasures Guidelines for Promoting the Earthquake Resistant Construction of Houses and Buildings” disusun untuk penegakan konstruksi rumah bangunan tahan gempa secara ketat. Lalu pada 2013, mewajibkan Seismic Qualification Test termasuk untuk rumah sakit, sekolah dan berbagai fasilitas umum. Langkah-langkah ini diyakini bisa meminimalkan kerusakan dan risiko korban jiwa.
Risiko besar bencana juga ketika terjadi kebakaran. Kota Tokyo misalnya berusaha menghindarkan kota dari kemungkinan kebakaran dengan mengembangkan pola firebreak belt dan mengatur regulasi pembangunan kembali rumah-rumah tua kayu menjadi bangunan tempat tinggal bersama yang modern terutama di distrik sempit padat penduduk.
Penguatan Preparedness: Pembelajaran untuk Kita
Langkah ketiga, mendorong penguatan kesiapsiagaan dan pendidikan kebencanaan ke masyarakat secara menyeluruh. Sebagai contoh, meeting point evakuasi jika terjadi bencana dipersiapkan dan disosialisasikan secara baik menyeluruh di setiap lingkungan. Survei yang dilakukan oleh Weathernews terhadap 9.495 responden tahun ini menunjukkan 93% responden tahu lokasi titik evakuasi terdekat dari rumah mereka. Dan 72% mengetahui lokasi evakuasi di dekat kantor atau sekolah mereka.
Warga juga didorong punya persiapan dan bekal untuk bertahan hidup di rumah atau evakuasi jika bencana benar-benar terjadi. Survei Weathernews juga menunjukkan hampir 80% dari responden yang disurvei telah menyiapkan persediaan darurat saat bencana dengan rata-rata bekal untuk 3,09 hari. Teknologi makanan cocok bencana juga makin banyak.
Saya pernah membeli jenis butiran beras pregelatinized kemasan yakni beras yang sudah dimasak dan dikeringkan dengan berbagai teknologi polish, sort, dry, soak hingga menjadi butiran yang tidak perlu dimasak lagi. Juga tidak perlu dicuci atau direndam. Cukup dituangi air panas dan dibiarkan selama 15 menit, sudah bisa jadi nasi siap saji. Rasanya sama dengan nasi biasa. Sangat cocok digunakan di tempat pengungsian.
Pendidikan bencana dan latihan evakuasi di sekolah dan perusahaan selalu dilakukan secara kontinyu dan reguler. Edukasi diperkuat agar masyarakat punya pemahaman benar dan bisa bertindak sendiri secara tepat untuk mengurangi resiko bencana. Hasilnya terlihat jelas; ketika Great East Japan Earthquake terjadi pada 2011, para siswa sebuah sekolah dasar bisa dievakuasi aman berkat edukasi bencana dan latihan cara evakuasi mereka.
Peranan media juga terasa. Biasanya seminggu sebelum hujan lebat, badai atau angin topan, media sudah ramai memberitakan. Gambaran skala dan potensi efek viral menyebar luas. Masyarakat seakan disuruh bersiap. Sekolah, perusahan, jaringan transportasi, restoran, toko serba-ada akan mempersiapkan diri: tidak sedikit yang menginstruksikan karyawan pulang cepat.
Siaga satu terasa, seakan berlindung di benteng pertahanan menghadapi gempuran. Beberapa jam setelah bencana berlalu, jaringan transportasi biasanya segera beroperasi lagi karena sudah menyiapkan tindakan pemulihan sebelumnya. Ini mungkin sedikit beda dengan kondisi kita yang kadang baru ribut perlunya persiapan dan mendadak foto banjir ramai viral justru ketika sudah terjadi.
Melalui momentum hari IDDRR, mari lebih bersiap. Persiapan baik pun terkadang hasilnya tidak sesuai harapan. Tapi sesuatu yang tanpa persiapan, yakinlah kehancuran dan kerugian akan jauh lebih besar lagi.
(bmm)