Mahkamah Konstitusi dalam Pusaran Politik

Kamis, 29 September 2022 - 17:07 WIB
loading...
Mahkamah Konstitusi...
Jamaludin Ghafur (Foto: Ist)
A A A
Jamaludin Ghafur
Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UII

BERBEDA dengan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya yang lebih banyak menangani permasalahan hukum biasa, peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam konteks ketatanegaraan Indonesia semuanya beririsan dengan persoalan politik.

Hal ini dapat dilihat dari empat kewenangan dan satu kewajiban yang melekat pada MK, yaitu: (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945, (b) memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, (c) memutus pembubaran partai politik, (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan (e) MK berkewajiban memberi putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Baca Juga: koran-sindo.com

Mengingat fungsinya yang sangat penting dan sangat rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, tidak berlebihan bila satu-satunya jabatan yang oleh konstitusi diharuskan untuk diisi oleh para negarawan adalah hanya hakim MK. Pada jabatan lainnya, konstitusi tidak memberi mandat serupa. Hal ini dimaksudkan agar hakim MK dengan segala potensi godaan politik yang ada dapat tetap tak tergoyahkan dan teguh mempertahankan integritasnya dalam mengawal konstitusi.

Namun, sayangnya, upaya untuk mengintervensi MK secara politik terus berlangsung sampai saat ini. Yang terbaru adalah soal wacana DPR untuk kembali melakukan perubahan atas UU MK yang sebenarnya UU ini baru saja, yaitu tahun 2020, diubah.

Secara garis besar, ada dua materi perubahan yang sedang diwacanakan, yaitu soal batas minimal usia hakim MK dan perlunya lembaga pengusul calon hakim MK, yaitu DPR, pemerintah, dan MA, untuk sewaktu-waktu dapat mengevaluasi kinerja hakim MK, bahkan memberhentikannya bila hal tersebut diperlukan.

Catatan Kritis
Berkaitan dengan usia calon hakim MK, ketentuan ini sudah beberapa kali mengalami perubahan. Pertama kali berlaku aturan minimal berusia 40 tahun, lalu berubah menjadi 47 tahun, dan terakhir pada tahun 2020 kembali diubah menjadi minimal berusia 55 tahun. DPR menginginkan agar ketentuan yang saat ini berlaku diturunkan menjadi minimal umur 50 tahun.

Memang menurut beberapa putusan MK, berkaitan dengan syarat umur, itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah, sehingga hal ini tidak terkait dengan permasalahan konstitusionalitas norma. Artinya DPR dan Presiden diberi kebebasan untuk menentukannya.

Namun penting bagi DPR dan pemerintah untuk memiliki kajian dan parameter yang objektif mengenai hal ini, sebab pembentukan hukum bisa secara sengaja (by design) tidak diarahkan guna mewujudkan keadilan, tetapi dipolitisasi untuk memberikan keuntungan kepada satu pihak dan merugikan pihak lain. Ibarat pagar, pagar itu dibuat tinggi agar satu pihak terlindungi dan pihak lain tidak bisa melewatinya.

Berdasarkan asumsi ini, kekerapan adanya perubahan atas syarat umur dapat dibaca untuk menjegal calon tertentu dan pada sisi lain ingin memuluskan jalan bagi sebagian calon lain, terutama mereka yang memiliki persamaan kepentingan politik. Bila dugaan ini benar, MK berpotensi hanya akan diisi para bandit yang siap untuk mengompromikan dan memperjualbelikan putusannya.

Kecurigaan di atas akan semakin mendekati kebenaran bila dihubungkan dengan usulan materi perubahan kedua, yaitu keinginan untuk memasukkan kewenangan para pengusul calon hakim MK (DPR, Presiden, dan MA) untuk sewaktu-waktu mengevaluasi kinerja hakim MK. Atas dasar hasil evaluasi ini, nantinya ketiga lembaga tersebut akan diberi keleluasaan untuk sewaktu-waktu memberhentikan hakim-hakim MK yang dinilai berkinerja buruk.

Sekilas usulan ini sangat mulia, yaitu dalam rangka membangun checks and balances antarlembaga negara serta memastikan performa para hakim MK selalu dalam kondisi terbaik. Tapi perlu kehati-hatian untuk menerima ide ini, sebab DPR sebagai lembaga politik, seluruh keputusannya pasti akan selalu berdimensi politik yang kerap kali tidak berdasar pada ukuran objektif dan kemanfaatan. Pertimbangan politik sering kali bukan dilandaskan pada soal “benar-salah”, tapi “menang-kalah” dengan menghalalkan segala cara.

Implikasinya, kemandirian dan independensi MK sebagai suatu hal yang sangat prinsip dalam negara hukum pasti akan terancam. Padahal independensi merupakan pilar dan roh peradilan. Tanpa independensi, tidak akan pernah ada keadilan yang dapat diwujudkan.

Perbaikan Mekanisme Seleksi
Sejarah perjalanan MK memang tidak seluruhnya baik, tetapi penuh dengan dinamika dan liku-liku yang sebagiannya adalah cerita tentang skandal dan penyelewengan. Hal ini terbukti dari beberapa hakim MK yang menjadi terpidana karena kasus korupsi dan sebagian yang lain diberi hukuman etik. Karenanya MK butuh untuk diawasi dan kinerja hakimnya dievaluasi.

Untuk kepentingan tersebut, saat ini sebenarnya sudah terdapat lembaga yang memiliki tugas mengawasi, mengevaluasi, dan bahkan dapat memberikan sanksi bagi hakim MK yang berperangai buruk dan tidak terpuji. Lembaga itu adalah Dewan Etik.

Bila kehadiran Dewan Etik tersebut dirasa belum sepenuhnya menggaransi baiknya kinerja hakim MK, barangkali yang perlu dievaluasi adalah prosedur/mekanisme rekrutmen calon hakim MK. Sebab rekrutmen adalah pintu masuk pertama yang akan sangat menentukan kualitas seorang pejabat publik. Proses rekrutmen yang buruk sudah pasti tidak pernah melahirkan pejabat negara yang berintegritas, apalagi memiliki kualifikasi sebagai negarawan.

Selama ini, disadari atau tidak, proses rekrutmen hakim MK belum sepenuhnya merepresentasikan prosedur yang baik. Selain karena penentuan keterpilihan para calon lebih kental aroma politisnya daripada ukuran objektivitasnya, di sebagian lembaga seperti di MA, mekanismenya tidak berlangsung secara transparan dan terbuka, sebab calonnya selalu berasal dari lingkup internal MA dan publik tidak dapat mengikuti proses seleksinya.

Ke depan, dalam rangka menghasilkan hakim MK yang berintegritas, profesional, dan negarawan, ada baiknya prosedur yang ada saat ini diubah di mana DPR, Presiden, dan MA tidak lagi melaksanakan seleksi calon hakim MK secara sendiri-sendiri, tetapi secara kolektif dan bersama-sama. Prosedur demikian dapat mencegah timbulnya transaksi politik haram, sebab ketiga lembaga tersebut dapat saling mengawasi dan mengontrol.

Keuntungan lain dari mekanisme ini adalah hakim MK terpilih akan memiliki basis legitimasi yang sangat kuat karena ia lolos seleksi dengan didukung oleh tiga poros kekuasaan sekaligus, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bila usulan ini diakomodasi, ada optimisme yang kuat di masa yang akan datang bahwa MK hanya akan diisi oleh para negarawan sebagaimana amanat konstitusi.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1916 seconds (0.1#10.140)