Tunda Pembahasan RKUHP, Prioritaskan Reformasi Polri
Selasa, 23 Agustus 2022 - 14:09 WIB
Mari kita bayangkan seandainya RKUHP disahkan sebelum kasus Ferdy Sambo terjadi, mungkinkah publik masih memiliki kekuatan untuk mendesak kepolisian menuntaskan kasus tersebut? Kritik dan kecaman publik terhadap institusi kepolisian justru dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga negara, bilamana RKUHP telah disahkan.
Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Dalam konteks ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan atau kewenangan polisi yang cenderung luas adalah awal dari semua penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan oleh oknum kepolisian selama ini. Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini, maka pengesahan RKUHP dengan pasal-pasal yang masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri.
Bersikukuh melanjutkan pembahasan RKUHP tanpa terlebih dahulu membenahi implementator yang akan menjalankan kebijakan adalah kemunduran cara berpikir yang akan membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespons agar kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo segera diusut tuntas.
Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan bersama oleh pemerintah eksekutif dan legislatif bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekadar upaya untuk menyelamatkan diri dari hantaman publik yang semakin ragu pada proses penegakan hukum di Indonesia.
Wacana reformasi kepolisian harus segera dilaksanakan dan RKUHP perlu dibahas kembali, demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan publik kepada penyelenggara negara.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Psikolog Forensik Tantang Kapolri Luruskan Penyelidikan Kasus Vina Cirebon seperti Perkara Ferdy Sambo
Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Dalam konteks ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan atau kewenangan polisi yang cenderung luas adalah awal dari semua penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan oleh oknum kepolisian selama ini. Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini, maka pengesahan RKUHP dengan pasal-pasal yang masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri.
Bersikukuh melanjutkan pembahasan RKUHP tanpa terlebih dahulu membenahi implementator yang akan menjalankan kebijakan adalah kemunduran cara berpikir yang akan membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespons agar kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo segera diusut tuntas.
Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan bersama oleh pemerintah eksekutif dan legislatif bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekadar upaya untuk menyelamatkan diri dari hantaman publik yang semakin ragu pada proses penegakan hukum di Indonesia.
Wacana reformasi kepolisian harus segera dilaksanakan dan RKUHP perlu dibahas kembali, demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan publik kepada penyelenggara negara.
Baca Juga: koran-sindo.com
Lihat Juga: Psikolog Forensik Tantang Kapolri Luruskan Penyelidikan Kasus Vina Cirebon seperti Perkara Ferdy Sambo
(bmm)
tulis komentar anda