Pemeriksaan Dana Covid-19
Kamis, 02 Juli 2020 - 07:00 WIB
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) berencana melakukan pemeriksaan kinerja lima program penanggulangan Covid-19. Pemeriksaan akan dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Cakupan pemeriksaan meliputi APBN dan APBD yang dipergunakan untuk bansos, pengadaan APD dan alat tes, Kartu Prakerja, BLT-Dana Desa, dan BPJS. Pemeriksaan akan dilakukan secara serentak pada Juli 2020 dalam rentang waktu sekitar 90 hari. Pemeriksaan melibatkan seluruh Auditorat Keuangan Negara (AKN) di lingkungan BPK. Adapun sasaran pemeriksaan meliputi 8 kementerian/lembaga (K/L) serta pemda tingkat daerah (provinsi, kabupaten, kota).
Ada beberapa keuniversalan dan keunikan sekaligus yang layak dimonitor agar masyarakat tahu tentang proses maupun hasil pemeriksaan. Keseluruhannya demi kredibilitas BPK, legalitas, dan legitimitas pemeriksaan itu sendiri serta pertanggungjawaban kepada bangsa dan negara. Pertama, pemeriksaan wajib dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip universal (lex generali) dalam pemeriksaan wajib ditaati. Semua pihak, baik pemeriksa maupun terperiksa, perlu memiliki persepsi sama tentang berbagai lex generali itu. Sebagai tugas rutin, kiranya seluruh AKN maupun K/L dan seluruh p emda sudah paham perihal prinsip-prinsip keuniversalan pemeriksaan.
Kedua, ada hukum khusus (lex specialis) dalam penanganan pandemi korona (Covid-19), yakni Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana telah disahkan menjadi UU Nomor 2/2020 pada Selasa, 12 Mei 2020. Dalam UU ini dijumpai berbagai keunikan, antara lain: (1) fleksibilitas tambahan belanja dan pembiayaan APBN untuk menangani masalah kesehatan yang ditimbulkan virus korona, menjaga konsumsi masyarakat miskin, dan memberi dukungan dunia usaha terutama UMKM; (2) batasan defisit APBN bisa disesuaikan di atas 3% dari PDB; (3) pemberian insentif dan fasilitas perpajakan untuk dunia usaha seperti penurunan tarif PPh badan serta pengenaan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE); (4) pemerintah bisa menggunakan sumber pendanaan alternatif untuk membiayai penanganan pandemi; dan (5) wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diperluas untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Pasal 27 ayat 1: "Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara, termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara." Ayat 2: "Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan." Ayat 3: "Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara."
Ketiga, lex specialis tersebut kini masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), dalam perkara No 42/PUU-XVIII/2020. Seperti apakah putusan MK? Kita tunggu hingga akhir persidangan. Dalam masa mengambang (belum ada putusan MK), lex specialis tersebut masih "labil", belum kokoh untuk digunakan sebagai dasar hukum pemeriksaan. Sudah tentu kelabilan demikian menjadikan tugas pemeriksaan dana Covid-19 bisa terganggu kelancarannya.
Keempat, jumlah anggaran yang perlu diperiksa tergolong besar. Dari APBN sebesar Rp405,1 triliun. Diperkirakan anggaran dari APBD masing-masing tak kalah besar. Keseluruhannya perlu diperiksa saksama. Kabar mutakhir, sebagaimana terungkap pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, 18 Juni 2020 (diunggah dalam akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu, 26 Juni 2020), bahwa dari anggaran Rp75 triliun untuk Kementerian Kesehatan, ternyata baru digunakan 1,53%. Dikatakan oleh Presiden, sejauh ini mulai dari kebijakan bansos, pemberian insentif hingga kinerja kementerian tak ada perkembangan signifikan. Mestinya anggaran kesehatan segera dikeluarkan dengan penggunaan yang tepat sasaran seperti membayar tunjangan dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis lainnya. Sedemikian kecewa Presiden hingga keluar ancaman pembubaran lembaga ataupun reshuffle kabinet.
Atas beberapa catatan di atas, ingin disampaikan pandangan bahwa pemeriksaan dana Covid-19 mestinya tidak terjebak dogmatisme atau cara bertindak sederhana. Jangan sampai terbawa kebiasaan, seolah urusan selesai ketika bunyi teks perundang-undangan (black-letter law) sudah dijalankan sesuai dengan prosedur.
Pada pandemi korona, bangsa dan negara dihadapkan pada extra - ordinary situation. Karenanya pemeriksaan dana Covid-19 mestinya dilakukan dalam kualitas dan intensitas lebih daripada biasanya (keadaan normal). Pengerahan seluruh potensi kejiwaan, sebagaimana orang Jawa menyebut "mesu budi", perlu dijadikan pendorong dan pemacu aktivitas pemeriksaan. Pada tataran lebih tinggi, pemeriksa mestinya mampu menjadi vigilante (pejuang) dalam pengamanan dana Covid-19. Pemeriksaan dana Covid-19 dengan model pejuang senantiasa berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara demi tegaknya hukum, tercapainya keadilan sosial, dan bukan sekadar pemeriksaan administratif belaka. Komitmen demikian dipandang amat penting karena di dalam UU Nomor 2/2020, masih terdapat pasal kontroversial, yakni: pemberian imunitas (kekebalan) hukum luar biasa (absolut) kepada aparat pemerintah dalam penggunaan dana Covid-19.
Alangkah elegan bila pemeriksaan dana Covid-19 menjadikan penegakan hukum berkarakter progresif dan pendobrak (expansiekracht) sehingga mampu menyajikan proses maupun hasil yang memiliki legalitas dan legitimitas sekaligus. Dari perspektif yuridis-filosofis, persoalan penganggaran, penggunaan, dan pemeriksaan dana Covid-19 hanya dapat dikelola tuntas bila lex aeterna, yakni hukum tertinggi, abadi, universal ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa dijadikan panduan dan ditempatkan di atas hukum-hukum lainnya. Atas bimbingan dan keridaan-Nya, dana Covid-19 sampai pada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat. Wallahu a' lam.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) berencana melakukan pemeriksaan kinerja lima program penanggulangan Covid-19. Pemeriksaan akan dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Cakupan pemeriksaan meliputi APBN dan APBD yang dipergunakan untuk bansos, pengadaan APD dan alat tes, Kartu Prakerja, BLT-Dana Desa, dan BPJS. Pemeriksaan akan dilakukan secara serentak pada Juli 2020 dalam rentang waktu sekitar 90 hari. Pemeriksaan melibatkan seluruh Auditorat Keuangan Negara (AKN) di lingkungan BPK. Adapun sasaran pemeriksaan meliputi 8 kementerian/lembaga (K/L) serta pemda tingkat daerah (provinsi, kabupaten, kota).
Ada beberapa keuniversalan dan keunikan sekaligus yang layak dimonitor agar masyarakat tahu tentang proses maupun hasil pemeriksaan. Keseluruhannya demi kredibilitas BPK, legalitas, dan legitimitas pemeriksaan itu sendiri serta pertanggungjawaban kepada bangsa dan negara. Pertama, pemeriksaan wajib dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip universal (lex generali) dalam pemeriksaan wajib ditaati. Semua pihak, baik pemeriksa maupun terperiksa, perlu memiliki persepsi sama tentang berbagai lex generali itu. Sebagai tugas rutin, kiranya seluruh AKN maupun K/L dan seluruh p emda sudah paham perihal prinsip-prinsip keuniversalan pemeriksaan.
Kedua, ada hukum khusus (lex specialis) dalam penanganan pandemi korona (Covid-19), yakni Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana telah disahkan menjadi UU Nomor 2/2020 pada Selasa, 12 Mei 2020. Dalam UU ini dijumpai berbagai keunikan, antara lain: (1) fleksibilitas tambahan belanja dan pembiayaan APBN untuk menangani masalah kesehatan yang ditimbulkan virus korona, menjaga konsumsi masyarakat miskin, dan memberi dukungan dunia usaha terutama UMKM; (2) batasan defisit APBN bisa disesuaikan di atas 3% dari PDB; (3) pemberian insentif dan fasilitas perpajakan untuk dunia usaha seperti penurunan tarif PPh badan serta pengenaan pajak atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE); (4) pemerintah bisa menggunakan sumber pendanaan alternatif untuk membiayai penanganan pandemi; dan (5) wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diperluas untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Pasal 27 ayat 1: "Biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara, termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara." Ayat 2: "Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan." Ayat 3: "Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara."
