Bangunan yang Melanggar Sempadan Pantai Bisa Dibongkar
Selasa, 20 September 2022 - 22:00 WIB
Berdasarkan Perda RTRW itu bisa dilihat ada tidaknya pelanggaran. Bila ada pelanggaran, Kementerian ATR bertindak mengawasi dan berkoordinasi dengan pemda dalam melakukan penertiban. Dalam hal penertiban, Kementerian ATR menggunakan dua pendekatan. Pertama, secara persuasif meminta agar pemilik bangunan yang telah berdiri untuk melakukan penyesuaian dengan ketentuan batas sempadan. ”Ini kami lakukan untuk bangunan yang sudah ada sebelum Perpres 51/2016 terbit,” ujar Shafik.
Bangunan gerbang yang diduga membatasi akses warga. Foto/ist
Bagaimana dengan yang bangunan setelah aturan terbit? ”Ini yang menarik. Untuk bangunan yang dibuat setelah Perpres 51/2016, diatur sanksinya dalam UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sanksi tersebut berupa sanksi administratif,” tutur dia.
Shafik menjelaskan, sanksi administratif yang dimaksud meliputi peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, pencabutan izin, sampai dengan pembongkaran. “Kalau ada pelanggaran, ya dibongkar. Pembongakaran itu salah satu dari beberapa jenis sanksi administratif yang terberat,” kata Shafik.
Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan, Perpres 51/2016 tentang Batas Sempadan Pantai bahwa penetapan batas sempadan pantai 100 meter bertujuan untuk melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kehidupan masyarakat dari ancaman bencana alam; alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai; dan alokasi ruang untuk saluran air dan limbah.
Sayang sekali, dalam praktiknya aturan tersebut lebih banyak dibunyikan untuk menakut-nakuti masyarakat tetapi tidak untuk investasi, khususnya sektor pariwisata. Parid menyayangkan pembangunan gedung hotel, resort, restoran, industri di sekitar pantai justru membatasi ruang gerak masyarakat setempat, terutama nelayan yang sudah lama tinggal dan hidup di wilayah tersebut.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi memaparkan temuan terhadap lebih dari 90 persen investasi pariwisata di kawasan pesisir NTT yang melabrak aturan sempadan pantai. Beberapa lokasi tersebut antara lain di Labuan Bajo, Sumba, Kota Kupang.
“Privatisasi sempadan pantai adalah praktik pembangkangan terhadap peraturan. Privatisasi juga menunjukkan potret lemahnya pemerintah di depan para pemodal. Privatisasi juga adalah bentuk pengabaian pemerintah soal keadilan ruang penghidupan rakyat dan keadilan antar generasi,” tegas Umbu Wulang saat dihubungi secara terpisah, Kamis (28/7/2022).
Bangunan gerbang yang diduga membatasi akses warga. Foto/ist
Bagaimana dengan yang bangunan setelah aturan terbit? ”Ini yang menarik. Untuk bangunan yang dibuat setelah Perpres 51/2016, diatur sanksinya dalam UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sanksi tersebut berupa sanksi administratif,” tutur dia.
Shafik menjelaskan, sanksi administratif yang dimaksud meliputi peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, pencabutan izin, sampai dengan pembongkaran. “Kalau ada pelanggaran, ya dibongkar. Pembongakaran itu salah satu dari beberapa jenis sanksi administratif yang terberat,” kata Shafik.
Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan, Perpres 51/2016 tentang Batas Sempadan Pantai bahwa penetapan batas sempadan pantai 100 meter bertujuan untuk melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kehidupan masyarakat dari ancaman bencana alam; alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai; dan alokasi ruang untuk saluran air dan limbah.
Sayang sekali, dalam praktiknya aturan tersebut lebih banyak dibunyikan untuk menakut-nakuti masyarakat tetapi tidak untuk investasi, khususnya sektor pariwisata. Parid menyayangkan pembangunan gedung hotel, resort, restoran, industri di sekitar pantai justru membatasi ruang gerak masyarakat setempat, terutama nelayan yang sudah lama tinggal dan hidup di wilayah tersebut.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi memaparkan temuan terhadap lebih dari 90 persen investasi pariwisata di kawasan pesisir NTT yang melabrak aturan sempadan pantai. Beberapa lokasi tersebut antara lain di Labuan Bajo, Sumba, Kota Kupang.
“Privatisasi sempadan pantai adalah praktik pembangkangan terhadap peraturan. Privatisasi juga menunjukkan potret lemahnya pemerintah di depan para pemodal. Privatisasi juga adalah bentuk pengabaian pemerintah soal keadilan ruang penghidupan rakyat dan keadilan antar generasi,” tegas Umbu Wulang saat dihubungi secara terpisah, Kamis (28/7/2022).
tulis komentar anda