Mahkamah Konstitusi dalam Pusaran Politik
Kamis, 29 September 2022 - 17:07 WIB
Berkaitan dengan usia calon hakim MK, ketentuan ini sudah beberapa kali mengalami perubahan. Pertama kali berlaku aturan minimal berusia 40 tahun, lalu berubah menjadi 47 tahun, dan terakhir pada tahun 2020 kembali diubah menjadi minimal berusia 55 tahun. DPR menginginkan agar ketentuan yang saat ini berlaku diturunkan menjadi minimal umur 50 tahun.
Memang menurut beberapa putusan MK, berkaitan dengan syarat umur, itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah, sehingga hal ini tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma. Artinya DPR dan Presiden diberi kebebasan untuk menentukannya.
Namun penting bagi DPR dan pemerintah untuk memiliki kajian dan parameter yang objektif mengenai hal ini, sebab pembentukan hukum bisa secara sengaja (by design) tidak diarahkan guna mewujudkan keadilan, tetapi dipolitisasi untuk memberikan keuntungan kepada satu pihak dan merugikan pihak lain. Ibarat pagar, pagar itu dibuat tinggi agar satu pihak terlindungi dan pihak lain tidak bisa melewatinya.
Berdasarkan asumsi ini, kekerapan adanya perubahan atas syarat umur dapat dibaca untuk menjegal calon tertentu dan pada sisi lain ingin memuluskan jalan bagi sebagian calon lain, terutama mereka yang memiliki persamaan kepentingan politik. Bila dugaan ini benar, MK berpotensi hanya akan diisi para bandit yang siap untuk mengompromikan dan memperjualbelikan putusannya.
Kecurigaan di atas akan semakin mendekati kebenaran bila dihubungkan dengan usulan materi perubahan kedua, yaitu keinginan untuk memasukkan kewenangan para pengusul calon hakim MK (DPR, Presiden, dan MA) untuk sewaktu-waktu mengevaluasi kinerja hakim MK. Atas dasar hasil evaluasi ini, nantinya ketiga lembaga tersebut akan diberi keleluasaan untuk sewaktu-waktu memberhentikan hakim-hakim MK yang dinilai berkinerja buruk.
Sekilas usulan ini sangat mulia, yaitu dalam rangka membangun checks and balances antarlembaga negara serta memastikan performa para hakim MK selalu dalam kondisi terbaik. Tapi perlu kehati-hatian untuk menerima ide ini, sebab DPR sebagai lembaga politik, seluruh keputusannya pasti akan selalu berdimensi politik yang kerap kali tidak berdasar pada ukuran objektif dan kemanfaatan. Pertimbangan politik sering kali bukan dilandaskan pada soal “benar-salah”, tapi “menang-kalah” dengan menghalalkan segala cara.
Implikasinya, kemandirian dan independensi MK sebagai suatu hal yang sangat prinsip dalam negara hukum pasti akan terancam. Padahal independensi merupakan pilar dan roh peradilan. Tanpa independensi, tidak akan pernah ada keadilan yang dapat diwujudkan.
Perbaikan Mekanisme Seleksi
Sejarah perjalanan MK memang tidak seluruhnya baik, tetapi penuh dengan dinamika dan liku-liku yang sebagiannya adalah cerita tentang skandal dan penyelewengan. Hal ini terbukti dari beberapa hakim MK yang menjadi terpidana karena kasus korupsi dan sebagian yang lain diberi hukuman etik. Karenanya MK butuh untuk diawasi dan kinerja hakimnya dievaluasi.
Untuk kepentingan tersebut, saat ini sebenarnya sudah terdapat lembaga yang memiliki tugas mengawasi, mengevaluasi, dan bahkan dapat memberikan sanksi bagi hakim MK yang berperangai buruk dan tidak terpuji. Lembaga itu adalah Dewan Etik.
Memang menurut beberapa putusan MK, berkaitan dengan syarat umur, itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah, sehingga hal ini tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma. Artinya DPR dan Presiden diberi kebebasan untuk menentukannya.
Namun penting bagi DPR dan pemerintah untuk memiliki kajian dan parameter yang objektif mengenai hal ini, sebab pembentukan hukum bisa secara sengaja (by design) tidak diarahkan guna mewujudkan keadilan, tetapi dipolitisasi untuk memberikan keuntungan kepada satu pihak dan merugikan pihak lain. Ibarat pagar, pagar itu dibuat tinggi agar satu pihak terlindungi dan pihak lain tidak bisa melewatinya.
Berdasarkan asumsi ini, kekerapan adanya perubahan atas syarat umur dapat dibaca untuk menjegal calon tertentu dan pada sisi lain ingin memuluskan jalan bagi sebagian calon lain, terutama mereka yang memiliki persamaan kepentingan politik. Bila dugaan ini benar, MK berpotensi hanya akan diisi para bandit yang siap untuk mengompromikan dan memperjualbelikan putusannya.
Kecurigaan di atas akan semakin mendekati kebenaran bila dihubungkan dengan usulan materi perubahan kedua, yaitu keinginan untuk memasukkan kewenangan para pengusul calon hakim MK (DPR, Presiden, dan MA) untuk sewaktu-waktu mengevaluasi kinerja hakim MK. Atas dasar hasil evaluasi ini, nantinya ketiga lembaga tersebut akan diberi keleluasaan untuk sewaktu-waktu memberhentikan hakim-hakim MK yang dinilai berkinerja buruk.
Sekilas usulan ini sangat mulia, yaitu dalam rangka membangun checks and balances antarlembaga negara serta memastikan performa para hakim MK selalu dalam kondisi terbaik. Tapi perlu kehati-hatian untuk menerima ide ini, sebab DPR sebagai lembaga politik, seluruh keputusannya pasti akan selalu berdimensi politik yang kerap kali tidak berdasar pada ukuran objektif dan kemanfaatan. Pertimbangan politik sering kali bukan dilandaskan pada soal “benar-salah”, tapi “menang-kalah” dengan menghalalkan segala cara.
Implikasinya, kemandirian dan independensi MK sebagai suatu hal yang sangat prinsip dalam negara hukum pasti akan terancam. Padahal independensi merupakan pilar dan roh peradilan. Tanpa independensi, tidak akan pernah ada keadilan yang dapat diwujudkan.
Perbaikan Mekanisme Seleksi
Sejarah perjalanan MK memang tidak seluruhnya baik, tetapi penuh dengan dinamika dan liku-liku yang sebagiannya adalah cerita tentang skandal dan penyelewengan. Hal ini terbukti dari beberapa hakim MK yang menjadi terpidana karena kasus korupsi dan sebagian yang lain diberi hukuman etik. Karenanya MK butuh untuk diawasi dan kinerja hakimnya dievaluasi.
Untuk kepentingan tersebut, saat ini sebenarnya sudah terdapat lembaga yang memiliki tugas mengawasi, mengevaluasi, dan bahkan dapat memberikan sanksi bagi hakim MK yang berperangai buruk dan tidak terpuji. Lembaga itu adalah Dewan Etik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda