Momentum Menata Sepakbola Tanah Air
Senin, 10 Oktober 2022 - 09:26 WIB
Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap tragedi Kanjuruhan yang mengakibatkan 130 lebih suppoter Arema FC meninggal dunia?
Proses penyelidikan dan penyidikan tengah berlangsung. Harapannya tentu mereka yang secara langsung atau tidak langsung memiliki andil terjadinya perisitwa tersebut harus diungkap dan dan dijatuhi sanksi setimpal.
Secara kasat mata, harus diakui penggunaan gas air mata merupakan kecerobohan yang berakibat fatal. Itu menjadi pangkal terjadinya bencana. Pendekatan ini bukannya mampu meredam dinamika massa di lapangan, tapi justru membuat suasana makin runyam.
Apalagi gas air mata ditembakkan ke arah tribun, tempat supporter -di mana di sana terdapat banyak penonton termasuk kalangan ibu-ibu, dan anak-anak- yang tengah duduk manis.
Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya. Dampak gas air mata yang membuat mata perih dan sesak nafas memaksa para penonton berhamburan mencari jalan keluar, hingga terjadilah penumpukkan di gate 13. Lokasi ini lah yang kemudian menjadi titik paling kritis sehingga ratusan orang meninggal.
FIFA sebenarnya sudah secara tegas melarang penggunaan gas air mata selain senjata api untuk pengamanan pertandingan sepak bola.
Pertanyaannya, mengapa polisi tetap menggunakan gas air mata? Apakah karena tidak tahu, luput koordinasi, miss komunikasi, atau faktor lainnya.
Sangat disayangkan Polri tidak belajar dari bencana yang terjadi di Lima, Peru kala pertandingan timnas negara tersebut versus Argentina di Estadio Nacional pada 1964 yang menewaskan 328 orang dan melukai lebih dari 500 orang lain setelah polisi menembakkan gas air mata.
Pelajaran sama juga terjadi di Ohene Djan Sports Stadium, Ghana pada 2001 yang menewaskan 126 orang. Pangkalnya juga sama, penggunaan gas air mata.
Proses penyelidikan dan penyidikan tengah berlangsung. Harapannya tentu mereka yang secara langsung atau tidak langsung memiliki andil terjadinya perisitwa tersebut harus diungkap dan dan dijatuhi sanksi setimpal.
Secara kasat mata, harus diakui penggunaan gas air mata merupakan kecerobohan yang berakibat fatal. Itu menjadi pangkal terjadinya bencana. Pendekatan ini bukannya mampu meredam dinamika massa di lapangan, tapi justru membuat suasana makin runyam.
Apalagi gas air mata ditembakkan ke arah tribun, tempat supporter -di mana di sana terdapat banyak penonton termasuk kalangan ibu-ibu, dan anak-anak- yang tengah duduk manis.
Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya. Dampak gas air mata yang membuat mata perih dan sesak nafas memaksa para penonton berhamburan mencari jalan keluar, hingga terjadilah penumpukkan di gate 13. Lokasi ini lah yang kemudian menjadi titik paling kritis sehingga ratusan orang meninggal.
FIFA sebenarnya sudah secara tegas melarang penggunaan gas air mata selain senjata api untuk pengamanan pertandingan sepak bola.
Pertanyaannya, mengapa polisi tetap menggunakan gas air mata? Apakah karena tidak tahu, luput koordinasi, miss komunikasi, atau faktor lainnya.
Sangat disayangkan Polri tidak belajar dari bencana yang terjadi di Lima, Peru kala pertandingan timnas negara tersebut versus Argentina di Estadio Nacional pada 1964 yang menewaskan 328 orang dan melukai lebih dari 500 orang lain setelah polisi menembakkan gas air mata.
Pelajaran sama juga terjadi di Ohene Djan Sports Stadium, Ghana pada 2001 yang menewaskan 126 orang. Pangkalnya juga sama, penggunaan gas air mata.
Lihat Juga :
tulis komentar anda