Tunda Pembahasan RKUHP, Prioritaskan Reformasi Polri
Selasa, 23 Agustus 2022 - 14:09 WIB
Berdasarkan definisi budaya oleh Taylor maupun Herskovit, maka respons dan sikap polisi yang serupa serta terjadi secara berulang-ulang sudah memenuhi syarat untuk kemudian disebut sebagai cara hidup bersama atau budaya institusi, bukan lagi perilaku perorangan atau oknum.
Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat Reformasi 1998 terhadap institusi kepolisian. Berbagai kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan di tubuh Polri sesuai amanat Reformasi 1998.
Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknum yang terlibat, namun juga harus disikapi dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedi ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan.
Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang.
Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.
Mengacu pada draft RKUHP yang beredar pada 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Seluruh belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan.
Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan “sesuka hati” oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik.
Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektivitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power.
Tujuan dari penyusunan RKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias.
Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat Reformasi 1998 terhadap institusi kepolisian. Berbagai kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan di tubuh Polri sesuai amanat Reformasi 1998.
Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknum yang terlibat, namun juga harus disikapi dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedi ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan.
Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang.
Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.
Mengacu pada draft RKUHP yang beredar pada 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Seluruh belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan.
Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan “sesuka hati” oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik.
Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektivitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power.
Tujuan dari penyusunan RKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias.
tulis komentar anda