Ketiga, lex specialis tersebut kini masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), dalam perkara No 42/PUU-XVIII/2020. Seperti apakah putusan MK? Kita tunggu hingga akhir persidangan. Dalam masa mengambang (belum ada putusan MK), lex specialis tersebut masih "labil", belum kokoh untuk digunakan sebagai dasar hukum pemeriksaan. Sudah tentu kelabilan demikian menjadikan tugas pemeriksaan dana Covid-19 bisa terganggu kelancarannya.
Keempat, jumlah anggaran yang perlu diperiksa tergolong besar. Dari APBN sebesar Rp405,1 triliun. Diperkirakan anggaran dari APBD masing-masing tak kalah besar. Keseluruhannya perlu diperiksa saksama. Kabar mutakhir, sebagaimana terungkap pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, 18 Juni 2020 (diunggah dalam akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu, 26 Juni 2020), bahwa dari anggaran Rp75 triliun untuk Kementerian Kesehatan, ternyata baru digunakan 1,53%. Dikatakan oleh Presiden, sejauh ini mulai dari kebijakan bansos, pemberian insentif hingga kinerja kementerian tak ada perkembangan signifikan. Mestinya anggaran kesehatan segera dikeluarkan dengan penggunaan yang tepat sasaran seperti membayar tunjangan dokter, dokter spesialis, dan tenaga medis lainnya. Sedemikian kecewa Presiden hingga keluar ancaman pembubaran lembaga ataupun reshuffle kabinet.
Atas beberapa catatan di atas, ingin disampaikan pandangan bahwa pemeriksaan dana Covid-19 mestinya tidak terjebak dogmatisme atau cara bertindak sederhana. Jangan sampai terbawa kebiasaan, seolah urusan selesai ketika bunyi teks perundang-undangan (black-letter law) sudah dijalankan sesuai dengan prosedur.
Pada pandemi korona, bangsa dan negara dihadapkan pada extra - ordinary situation. Karenanya pemeriksaan dana Covid-19 mestinya dilakukan dalam kualitas dan intensitas lebih daripada biasanya (keadaan normal). Pengerahan seluruh potensi kejiwaan, sebagaimana orang Jawa menyebut "mesu budi", perlu dijadikan pendorong dan pemacu aktivitas pemeriksaan. Pada tataran lebih tinggi, pemeriksa mestinya mampu menjadi vigilante (pejuang) dalam pengamanan dana Covid-19. Pemeriksaan dana Covid-19 dengan model pejuang senantiasa berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara demi tegaknya hukum, tercapainya keadilan sosial, dan bukan sekadar pemeriksaan administratif belaka. Komitmen demikian dipandang amat penting karena di dalam UU Nomor 2/2020, masih terdapat pasal kontroversial, yakni: pemberian imunitas (kekebalan) hukum luar biasa (absolut) kepada aparat pemerintah dalam penggunaan dana Covid-19.
Alangkah elegan bila pemeriksaan dana Covid-19 menjadikan penegakan hukum berkarakter progresif dan pendobrak (expansiekracht) sehingga mampu menyajikan proses maupun hasil yang memiliki legalitas dan legitimitas sekaligus. Dari perspektif yuridis-filosofis, persoalan penganggaran, penggunaan, dan pemeriksaan dana Covid-19 hanya dapat dikelola tuntas bila lex aeterna, yakni hukum tertinggi, abadi, universal ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa dijadikan panduan dan ditempatkan di atas hukum-hukum lainnya. Atas bimbingan dan keridaan-Nya, dana Covid-19 sampai pada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat. Wallahu a' lam.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
(ras)
tulis komentar anda