Bagaimana Menerapkan Hukum Acara Peradilan Tipikor?

Rabu, 29 Juni 2022 - 13:00 WIB
Merujuk pada dua pasal di dalam dua UU aquo, jelas dan nyata bahwa kedua pasal tersebut membatasi penerapan hukum acara peradilan tipikor yang selama ini dalam praktik telah dilanggar dan telah banyak terpidana yang kini mendekam di Lapas karena kekeliruan penerapan hukum semata-mata.

Dalam sudut pandang historis dan sosiologi, hukum merupakan cermin dari pandangan masyarakatnya yang selalu berubah-ubah dari masa ke masa.Perubahan tersebut sangat tergantung dari penilaian masyarakat mengenai adil dan tidak adil,perbuatan tercela dan tidak tercela. Pandangan masyarakat Indonesia terhadap korupsi telah ditetapkan dalam Ketetapan MPRS Nomor X Tahun 1988 yang diwujudkan di dalam UU Nomor 3 tahun 1971, UU Nomor 31 tahun 1999 dan terakhir UU Nomor 20 tahun 2001.

Perubahan demi perubahan UU Tipikor mencerminkan kehendak bangsa Indonesia yang secara serius menuntut pemberantasan korupsi yang tuntas sehingga diharapkan kemiskinan rakyat dapat ditiadakan dan kesejahteraan meningkat. Di sisi lain pelaku tipikor dapat dicegah dan dipidana sehingga menjadi jera/tobat/kapok dan kerugian negara akibat korupsi dapat dicegah atau dapat dikembalikan.

Namun demikian semangat bangsa yang antikorupsi, kolusi, nepotisme (KKN) terutama terhadap pelaku korporasi harus dilandasi dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mempertimbangkan dampak (outcome) yang terjadi dari pemberantasan tipikor. Perubahan pandangan terhadap antikorupsi harus dievaluasi mengingat pembentukan hukum maupun penegakan hukum era globalisasi abad 21 serta dampaknya tidak terlepas dari kondisi negara dan bangsa termasuk Indonesia dari ketergantungan perkembangan ekonomi global saat ini.

Kehidupan bangsa dan negara era globalisasi juga tergantung dari arah perkembangan ekonomi dunia di mana kedudukan korporasi adalah counter-partner negara dalam mencapai cita-cita kesejahteraan rakyat.

Politik hukum negara yang bersifat unilateral dalam hubungan antarbangsa sebaiknya dievaluasi dengan mempertimbangkan mudharat dan maslahatnya bagi bangsa dan negara. Tidak semua perkara korupsi oleh korporasi berdampak negatif pada kesejahteraan rakyat karena juga terdapat sisi positif. Di sisi lain, filosofi hukum pidana yang bertujuan penjeraan di era abad 21 telah lama ditinggalkan bahkan di beberapa negara telah berhasil digunakan pendekatan baru dengan tujuan memulihkan keadaan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh le talionis, dikenal dengan restorative justice.

Ideologi baru abad 21 tersebut telah terbukti memberikan kontribusi positif baiik terhadap pelaku maupun korban seperti contoh penyelesaian pidana kasus suap oleh pabrikan Boeing, terhadap Dirut PT Garuda yang berakhir pembayaran denda penalti sebesar 3,6 miliar euro atau sekitar Rp62,18 triliun (kurs Rp 17.273) kepada AS, Inggris dan Perancis. Ketiga negara asal pabrikan Airbus-Boeing telah menerapkan politik hukum pidana terbaru yang disebut, Deferred Prosecution Agreement (DPA) -mirip keadilan restorative justice (RJ).

Politik non-penal tersebut telah berhasil memberikan pemasukan kepada ketiga negara sebesar 3.6 miliar euro dan di sisi lain korporasi Boeing tidak dihukum dengan kewajiban harus kooperatif bersedia merestrukturisasi serta negara wajib melindungi korporasi tersebut dari penuntutan pihak lain. Sedangkan kepada lima negara korban suap termasuk Indonesia tidak diberikan kompensasi yang sama.

Merujuk pada contoh kasus tersebut jelas dan nyata bahwa politik hukum pidana kelima negara korban tersebut (state’s victim) telah jauh tertinggal dari ketiga negara-negara yang justru telah mendorong negara lain terutama negara berkembang untuk mengadopsi dan meratifikasi UNCAC 2003. Contoh nyata tersebut mencerminkan telah terjadi perubahan politik pemidanaan di ketiga negara penerima kompensasi dari pelaku korupsi (suap) yaitu dari politik kriminalisasi menjadi politik dekriminalisasi dan kompensasi.

Hukum acara peradilan tipikor dalam kasus suap dan pelanggaran ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor memerlukan reevaluasi yang dianut UU Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP sehingga dapat dicegah kerugian yang lebih besar, bukan hanya pada negara akan tetapi juga terhadap pelaku korporasi yang telah terbukti melakukan korupsi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More