Pemberantasan Korupsi dan Perampasan Aset
Rabu, 13 Juli 2022 - 11:00 WIB
Pertanyaan aspek hukum yang sering menjadi pertanyaan masyarakat khususnya para ahli hukum, apakah pencucian uang merupakan perbuatan berlanjut (voorgezette handling) dihubungkan dengan tindak pidana korupsi (tipikor)? Berdasarkan urutan peristiwa, tipikor merupakan predicate offence/kejahatan asal dari pencucian uang sehingga jelas hubungan keduanya merupakan perbuatan berlanjut.
Bagaimana dengan pertanyaan, apakah pencucian uang merupakan perbuatan yang berdiri sendiri? Merujuk ketentuan Pasal 65 KUHP dan mengingat kualitas pencucian uang yang memerlukan kejahatan asal (predicate offence), maka tidak mungkin kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan (delik) yang berdiri sendiri; kecuali digunakan beban pembuktian terbalik terhadap pemilik harta kekayaan. Dalam hal ini, contoh A yang memiliki harta kekayaan menurut data PPh melebihi secara signifikan, dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah, maka pemilik yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya adalah sah. Jika A tidak dapat membuktikan keabsahan harta kekayaannya, maka patut diduga itu berasal dari kejahatan, dan karenanya dapat dilakukan perampasan aset.
Pola penindakan tersebut dapat dilaksanakan jika menggunakan (RUU) Perampasan Aset dengan model civil based forfeiture. Pola criminal-based asset forfeiture yang digunakan selama ini dalam praktik tidak akan berhasil dengan tuntas mengembalikan harta kekayaan negara yang dimiliki pelaku kejahatan (predicate offence). Sampai saat ini (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana belum diundangkan. Padahal, seharusnya segera disahkan untuk melengkapi kelemahan-kelemahan, baik pada UU Tipikor maupun UU Pencucian Uang.
Melihat perkembangan tindakan terorisme saat ini di Indonesia, maka semakin penting UU Perampasan Aset Tindak Pidana. Hal ini mengingat banyak organisasi kemanusiaan yang diduga berhubungan dengan kegiatan teroris seperti Haszi dan terakhir ACT yang diduga telah melakukan “bantuan kemanusiaan” kepada organisasi teroris di Suriah. Sepanjang terkait pendanaan untuk kegiatan terorisme lintas batas teritorial, maka tingkat kesulitan semakin besar jika tidak dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang melarang pendanaan terorisme dan bantuan hukum timbal balik masalah pidana dan ekstradisi.
Pelacakan sumber dan asal usul pendanaan sampai dengan alur pendanaan diterima oleh organisasi terkait terorisme di negara lain merupakan tugas lanjutan pemberantasan tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme. Ini memerlukan kerja ekstra dari pemerintah khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Mabes Polri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Bagaimana dengan pertanyaan, apakah pencucian uang merupakan perbuatan yang berdiri sendiri? Merujuk ketentuan Pasal 65 KUHP dan mengingat kualitas pencucian uang yang memerlukan kejahatan asal (predicate offence), maka tidak mungkin kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan (delik) yang berdiri sendiri; kecuali digunakan beban pembuktian terbalik terhadap pemilik harta kekayaan. Dalam hal ini, contoh A yang memiliki harta kekayaan menurut data PPh melebihi secara signifikan, dari harta kekayaan yang diperoleh secara sah, maka pemilik yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya adalah sah. Jika A tidak dapat membuktikan keabsahan harta kekayaannya, maka patut diduga itu berasal dari kejahatan, dan karenanya dapat dilakukan perampasan aset.
Pola penindakan tersebut dapat dilaksanakan jika menggunakan (RUU) Perampasan Aset dengan model civil based forfeiture. Pola criminal-based asset forfeiture yang digunakan selama ini dalam praktik tidak akan berhasil dengan tuntas mengembalikan harta kekayaan negara yang dimiliki pelaku kejahatan (predicate offence). Sampai saat ini (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana belum diundangkan. Padahal, seharusnya segera disahkan untuk melengkapi kelemahan-kelemahan, baik pada UU Tipikor maupun UU Pencucian Uang.
Melihat perkembangan tindakan terorisme saat ini di Indonesia, maka semakin penting UU Perampasan Aset Tindak Pidana. Hal ini mengingat banyak organisasi kemanusiaan yang diduga berhubungan dengan kegiatan teroris seperti Haszi dan terakhir ACT yang diduga telah melakukan “bantuan kemanusiaan” kepada organisasi teroris di Suriah. Sepanjang terkait pendanaan untuk kegiatan terorisme lintas batas teritorial, maka tingkat kesulitan semakin besar jika tidak dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang melarang pendanaan terorisme dan bantuan hukum timbal balik masalah pidana dan ekstradisi.
Pelacakan sumber dan asal usul pendanaan sampai dengan alur pendanaan diterima oleh organisasi terkait terorisme di negara lain merupakan tugas lanjutan pemberantasan tindak pidana terorisme dan pendanaan terorisme. Ini memerlukan kerja ekstra dari pemerintah khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Mabes Polri.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda